Kami , Masih Berjuang

Perjuangan itu masih ada.

Masih berhembus hingga saat ini.

Semangat perjuangan itu masih ada,

Masih menyusup diantara denyut nadi.

 

Merdeka !

Hanya satu kata itu yang diperjuangkan,

Satu kata yang memiliki ribuan kobaran semangat

Satu kata yang memiliki nilai mendalam tentang perjuangan yang tidak seharusnya diakhiri.

 

Bukan tentang mengenang, bukan tentang mengenal, tapi tentang bagaimana kita bisa berjuang bersama-sama dalam meraihnya.

Bukan tentang siapa, bukan tentang dari mana, bagaimana sifatnya.

 

Dalam sebuah perjuangan, tidak ada kata berbeda.

Dalam sebuah perjuangan tidak peduli tentang beda,

Demi merdeka, demi perjuangan, demi Negara Kesatuan Republik Indonesia

 

Sleman, 10 November 2019

 

Khichand Lee

“Bhineka Tunggal Ika” Hanya Sekedar Semboyan ?

“Ketika adzan disiang terik hari jum’at kala itu terdengar nyaring dikawasan perumahan Madiun Kota. Dimana saat itu pakdeku mengambil sepeda motor matiknya lalu mengantarkanku ke masjid terdekat untuk Sholat Jumat, Namun setelah tiba dan usaiku berwudhu, beliau kembali kerumah dan justru tidak ikut jum’atan kala itu. Dan setelah itu terbesit fakta bahwa keluarga dari eyang adalah keluarga yang multikultural dari segi agama dan suku ” cerita riil ini terjadi 9 tahun yang lalu tentang bagaimana kisah sederhana mengenai kebhinekaan pada ranah terkecil yaitu keluarga. Rasanya waktu bergerak begitu cepat, tak terasa kejadian itu sudah 9 tahun lamanya. Perubahan dan perkembangan terus terjadi hingga saat ini. Lantas, mengenai kebhinekaan, bagaimana kiranya perkembangan hal tersebut sampai saat ini?

Setiap tahun, bahkan setiap bulannya Indonesia tak pernah sepi dari isu rasisme, entah berupa isu regional atau bahkan yang terangkat sampai nasional. Masih terekam jelas di ingatan mengenai konflik isu Madura-Sampit pada awal 2000-an yang merupakan peristiwa berdarah bagaimana parahnya isu SARA jika dibiarkan berlarut-larut. Lalu mengenai konflik GAM dan OPM yang masih mengakar hingga sekarang, tidak lupa aksi 212, penistaan agama dan beribu kasus lainnya yang disebabkan oleh isu SARA.

Penyebaran isu yang massive tidak terlepas dari peran media yang ada di masyarakat. Tak bisa dipungkiri, saat ini media dan publik begitu ahli dan asyik menggodok isu-isu agama dan rasisme, tak jarang hal tersebut memicu aksi yang lebih parah dan bahkan aksi yang berujung kekerasan. Sayang seribu kali sayang, budaya masyarakat Indonesia yang kurang gemar membaca dan memiliki tingkat literasi cukup rendah menyebabkan gampangnya terprovokasi isu yang belum jelas, banyak hal yang berujung miskonsepsi, pemyebaran hoax yang mudah diteruskan dan disebarkan lagi juga begitu memperparah situasi.

Namun, tak baik kiranya kita melihat masyarakat luas tanpa melihat status diri kita sendiri, mahasiswa. Mahasiswa yang katanya motor pergerakan, pejuang keadilan, dan embel-embel lain yang mengikuti status mahasiswa, apa kiranya yang telah kita lakukan di saat situasi negara seperti ini?

Mahasiswa bagaikan elang gagah yang kehilangan kepakan sayapnya,di saat begitu banyak permasalahan rumit yang terjadi di negeri ini, mahasiswa begitu bingung untuk bertindak, kehilangan kepekaan sosialnya dan justru sering kali malah menjadi penyulut api permasalahan itu sendiri. Dan itu hanya dari isu agama dan suku, belum isu isu lainnya yang juga sangat rawan akan mengganggu kebhinekaan di Indonesia.

Jangankan bersatu untuk pergerakan terhadap isu permasalahan negara yang begitu kompleks, untuk konflik internal skala fakultas pun masih sering terjadi perpecahan dari mahasiswa sendiri. Mari kita sadari bersama, saat ini tidak bisa dipungkiri masing masing ormawa masih menjunjung tinggi jaket kebanggaan mereka diatas gengsi beralibikan program kerja. Semua begitu menggebu-gebu berorasi bahwa mereka yang teratas, mereka yang terbaik dan mereka yang paling utama. Disinilah bibit-bibit para rebel pemberontak yang ingin berjalan masing masing dengan menyampingkan urusan masyarakat banyak. Masing masing masih menjunjung tinggi ego kelompok dan mengutamakan kepentingan golongan, tak jarang hal tersebut mengorbankan kepentingan bersama dan merugikan apa yang seharusnya kita jaga, yaitu keseluruhan warga.

Jika boleh dikata, seharusnya mahasiswa di sini menjadi jarum-jarum pemersatu yang siap menyatukan kain-kain perbedaan dimanapun dia ditempatkan, dan jangan hanya jadi jarum yang hanya melukai sang ibu pertiwi. Jika kita merasa sebagai jarum kecil yang belum pantas mempersatukan bangsa, maka kenapa kita tidak mulai untuk menjadi ujung tombak pemersatu pada lingkup lingkungan kita?.

Marilah kita coba gulung lengan jaket kebanggaan masing masing untuk lebih bisa membaur di tengah keberagaman yang ada di MIPA, membaur bersama di tengah perbedaan daerah, budaya, suku, agama, dan banyak bahasa, mari meruntuhkan sekat sekat pemisah yang ada. Wahai seluruh pemangku adat organisasi kemahasiswaan di MIPA, mari mulai berpikir dewasa dan lunturkan ego kita, terlebih saat ini ada warga baru, adik kita yang perlu bimbingan kita dan yang sudah seharusnya kita jaga, mari kita menjadi teladan yang baik, buktikan bahwa pemangku adat organisasi pantas duduk pada kursi tersebut, tunjukan bahwa selama ini tidak hanya sekedar besar nama, tapi siap untuk kembali merekatkan kebhinekaan di MIPA, di UNY dan bahkan di Indonesia. Buktikan bahwa “Bhineka Tunggal Ika” tak sekedar semboyan semata.

Panjang Umur Perjuangan !

Hidup Mahasiswa ! Hidup Mahasiswa Indonesia ! Hidup Rakyat Indonesia !

 

 

 

Mahasiswa kalau Ngomong Suka Ngawur?

Dalam kurun waktu tertentu, perbincangan yang berkutat pada persoalan pendidikan menjadi hal yang hangat dan tak jarang memuncak pada titik panasnya di setiap telinga. Bahkan peredaran pembicaraan dari mulut ke mulut menyentuh setiap kalangan mulai dari  yang elit sampai akar rumput masyarakat. Salahsatu momentum yang melatarbelakangi, tak jauh-jauh dari berakhirnya atau mulainya semester baru. Menjadi hal yang lazim dan layaknya hajatan bagi orang tua dan anak yang ingin melanjutkan sekolah maupun mendaftar di sekolah baru. Jutaan orang tua berbondong-bondong dan berkompetisi dalam mendaftarkan anaknya masuk ke setiap sekolah favorit yang diinginkan demi satu tiket label terpandang pendidikannya di masyarakat.

Sebelum kebijakan zonasi ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tepatnya dimulai tahun 2018 hingga pada akhirnya tahun 2019 ini tetap mempertahankan kebijakan tersebut dengan perubahan elemen-elemen yang menjadi penyaring penyeleksiannya seperti kuota dan radius jarak yang semakin pendek. Implikasi dari kebijakan yang dipertahankan dua tahun berturut-turut mungkin saja menjadi faktor yang memperlemah kompetisi dalam berebut sekolah. Tapi bukankah memang sudah seharusnya budaya kompetisi demikian dikurangi bahkan dalam beberapa hal harus dihilangkan, yang justru akan menimbulkan persaingan tidak sehat alih-alih memeratakan pendidikan?

Seperti yang diceritakan salahsatu kawan saya yang turut memanaskan perbincangan persoalan pendidikan di dalam lingkup keluarganya. Sebut saja Joko -bisa jadi nama sebenarnya-. Hari ini masih dalam masa liburan panjang kegiatan perkuliahan. Aku dan Joko sering menghabiskan waktu di kampus  di masa liburan ini karena banyaknya tuntutan kegiatan dan program kerja di organisasi yang kami ikuti. Sebut saja BEM F (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas) -bisa jadi organisasi sebenarnya-. Dengan menggebu-gebu dia menghampiriku yang tengah asyik duduk bersandar di kantin fakultas dan membuka lembaran-lembaran buku.

“Gas, gas. Ada yang mau aku obrolin.” Dengan nada serius ditopang gerak bibir dan sorot matanya yang tidak kalah serius.

“Iya Jok, ada apa?” Aku mengalihkan atensiku dari buku ke wajah Joko yang terlihat serius. Batinku bergumam, pikirku terjadi hal buruk yang menimpa kawanku ini atau ia sedang dalam masalah.

“Gas, aku mau ngobrolin soal ideologi pendidikan yang selama ini sering dibicarakan Joni dan kawan-kawannya itu. Aku belum lama ini beberapa kali nimbrung diskusi mereka. Dan yang akan kuceritakan soal pembicaraanku di rumah dengan Bapak dan Ibuku.”

“Hehh, kamu serius Jok? Setan mana yang merasukimu?”

‘’Serius, Gas.’’

Wajar saja aku kaget dan terheran, selama ini Joko kesehariannya aku kenal sebagai mahasiswa yang apatis bahkan sangat anti membicarakan persoalan idealisme mahasiswa terlebih pelbagai isu maupun persoalan pendidikan, sosial, apalagi politik. Usut tak punya usut tiba-tiba saja ingin mengobrol denganku seputar ideologi pendidikan. Joko biasa menampilkan dirinya sebagai mahasiswa yang tidak senang serius-serius amat dengan khasnya yang cengengesan dibumbui candaan-candaan andalan.

Aku pun boleh dikata juga belum lama mengenal dan bergabung dengan beberapa kawan di kampus dari fakultas lain yang kerap membicarakan isu-isu pendidikan, sosial, dan politik. Tak jauh berbeda dengan kumpulan yang ada di fakultasku. Mereka senang mengadakan diskusi seputar idealisme mahasiswa meliputi usaha-usaha yang semestinya dilakukan, menggelar lapak buku, dan tak jarang meramaikan perdebatan politik di dunia maya dengan tulisan-tulisan tajam mereka. Bukankah jika kita bergaul dengan penjual parfum akan ketularan wanginya dan jika bergaul dengan tukang besi akan mendapati bau besinya?

Fakultas tempat di mana Aku dan Joko menempuh perkuliahan sering mendapat labelisasi sebagai fakultas apatis, istilah lebih umumnya ‘bodo amat’. Apatis terhadap pelbagai persoalan umum yang berkembang di negeri ini maupun ranah kampus. Stereotip lainnya pun juga turut menyertai, fakultas ini dipandang kampusnya para mahasiswa yang tahunya hanya kuliah nugas kuliah nugas dan penelitian mangkrak tanpa implementasi. Hanya segelintir mahasiswa di fakultas ini yang mampu menunjukkan citra dirinya sebagai ‘mahasiswa sejati’ dalam pemahaman umum mahasiswa aktivis. Mahasiswa yang memiliki sensisibilitas yang tinggi, merefleksikan realita, mampu berpikir kritis, mengorganisir pergerakan, serta mampu menggali ide-ide untuk menyelesaiakan permasalahan yang ada. Apa yang biasanya mereka diskusikan pun banyak yang jadi hal tabu bahkan juga mendapat olok-olok karna saking tabunya.

“Gas, menurutmu ideologi pendidikan kita ini bukankah memang liberal betul ya? Sistem yang dijalankan masih sangat kapitalistik.”

“Iya Jok, memang betul. Berangkat dari situ banyak melahirkan permasalahan-permasalahan pendidikan mutakhir ini. Kog kamu sekarang jadi tahu istilah-istilah seperti itu dan ingin membicarakannya pula.”

“Aku kemarin malah mendapat kritik pedas dari Bapakku karena membicarakan itu, Gas. Di rumah aku tertohok oleh kata-kata Bapakku.”

“Lah, memangnya apa yang kamu bicarakan dengan bapakmu, Jok?”

“Begini Gas, tadi kan aku bilang bahwa akhir-akhir ini aku sering ikut diskusi anak-anak yang biasanya nongkrong di gazebo timur lab itu. Dan aku ikut nimbrung pas mereka lagi ngomongin idealisme mahasiswa dan perannya terhadap pendidikan di Indonesia. Memang dulu aku sangat anti dengan mereka, tapi entah aku pikir sebelum aku banyak menghujat banyak mereka aku perlu tahu langsung sebenarnya apa sih yang mereka sering diskusikan, sebagaimana yang sering dibilang bahwa mereka harus berperan dalam perbaikan sistem pendidikan di negeri ini. Entah kenapa aku sekarang sepakat dengan mereka dan pikiranku banyak dipengaruhi karena diskusi bersama mereka. Aku jadi paham banyak hal soal ideologi-ideologi.”

“Lah terus, hubungannya sama pembicaraan dengan Bapakmu apa Jok?”

“Panjang cerita aku menemukan konsep bagaimana aku seharusnya menjadi mahasiswa Gas. Aku akhir-akhir ini juga banyak baca-baca buku tentang pergerakan mahasiswa dan teori-teori serta ideologi  pendidikan.”

“Lalu?”

“Kemarin lusa, Ibuku nyeletuk soal sistem zonasi itu, Bapakku juga. Adikku kan juga baru nyari SMA nih. Katanya sistem zonasi ini ga seru, ga greget, ga menantang, dibilang ngawur pula. Lha nilai ujian nasional adikku itu bagusnya naudzubillah dan pengennya adikku masuk SMA Y. Tapi karena kendala radius jarak ke sekolah pilihan tersebut diurungkan. Setelah itu aku menceramahi Ibuku soal sistem pendidikan dan ideologi pendidikan. Yang aku bicarakan di rumah aku bawa dari hasil diskusiku bersama mereka.

‘’’Bu, biarpun penerapan zonasi ini mulai digalakkan, biarpun sistem penerimaan diubah dengan cara seperti apapun, gak berguna signifikan kalo ideologi pendidikan kita masih seperti ini, ideologi pendidikan kita masih sangat liberalistik dan sistem pendidikan kita masih sangat kapitalistik.’’’

Wajar saja Joko sedang dalam fase menggebu-gebunya membicarakan ideologi dan sistem pendidikan. Tapi, buruknya yang berbicara dengannya tak jarang kena semprot ide-idenya yang tidak semua orang mampu paham ataupun menerimanya. Dan jadi lucu ketika ia salah menempatkan pembicaraan.

‘’’Kamu itu ngomong apa to, Le? kog Ibu gak paham. Inti dari intinya itu, ya sistem ini masih sangat buruk dan pemerintah tetap harus bertanggung jawab atas semua ini, semua sudah jadi aturan, kengawuran ini. Gak seru, gak menantang. Lah banyak lulusan adikmu itu yang nilainya bagus dan punya niatan melanjutkan sekolah di pilihan ‘favorit’ tapi gagal karena aturan ini. Seharusnya adikmu bisa bersaing untuk masuk SMA Y itu. Dan dampak persaingan itu kan juga bagus to, semakin memacu siswa untuk mendapat nilai bagus.’’’

‘’’Lah, inilah salahsatu akibat membudayanya paradigma liberalistik, Bu. Pikiran Ibu masih sempit, kalau sudah seperti ini yang harus diubah dari akarnya langsung, ideologinya langsung.’’’ Omongan Joko ini menghujam keras Ibunya.

Ayah Joko langsung menimpali.

‘’’Kamu tu bicara apa to, Le?. Bapak itu paham fase-fase mahasiswa yang sedang seperti kamu ini sedang menggebu-gebunya bicara seperti itu. Yang diomongin ngalor-ngidul sistem, teori-teori, dan ideologi. Toh bapak ini kan juga ketua RT sudah sering ngadepin mahasiswa KKN yang suka bicara seperti itu tapi bingung ketika dihadapkan dengan realitas di masyarakat. Inti dari intinya itu, punya ide-ide bagus dan mendalam, tapi pengejewantahannya nol besar. Healah, Le. Mahasiswa yang suka KKN itu juga kadang besar kepala terhadap pemuda di sini, merasa ilmunya tinggi bisa bicara soal teori, sistem, dan ideologi seperti itu. Satu lagi, Le. Kalau bicara jangan lupa juga kita harus perhatikan siapa yang menjadi lawan bicara kita.’’’

“Begitu, Gas. Setelah aku pikir-pikir tapi memang kebanyakan mahasiswa yang sok idealis juga seperti yang dibilang Bapakku sih dan aku pun ga sadar tertular. Dan mahasiswa kalau ngomong juga seharusnya tahu siapa yang akan diajak ngomong. Aku bicara seperti itu ke Ibuku dan mana tahu Ibuku soal demikian toh lulusan SMP. ’’

“Iyasih, Jok. Aku sudah menyadarinya sedari lama. Karena itu berarti yang menjadi PR besar kita itu mencari cara bagaimana mengejewantahkan ide-ide muluk kita ke arah yang lebih konkret dimulai dari hal kecil. Agar banyak orang gak tambah sinis juga dengan apa yang kita bicarakan. Minimal ada aksi nyata walaupun dampaknya kecil tapi jika dilakukan terus menerus akan berdampak masif bukan?”

Sesaat setelah itu keduanya langsung hening. Tak ada pembicaraan lagi diantara kami.

KEMANAKAH TOLERANSI PANCASILA KITA?

Lebaran sebentar lagi (tak deng deng) ~~~ Eitsss… eitss,  tunggu dulu sepertinya ada yang tertinggal nih apa ya??? Ahh iya, selain lebaran ternyata ada moment bersejarah juga nih dibulan penuh tanggal merah ini. Peristiwa apaan tuh yang menyambut awal bulan Juni ini lurr?? Yapss…. peristiwa lahirnya dasar negara sekaligus ideologi negara ini kawan setanah airku, yaitu Pancasila. Hmm, memang apa spesialnya Pancasila itu?? Yukk simak penjelasan dibawah ini:

Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Ir. Soekarno pada pidatonya disidang BPUPKI pertama tanggal 1 Juni 1945 dalam menentukan dasar negara Indonesia. Ir. Soekarno memilih kata Pancasila bukan Panca Dharma atas petunjuk seorang teman beliau yang ahli dalam bahasa yaitu M.Yamin. Menurut Bung Karno kata Panca-dharma dirasa kurang tepat digunakan karena sidang BPUPKI saat itu tengah membahas dasar negara sedangkan Panca Dharma berasal dari kata Panca berarti lima dan kata Dharma berarti kewajiban.

Pancasila itu sendiri terlahir untuk memberikan nama perihal lima dasar negara yang diusulkan bung Karno. Kelima dasar negara ini juga merupakan hasil dari pemikiran sekaligus pengamatan Ir. Soekarno sewaktu pengasingannya di Ende, NTT tepatnya ketika duduk dibawah pohon suku. Dimana beliau sedang berpikir dan mengamati semua aktivitas sosial yang terjadi di masyarakat sekitar, baik ketika masyarakat sedang melakukan tradisi/adat istiadat yang berjalan didaerah tersebut hingga mengenai kebiasaan masyarakat Indonesia untuk selalu bergotong royong dan bermusyawarah mufakat. Sehingga menurut beliau kelima dasar Negara yang diusulkannya merupakan salah satu bentuk dari hasil nyata perilaku dan gejala sosial yang terjadi pada bangsa Indonesia, bukanlah pemikiran semata Ir. Soekarno.

Secara historis proses perumusan Pancasila diawali pada sidang BPUPKI yangmana hasil dari siding BPUPKI adalah pada tanggal 29 Mei 1945, Muh. Yamin berpidato tentang dasar negara kemudian tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan agar dasar negar diberi nama “Pancasila” dan usulan tersebut diterima secara bulat oleh siding BPUPKI dan tanggal 22 Juni 1945 sembilan tokoh nasional mengadakan pertemuan dan menghasilkan “Piagam Jakarta”. Namun secara terminologis, sehari setelah Indonesia merdeka PPKI mengadakan sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang terdiri dari pembukaan, pasal-pasal UUD, aturan peralihan dan aturan tambahan serta penjelasan. Dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea ke empat terdapat rumusan Pancasila.

Mengapa harus ada rumusan Pancasila dalam konstitusi Negara kita??  karena Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga menurut para pendiri negara (founding father) yakni PPKI, nilai dan sila pada Pancasila wajib dimasukkan dalam pembentukan dan perumusan suatu dasar peraturan perundang-undang (konstitusi negara) sebuah negara.

Dewasa ini, banyak sekali kasus/masalah yang menimpa bangsa ini terutama terhadap nilai/makna Pancasila mulai dari disintegrasi bangsa, intoleransi terhadap umat beragama hingga masalah radikalisme serta terorisme. Sebelum, kita berpikir mengenai permasalahan yang ada sebenarnya apa sih dimaksud bung Karno dan pendiri bangsa mengenai Pancasila berasal dari pribadi bangsa itu sendiri??

Yang dimaksud Pancasila berasal dari bangsa itu adalah bahwa setiap sila-sila dalam Pancasila memiliki nilai dan makna nya tersendiri yang diambil dari inti sari kehidupan/kebiasaan masyarakat Indonesia. Karena telah kita ketahui bersama bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang beranekaragam baik dari segi agama, ras, etnik, suku, bahasa, budaya dan sebagainya. Selain sebagai bangsa yang beranekaragam juga sebagai bangsa yang multikultural. Dimana suatu bangsa yang multikultural tidak hanya tau akan perbedaan dan kemajemukan yang ada tetapi juga ada sikap, perilaku dan tindakan dalam upaya menjaga perbedaan itu sendiri. Hal ini lah menjadi latar belakang atau cikal bakal terbentuknya sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia.

Dalam hal ini masih banyak nilai dan makna daripada sila ketiga ini yang belum terlaksana sesuai harapan. Misalnya baru saja ini banyak sekali pemberitaan penistaan agama A oleh seseorang atau sekelompok agama tertentu bahkan hingga melanggeng berbagai cara yang mengatasnamakan agama untuk memecah belah bangsa ini. Justru hal ini sangat disesali karena kita tahu bahwa para pendiri bangsa hingga bangsa Indonesia terdahulu telah berupaya sangat keras untuk mempersatukan bangsa ini tanpa pandang bulu.

Sesuai dengan paribasa Jawa berikut, “Rukun agawe santoso, crah agawe bubrah” yang artinya kerukunan akan menghasilkan kesejahteraan, sedangkan perpecahan akan menimbulkan kesengsaraan. Karena semua orang juga pasti sudah tahu, bahwa kerukunan yang dimaksud dalam sila ketiga dalam Pancasila itu hal yang penting. Apalagi di tengah situasi yang krisis kedamaian seperti sekarang ini. Banyak muncul provokator yang berusaha memecah belah bangsa kita. Nah, kita bisa mulai menciptakan kerukunan itu dari lingkungan terdekatmu, ya. Misalnya di rumah, sekolah, kampus atau kantor.

Mungkin hal ini juga sejalan dengan perkataan Bung Karno berikut, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri”. Dulu kita mungkin tidak akan membayangkan kemungkinan perkataan tersebut. Mana mungkin ada yang lebih sulit dari berjuang melawan penjajah? Namun jika kita kembali menelaah apa yang terjadi sekarang ini, kata-kata Soekarno kemungkinan besar memang benar adanya. Mungkin juga beliau sudah melihat tanda-tanda bagaimana kita kini memiliki tabiat yang tidak biasa.

Oleh karenanya kita sebagai pemuda sekaligus penerus bangsa ini selanjutnya, janganlah putus asa dan menyerah menghadapi permasalahan bangsa yang saat ini sedang kita hadapi. Justru dengan semakin banyak permasalahan yang ada seharusnya semakin membuat kita kuat akan apapun rintangan dan hambatan yang akan dihadapi oleh bangsa ini.

 

~ Hyuga ~

Pemimpin Idaman dan Wakil Rakyat yang Semakin Merakyat

Dipilih-dipilih‼ Yuk waktunya untuk memilih!Memilih apa?

Pokoknya milih! Dan kamu harus menjadi bagian dari pemilih itu. Yang jelas ini bukan masalah milih baju obral yaak.

Terus milih apa? Calon pasangan hidup?

Bukanlah! Ini udah April lhoo dan harusnya tahu dong yaak kalau ini adalah waktunya untuk memilih presiden dan wakil rakyat.

Kira-kira kriteria pemimpin dan wakil rakyat itu yang gimana sih?

Apakah yang sudah dikenal? Yang suka bagi-bagi sembako?  yang suka PHP? Atau yang seperti Thanos?

Pemimpin yang diharapkan itu pemimpin yang seperti apa sih?

Pemimpin yang mengayomi, yang bertanggung jawab dan tidak hanya mengumbar janji? Atau pemimpin yang banyak berjanji dan bercita-cita tinggi?

Sebagai rakyat dan masyarakat Indonesia, tentu saja harapan memiliki pemimpin yang ideal dan mampu membawa sebuah negara dalam sebuah puncak keemasan adalah harapan yang akan banyak digaungkan. Bukan hanya memiliki pemimpin yang bertanggung jawab, namun mengayomi dan mampu membawa perubahan besar, baik dalam kehidupan masyarakat atau di bidang pemerintahan itu sendiri.  Pemimpin yang diharapkan akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bukan hanya di mata rakyatnya tapi juga di mata dunia. Terlepas dari tugasnya yang membawa perubahan, pemimpin adalah sosok yang akan dilihat dan diawasi oleh banyak pasang mata, pemimpin bukan hanya bekerja untuk membawa negaranya di mata dunia, namun juga melayani rakyat yang sudah menggantungkan harapan besar akan kepemimpinannya.

Pemimpin itu pelayan, pemimpin itu kuasanya di tangan rakyat, pemimpin itu adalah sosok yang dipercaya rakyatnya untuk membawa negara dalam perubahan yang lebih baik.

Pemimpin idaman merupakan seseorang yang mampu membawa perubahan tanpa adanya kebohongan alias ada bukti atau aksi nyatanya, bukan yang memerintahkan saja, adil dan bijaksana, toleransi dan bertanggung jawab, membawa perkembangan, perubahan dan pembangunan ke arah yang lebih baik.

Lantas, bagaimana dengan wakil rakyat yang juga menjadi objek yang akan dipilih juga saat pemilu?

Aku nggak kenal, gimana bisa percaya dan memilih? Mending golput kan?

So What? Kalau gak kenal maka kenalan lah, stalking idol aja yang jauh dimata mau, yakali stalking calon wakil kita tidak mau?

Sama seperti calon presiden yang tidak kita kenal maka kita kenalan lewat stalkingan, ini bukan stalking mantan yang nggak ada feedbacknya, dengan stalking calon-calon pemangku jabatan, maka secara tidak langsung kelak kita akan merasakan feedbacknya. Contohnya, kalau kita memilih pemimpin yang menurut kita satu visi dan misi dengan apa yang ada di pikiran kita maka secara tidak langsung pemimpin yang kita pilih akan seotak dengan kita, akan searah dengan pemikiran kita yang menginginkan perubahan di negeri ini.

Jadi, apakah kalian masih berpikir bahwa stalking mantan lebih baik dari pada stalking calon pemangku jabatan?

Terus, wakil rakyat itu sebenarnya bedanya DPR, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten dan DPD itu apa sih ?

Menurut UU no 17 tahun 2014  Pasal 67 DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya pada pasal 68 dinyatakan bahwa DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

Dalam pasal 246 dinyatakan bahwa DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya pada pasal 247 dinyatakan bahwa DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

Dalam pasal 314 dinyatakan bahwa DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya pada pasal 315 dinyatakan bahwa DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi.

Dalam pasal 363 dinyatakan bahwa DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya pada pasal 364 dinyatakan bahwa DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Tugasnya ngapain dong?

Salah satu tugas dari wakil rakyat yang tertera di dalam UU no 17 Tahun 2014 adalah Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Kepo sama tugas dan fungsi yang lain? Kepoin aja, ada teknologi bernama Google yang akan menjawab semua kekepoan kalian tentang tugas wakil-wakil rakyat kita.

Jadi, boleh kan untuk mengatakan bahwa wakil rakyat itu media masyarakat dalam menyapaikan aspirasi?

Wakil rakyat itu media, media yang mengantarkan suara dan aspirasi rakyat, media untuk menyalurkan ide dan pendapat dari rakyat tentang segala evaluasi dan kritikan untuk sistem pemerintah dan semua kebijakan yang sudah diterapkan mau pun yang akan diterapkan. Wakil rakyat itu mewakili suara rakyat, mencari tahu apa mau rakyat dan paham apa yang dibutuhkan rakyat. Wakil rakyat sebagai media untuk memahamkan sistem pemerintahan kepada rakyat, media untuk pencerdasan tentang negara, tentang keputusan dan kebijakan yang akan diterapkan. Wakil rakyat itu media  yang menyampaikan segala layanan negara kepada rakyat. Wakil rakyat itu harusnya merakyat, tidak hanya duduk diam di ruangan dingin sembari bercengkerama, wakil rakyat itu harus turun ke masyarakat, mengorek apa mau masyarakat, mengetahui kondisi masyarakat yang berada di bawah otoritasnya. Wakil rakyat itu ibarat ilmuwan, sebelum menemukan sebuah solusi terlebih dahulu melakukan observasi secara langsung di lapangan, lantas membuat sebuah rumusan masalah, kemudian mulai mengambil data dan menganalisisnya, menganalisis permasalahan-permasalahan yang ada untuk ditemukan solusinya.

Aspirasi rakyat itu selalu ada, hanya saja perlu dipahami bahwa tidak semua rakyat berani dengan lantang mengatakan aspirasi, tidak banyak masyarakat yang berani menyuarakan suaranya tentang keluhan-keluhannya. Masyarakat itu ada ribuan dan  pasti semuanya memiliki keluhan, hanya saja kebanyakan diantara mereka merasa enggan menyuarakannya. Dalam hal ini lah merakyat itu berperan, bukan duduk manis menunggu surat aduan atau menunggu aksi demonstrasi dan orasi-orasi yang terkadang berakhir dengan akhir yang tidak diinginkan. Sebelum diprotes bukankah lebih baik melakukan observasi kemudian mencari solusi dari permasalahan berdasarkan data dan fakta di lapangan.

So, buat kamu ! kamu dan kamu! Yang bingung mau milih siapa, kuy cek play store ketik KPU RI PEMILU 2019 di kolom pencarian dan install langsung di hape kamu.

Pemilu ? Apakah (tidak) Penting?

Pemilu ? Apakah (tidak) Penting?

April mulai berjalan, debat paslon sudah terlaksana. Kampanye digencarkan dan spanduk sudah bertebaran. Ada apa sih sebenarnya? Kenapa harus seramai dan seheboh ini? terkadang menyatukan bahkan tak jarang memisahkan lantas memenggal persatuan. Katanya, semua keramaian ini disebut dengan pemilu.

Sebenarnya, pemilu itu apa sih?
Penting tidak yaa buat hajat hidup rakyat indonesia?
Perlu tidak yaa berpartisipasi dalam pemilu?
Lantas, bagaimana dengan istilah golput (golongan putih) yang kini kian lantang dibicarakan?
Dan terakhir, seberapa penting peran generasi milineal dalam kemajuan pemilu? Terutama mahasiswa yang dianggap maha segala?

Menurut UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 1 Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lantas, penting tidak sih untuk hajat hidup rakyat Indonesia? Jika ditanya seperti itu maka jawabannya penting.
Kenapa?
Karena siapa yang terpilih nantinya berhak untuk membuat kebijakan yang menentukan bagaimana sebuah negara menjalankan fungsinya.

Bagaimana dengan partisipasi dalam pemilu?
Tentu ini penting.
Katanya Indonesia negara demokrasi berkedaulatan rakyat?, kita berkuasa untuk menentukan arah bangsa ini lewat pemilu 17 April nanti. Menurut Franz Magnis Suseno, Pemilu itu bukan untuk memilih yang terbaik tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Jika kita tidak menggunakan hak suara kita sama saja kita membiarkan pemimpin terburuk untuk berkuasa.
Kenapa harus saat pemilu?
Karena pemilu adalah satu-satunya kesempatan untuk menyuarakan langsung hak suara kita yang selama ini hanya diwakilkan.

Bagaimana dengan golput yang terkadang diserukan sebagai pilihan terakhir?
Sebenarnya golput apa sih?
Istilah golput muncul di Indonesia tahun 1971 yang dipelopori Arief Budiman dan beberapa koleganya sebagai gerakan atas tidak puasnya calon pemilih terhadap sistem perpolitikan saat itu. mereka mengajak untuk mencoblos bagian putih pada surat suara agar suaranya tidak sah.

Sebagai generasi milineal, apalagi kita mahasiswa, jangan deh golput-golputan. Pilihan dan hak suara yang sudah diberikan kepada kita itu menentukan hajat hidup orang banyak, menentukan bagaimana perahu bernama Indonesia ini akan berlayar, kemana tujuan negara ini akan dinavigasikan, bagaimana sistem dalam negara ini akan bekerja.

Merasa bahwa pilihanmu tidak cocok bukanlah sebuah alasan yang tepat untuk menjadi golput.
Kenapa?
Karena pemilu bukan hanya tentang dirimu, keluargamu atau daerahmu, tapi tentang berjuta rakyat Indonesia. Mungkin kamu tidak merasakan secara langsung, tapi Indonesia ini tidak hanya soal mahasiswa, bukan hanya soal Jawa, tapi Indonesia berbicara dari Sabang sampai Merauke, dari yang tidak berpendidikan sampai profesor. Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang beragam yang memiliki kebutuhan beragam juga.

Data lembaga riset SMRC pada Desember 2017 mencatat jumlah pemilih muda dengan rentang umur 17-34 tahun mencapai 34,4 persen dari jumlah masyarakat Indonesia yang totalnya mencapai 265 juta jiwa.

Prediksi KPU jumlah pemilih muda saat ini diperkirakan mencapai 70-80 juta orang. Sementara jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) tercatat 185 juta jiwa. Dan dari 185 juta itu, lebih dari lima juta adalah pemilih pertama, yang baru pertama kali ikut pemilu.

Nah .. loh hampir separuh daftar pemilih adalah generasi muda, sampai-sampai kampanye penuh dengan hal-hal yang berbau milineal.
Masih merasa suaramu tidak penting?
Jika ada lebih dari 10 saja yang berpikiran seperti itu maka maka bagaimana negara bisa mengubah haluannya menjadi lebih baik?

Kenapa harus mahasiswa?

Karena kita pioneer perubahan itu sendiri, sebagai perintis pemikiran yang terbuka yang berperan sebagai ujung tombak dalam perubahan. Jika kita tidak peduli bagaimana dengan yang lain?
Mungkin sekarang belum merasakan, tapi bisa jadi 2 atau 3 tahun lagi kita akan merasakannya secara langsung karena sudah keluar dari zona kampus dan merasakan bagaimana hidup kita sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Yuk gunakan hak suaramu! Satu suaramu berharga untuk dirimu dan negerimu.

More :
Apakah Hak Pilih Itu Penting ? → https://www.youtube.com/watch?v=nB_UOSKUtN0
Lebih jauh tentang golput  http://www.sumberpengertian.co/pengertian-golput
Seberapa penting sih? Suara Milineal ? →
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181127120709-36-349537/video-kekuatan-pemilih-muda-di-pilpres-2019

Sumber :
UU No 7 tahun 2017 Tentang Pemilu
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181127120709-36-349537/video-kekuatan-pemilih-muda-di-pilpres-2019
#SaintisKritis #YukNyoblos #SuaraPenentu #GerimisBerita #Relaxa #KawalPemilu #KARISPOL #BEMFMIPA #HarmoniInspirasi