Kami , Masih Berjuang

Perjuangan itu masih ada.

Masih berhembus hingga saat ini.

Semangat perjuangan itu masih ada,

Masih menyusup diantara denyut nadi.

 

Merdeka !

Hanya satu kata itu yang diperjuangkan,

Satu kata yang memiliki ribuan kobaran semangat

Satu kata yang memiliki nilai mendalam tentang perjuangan yang tidak seharusnya diakhiri.

 

Bukan tentang mengenang, bukan tentang mengenal, tapi tentang bagaimana kita bisa berjuang bersama-sama dalam meraihnya.

Bukan tentang siapa, bukan tentang dari mana, bagaimana sifatnya.

 

Dalam sebuah perjuangan, tidak ada kata berbeda.

Dalam sebuah perjuangan tidak peduli tentang beda,

Demi merdeka, demi perjuangan, demi Negara Kesatuan Republik Indonesia

 

Sleman, 10 November 2019

 

Khichand Lee

Yang Muda, Yang Berkarya

Pemuda dalam pembangunan adalah kolaborator dan inisiator, bukan obyek dan target. Mereka adalah masa depan Indonesia-Bambang Brodjonegoro

Langkah itu menapak dengan yakin. Pada sebuah jalan yang terjal, seorang pemuda hadir untuk menjawab tantangan. Konon katanya, jalan terjal itu begitu rumit dan sulit, begitu panjang dan melelahkan. Banyak orang melaluinya, banyak yang mencapai ujung jalan, tapi tidak sedikit pula yang memilih menyerah. Rumit, konon katanya seperti itu.

Perlahan, satu persatu dari pemuda yang berani, melangkahkan kakinya melalui jalan terjal, ada yang terjatuh, ada yang terjerembab, ada yang begitu perkasa, ada juga yang membutuhkan uluran tangan. Ada yang begitu optimis, ada juga yang melebihi kata pesimis.

Hey, Bung! Ini belum seberapa. Perjalanan kita masih panjang dan harapan banyak ada pada pundak kita. Dunia masih berproses untuk bercahaya dan untuk bercahaya membutuhkan sebuah energi.

Hey, Bung! Mari berjuang lebih banyak lagi. Tentang rakyat yang ingin kau perjuangkan, tentang hak-hakmu yang begitu kau rindukan, tentang perjuanganmu melawan ketidakadilan, tentang langkah kakimu yang begitu berani mengagungkan nama kebebasan. Yakinkan langkahmu, untuk melewati jalan terjal yang konon katanya mengerikan itu, Bung. Jika banyak orang yang bisa melaluinya atau gugur dalam kenangan karena perjuangan, maka seharusnya kau juga bisa melakukannya. Entah nanti kau akan berhasil atau gugur di dalam kenangan banyak orang.

Tahun 1928. Atas kesadaran penuh, mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa berjuang sendiri, pemuda memilih membentuk aliansi, mengucapkan ikrar janji yang kemudian kita kenal hingga saat ini sebagai Sumpah Pemuda. Usia sumpah itu sudahlah tua, 91 tahun lamanya dikenang dan diikrarkan berulang. Demi persatuan, demi negara, demi bangsa dan demi keutuhan negara.

63,82 juta dari 265 juta penduduk Indonesia adalah pemuda. Pemuda yang beragam latar belakang dan nasibnya, pemuda yang berbeda sudut pandangan dan masa depannya, pemuda yang memang diciptakan dengan karakter dan visi misi yang berbeda. Pemuda dengan segala macam dinamikanya.

Satu demi satu, yang muda , yang bersinar, yang berkarya mulai bermunculan. Mulai dari prestasi positif atau bahkan prestasi penuh sensasional. Mulai dari yang menjadi pioneer kebaikan atau biang kerok sebuah permasalahan. Mulai dari yang menjaga hati hingga yang menjaga nyawa pun tak mampu.

Pemuda. Indah sekali rangkaian hurufnya, menggambar sosok tangguh yang sedang bergelora, diselimuti semangat perjuangan untuk merangkai masa depan. Pemuda, elok sekali rangkaian diksinya, ribuan jumlahnya dan beragam karakternya. Pemuda, dengan gelora sebesar itu, dengan semangat juang yang sedemikian rupa membaranya. Pemuda, akh sayang sekali, bahkan makna persatuan pun terasa sulit untuk digapai.

Apa kabarmu, wahai pemuda?

Masihkah ada rasa persatuan itu lagi untuk mengucapkan sumpah bersama-sama? berjuang dalam satu garis terdepan, menjadi tameng untuk negara dalam bertahan.

 

Kami Putra dan Putri Indonesia,mengaku bertumpah darah satu,tanah air Indonesia

Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

 

Yogyakarta, 28 Oktober 2019

Khichand Lee

Sumber : Badan Pusat Statitik.2018.Statistik Pemuda Indonesia 2018. Jakarta:BPS

 

“Bhineka Tunggal Ika” Hanya Sekedar Semboyan ?

“Ketika adzan disiang terik hari jum’at kala itu terdengar nyaring dikawasan perumahan Madiun Kota. Dimana saat itu pakdeku mengambil sepeda motor matiknya lalu mengantarkanku ke masjid terdekat untuk Sholat Jumat, Namun setelah tiba dan usaiku berwudhu, beliau kembali kerumah dan justru tidak ikut jum’atan kala itu. Dan setelah itu terbesit fakta bahwa keluarga dari eyang adalah keluarga yang multikultural dari segi agama dan suku ” cerita riil ini terjadi 9 tahun yang lalu tentang bagaimana kisah sederhana mengenai kebhinekaan pada ranah terkecil yaitu keluarga. Rasanya waktu bergerak begitu cepat, tak terasa kejadian itu sudah 9 tahun lamanya. Perubahan dan perkembangan terus terjadi hingga saat ini. Lantas, mengenai kebhinekaan, bagaimana kiranya perkembangan hal tersebut sampai saat ini?

Setiap tahun, bahkan setiap bulannya Indonesia tak pernah sepi dari isu rasisme, entah berupa isu regional atau bahkan yang terangkat sampai nasional. Masih terekam jelas di ingatan mengenai konflik isu Madura-Sampit pada awal 2000-an yang merupakan peristiwa berdarah bagaimana parahnya isu SARA jika dibiarkan berlarut-larut. Lalu mengenai konflik GAM dan OPM yang masih mengakar hingga sekarang, tidak lupa aksi 212, penistaan agama dan beribu kasus lainnya yang disebabkan oleh isu SARA.

Penyebaran isu yang massive tidak terlepas dari peran media yang ada di masyarakat. Tak bisa dipungkiri, saat ini media dan publik begitu ahli dan asyik menggodok isu-isu agama dan rasisme, tak jarang hal tersebut memicu aksi yang lebih parah dan bahkan aksi yang berujung kekerasan. Sayang seribu kali sayang, budaya masyarakat Indonesia yang kurang gemar membaca dan memiliki tingkat literasi cukup rendah menyebabkan gampangnya terprovokasi isu yang belum jelas, banyak hal yang berujung miskonsepsi, pemyebaran hoax yang mudah diteruskan dan disebarkan lagi juga begitu memperparah situasi.

Namun, tak baik kiranya kita melihat masyarakat luas tanpa melihat status diri kita sendiri, mahasiswa. Mahasiswa yang katanya motor pergerakan, pejuang keadilan, dan embel-embel lain yang mengikuti status mahasiswa, apa kiranya yang telah kita lakukan di saat situasi negara seperti ini?

Mahasiswa bagaikan elang gagah yang kehilangan kepakan sayapnya,di saat begitu banyak permasalahan rumit yang terjadi di negeri ini, mahasiswa begitu bingung untuk bertindak, kehilangan kepekaan sosialnya dan justru sering kali malah menjadi penyulut api permasalahan itu sendiri. Dan itu hanya dari isu agama dan suku, belum isu isu lainnya yang juga sangat rawan akan mengganggu kebhinekaan di Indonesia.

Jangankan bersatu untuk pergerakan terhadap isu permasalahan negara yang begitu kompleks, untuk konflik internal skala fakultas pun masih sering terjadi perpecahan dari mahasiswa sendiri. Mari kita sadari bersama, saat ini tidak bisa dipungkiri masing masing ormawa masih menjunjung tinggi jaket kebanggaan mereka diatas gengsi beralibikan program kerja. Semua begitu menggebu-gebu berorasi bahwa mereka yang teratas, mereka yang terbaik dan mereka yang paling utama. Disinilah bibit-bibit para rebel pemberontak yang ingin berjalan masing masing dengan menyampingkan urusan masyarakat banyak. Masing masing masih menjunjung tinggi ego kelompok dan mengutamakan kepentingan golongan, tak jarang hal tersebut mengorbankan kepentingan bersama dan merugikan apa yang seharusnya kita jaga, yaitu keseluruhan warga.

Jika boleh dikata, seharusnya mahasiswa di sini menjadi jarum-jarum pemersatu yang siap menyatukan kain-kain perbedaan dimanapun dia ditempatkan, dan jangan hanya jadi jarum yang hanya melukai sang ibu pertiwi. Jika kita merasa sebagai jarum kecil yang belum pantas mempersatukan bangsa, maka kenapa kita tidak mulai untuk menjadi ujung tombak pemersatu pada lingkup lingkungan kita?.

Marilah kita coba gulung lengan jaket kebanggaan masing masing untuk lebih bisa membaur di tengah keberagaman yang ada di MIPA, membaur bersama di tengah perbedaan daerah, budaya, suku, agama, dan banyak bahasa, mari meruntuhkan sekat sekat pemisah yang ada. Wahai seluruh pemangku adat organisasi kemahasiswaan di MIPA, mari mulai berpikir dewasa dan lunturkan ego kita, terlebih saat ini ada warga baru, adik kita yang perlu bimbingan kita dan yang sudah seharusnya kita jaga, mari kita menjadi teladan yang baik, buktikan bahwa pemangku adat organisasi pantas duduk pada kursi tersebut, tunjukan bahwa selama ini tidak hanya sekedar besar nama, tapi siap untuk kembali merekatkan kebhinekaan di MIPA, di UNY dan bahkan di Indonesia. Buktikan bahwa “Bhineka Tunggal Ika” tak sekedar semboyan semata.

Panjang Umur Perjuangan !

Hidup Mahasiswa ! Hidup Mahasiswa Indonesia ! Hidup Rakyat Indonesia !

 

 

 

Mahasiswa kalau Ngomong Suka Ngawur?

Dalam kurun waktu tertentu, perbincangan yang berkutat pada persoalan pendidikan menjadi hal yang hangat dan tak jarang memuncak pada titik panasnya di setiap telinga. Bahkan peredaran pembicaraan dari mulut ke mulut menyentuh setiap kalangan mulai dari  yang elit sampai akar rumput masyarakat. Salahsatu momentum yang melatarbelakangi, tak jauh-jauh dari berakhirnya atau mulainya semester baru. Menjadi hal yang lazim dan layaknya hajatan bagi orang tua dan anak yang ingin melanjutkan sekolah maupun mendaftar di sekolah baru. Jutaan orang tua berbondong-bondong dan berkompetisi dalam mendaftarkan anaknya masuk ke setiap sekolah favorit yang diinginkan demi satu tiket label terpandang pendidikannya di masyarakat.

Sebelum kebijakan zonasi ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tepatnya dimulai tahun 2018 hingga pada akhirnya tahun 2019 ini tetap mempertahankan kebijakan tersebut dengan perubahan elemen-elemen yang menjadi penyaring penyeleksiannya seperti kuota dan radius jarak yang semakin pendek. Implikasi dari kebijakan yang dipertahankan dua tahun berturut-turut mungkin saja menjadi faktor yang memperlemah kompetisi dalam berebut sekolah. Tapi bukankah memang sudah seharusnya budaya kompetisi demikian dikurangi bahkan dalam beberapa hal harus dihilangkan, yang justru akan menimbulkan persaingan tidak sehat alih-alih memeratakan pendidikan?

Seperti yang diceritakan salahsatu kawan saya yang turut memanaskan perbincangan persoalan pendidikan di dalam lingkup keluarganya. Sebut saja Joko -bisa jadi nama sebenarnya-. Hari ini masih dalam masa liburan panjang kegiatan perkuliahan. Aku dan Joko sering menghabiskan waktu di kampus  di masa liburan ini karena banyaknya tuntutan kegiatan dan program kerja di organisasi yang kami ikuti. Sebut saja BEM F (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas) -bisa jadi organisasi sebenarnya-. Dengan menggebu-gebu dia menghampiriku yang tengah asyik duduk bersandar di kantin fakultas dan membuka lembaran-lembaran buku.

“Gas, gas. Ada yang mau aku obrolin.” Dengan nada serius ditopang gerak bibir dan sorot matanya yang tidak kalah serius.

“Iya Jok, ada apa?” Aku mengalihkan atensiku dari buku ke wajah Joko yang terlihat serius. Batinku bergumam, pikirku terjadi hal buruk yang menimpa kawanku ini atau ia sedang dalam masalah.

“Gas, aku mau ngobrolin soal ideologi pendidikan yang selama ini sering dibicarakan Joni dan kawan-kawannya itu. Aku belum lama ini beberapa kali nimbrung diskusi mereka. Dan yang akan kuceritakan soal pembicaraanku di rumah dengan Bapak dan Ibuku.”

“Hehh, kamu serius Jok? Setan mana yang merasukimu?”

‘’Serius, Gas.’’

Wajar saja aku kaget dan terheran, selama ini Joko kesehariannya aku kenal sebagai mahasiswa yang apatis bahkan sangat anti membicarakan persoalan idealisme mahasiswa terlebih pelbagai isu maupun persoalan pendidikan, sosial, apalagi politik. Usut tak punya usut tiba-tiba saja ingin mengobrol denganku seputar ideologi pendidikan. Joko biasa menampilkan dirinya sebagai mahasiswa yang tidak senang serius-serius amat dengan khasnya yang cengengesan dibumbui candaan-candaan andalan.

Aku pun boleh dikata juga belum lama mengenal dan bergabung dengan beberapa kawan di kampus dari fakultas lain yang kerap membicarakan isu-isu pendidikan, sosial, dan politik. Tak jauh berbeda dengan kumpulan yang ada di fakultasku. Mereka senang mengadakan diskusi seputar idealisme mahasiswa meliputi usaha-usaha yang semestinya dilakukan, menggelar lapak buku, dan tak jarang meramaikan perdebatan politik di dunia maya dengan tulisan-tulisan tajam mereka. Bukankah jika kita bergaul dengan penjual parfum akan ketularan wanginya dan jika bergaul dengan tukang besi akan mendapati bau besinya?

Fakultas tempat di mana Aku dan Joko menempuh perkuliahan sering mendapat labelisasi sebagai fakultas apatis, istilah lebih umumnya ‘bodo amat’. Apatis terhadap pelbagai persoalan umum yang berkembang di negeri ini maupun ranah kampus. Stereotip lainnya pun juga turut menyertai, fakultas ini dipandang kampusnya para mahasiswa yang tahunya hanya kuliah nugas kuliah nugas dan penelitian mangkrak tanpa implementasi. Hanya segelintir mahasiswa di fakultas ini yang mampu menunjukkan citra dirinya sebagai ‘mahasiswa sejati’ dalam pemahaman umum mahasiswa aktivis. Mahasiswa yang memiliki sensisibilitas yang tinggi, merefleksikan realita, mampu berpikir kritis, mengorganisir pergerakan, serta mampu menggali ide-ide untuk menyelesaiakan permasalahan yang ada. Apa yang biasanya mereka diskusikan pun banyak yang jadi hal tabu bahkan juga mendapat olok-olok karna saking tabunya.

“Gas, menurutmu ideologi pendidikan kita ini bukankah memang liberal betul ya? Sistem yang dijalankan masih sangat kapitalistik.”

“Iya Jok, memang betul. Berangkat dari situ banyak melahirkan permasalahan-permasalahan pendidikan mutakhir ini. Kog kamu sekarang jadi tahu istilah-istilah seperti itu dan ingin membicarakannya pula.”

“Aku kemarin malah mendapat kritik pedas dari Bapakku karena membicarakan itu, Gas. Di rumah aku tertohok oleh kata-kata Bapakku.”

“Lah, memangnya apa yang kamu bicarakan dengan bapakmu, Jok?”

“Begini Gas, tadi kan aku bilang bahwa akhir-akhir ini aku sering ikut diskusi anak-anak yang biasanya nongkrong di gazebo timur lab itu. Dan aku ikut nimbrung pas mereka lagi ngomongin idealisme mahasiswa dan perannya terhadap pendidikan di Indonesia. Memang dulu aku sangat anti dengan mereka, tapi entah aku pikir sebelum aku banyak menghujat banyak mereka aku perlu tahu langsung sebenarnya apa sih yang mereka sering diskusikan, sebagaimana yang sering dibilang bahwa mereka harus berperan dalam perbaikan sistem pendidikan di negeri ini. Entah kenapa aku sekarang sepakat dengan mereka dan pikiranku banyak dipengaruhi karena diskusi bersama mereka. Aku jadi paham banyak hal soal ideologi-ideologi.”

“Lah terus, hubungannya sama pembicaraan dengan Bapakmu apa Jok?”

“Panjang cerita aku menemukan konsep bagaimana aku seharusnya menjadi mahasiswa Gas. Aku akhir-akhir ini juga banyak baca-baca buku tentang pergerakan mahasiswa dan teori-teori serta ideologi  pendidikan.”

“Lalu?”

“Kemarin lusa, Ibuku nyeletuk soal sistem zonasi itu, Bapakku juga. Adikku kan juga baru nyari SMA nih. Katanya sistem zonasi ini ga seru, ga greget, ga menantang, dibilang ngawur pula. Lha nilai ujian nasional adikku itu bagusnya naudzubillah dan pengennya adikku masuk SMA Y. Tapi karena kendala radius jarak ke sekolah pilihan tersebut diurungkan. Setelah itu aku menceramahi Ibuku soal sistem pendidikan dan ideologi pendidikan. Yang aku bicarakan di rumah aku bawa dari hasil diskusiku bersama mereka.

‘’’Bu, biarpun penerapan zonasi ini mulai digalakkan, biarpun sistem penerimaan diubah dengan cara seperti apapun, gak berguna signifikan kalo ideologi pendidikan kita masih seperti ini, ideologi pendidikan kita masih sangat liberalistik dan sistem pendidikan kita masih sangat kapitalistik.’’’

Wajar saja Joko sedang dalam fase menggebu-gebunya membicarakan ideologi dan sistem pendidikan. Tapi, buruknya yang berbicara dengannya tak jarang kena semprot ide-idenya yang tidak semua orang mampu paham ataupun menerimanya. Dan jadi lucu ketika ia salah menempatkan pembicaraan.

‘’’Kamu itu ngomong apa to, Le? kog Ibu gak paham. Inti dari intinya itu, ya sistem ini masih sangat buruk dan pemerintah tetap harus bertanggung jawab atas semua ini, semua sudah jadi aturan, kengawuran ini. Gak seru, gak menantang. Lah banyak lulusan adikmu itu yang nilainya bagus dan punya niatan melanjutkan sekolah di pilihan ‘favorit’ tapi gagal karena aturan ini. Seharusnya adikmu bisa bersaing untuk masuk SMA Y itu. Dan dampak persaingan itu kan juga bagus to, semakin memacu siswa untuk mendapat nilai bagus.’’’

‘’’Lah, inilah salahsatu akibat membudayanya paradigma liberalistik, Bu. Pikiran Ibu masih sempit, kalau sudah seperti ini yang harus diubah dari akarnya langsung, ideologinya langsung.’’’ Omongan Joko ini menghujam keras Ibunya.

https://myclonewatches.com/ boutiques You Need | Stylish and Durable Choices best place to buy

Ayah Joko langsung menimpali.

‘’’Kamu tu bicara apa to, Le?. Bapak itu paham fase-fase mahasiswa yang sedang seperti kamu ini sedang menggebu-gebunya bicara seperti itu. Yang diomongin ngalor-ngidul sistem, teori-teori, dan ideologi. Toh bapak ini kan juga ketua RT sudah sering ngadepin mahasiswa KKN yang suka bicara seperti itu tapi bingung ketika dihadapkan dengan realitas di masyarakat. Inti dari intinya itu, punya ide-ide bagus dan mendalam, tapi pengejewantahannya nol besar. Healah, Le. Mahasiswa yang suka KKN itu juga kadang besar kepala terhadap pemuda di sini, merasa ilmunya tinggi bisa bicara soal teori, sistem, dan ideologi seperti itu. Satu lagi, Le. Kalau bicara jangan lupa juga kita harus perhatikan siapa yang menjadi lawan bicara kita.’’’

“Begitu, Gas. Setelah aku pikir-pikir tapi memang kebanyakan mahasiswa yang sok idealis juga seperti yang dibilang Bapakku sih dan aku pun ga sadar tertular. Dan mahasiswa kalau ngomong juga seharusnya tahu siapa yang akan diajak ngomong. Aku bicara seperti itu ke Ibuku dan mana tahu Ibuku soal demikian toh lulusan SMP. ’’

“Iyasih, Jok. Aku sudah menyadarinya sedari lama. Karena itu berarti yang menjadi PR besar kita itu mencari cara bagaimana mengejewantahkan ide-ide muluk kita ke arah yang lebih konkret dimulai dari hal kecil. Agar banyak orang gak tambah sinis juga dengan apa yang kita bicarakan. Minimal ada aksi nyata walaupun dampaknya kecil tapi jika dilakukan terus menerus akan berdampak masif bukan?”

Sesaat setelah itu keduanya langsung hening. Tak ada pembicaraan lagi diantara kami.

POLITIK DAN MAHASISWA

Apa itu politik ? Apa hubungan politik dengan mahasiswa ? Banyak yang menyatakan anti politik atau tidak mau tahu politik karena menganggap politik jauh dengan kita, masih banyak pula anggapan politik itu urusan negara yang hanya menjadi kepentingan pejabat, kotor, dan tidak jujur.

Dua definisi politik menurut Hans Kelsen :

  • politik sebagai etik, berkenaan dengan tujuan manusia atau individu agar tetap hidup secara sempurna
  • politik sebagai teknik, berkenaan dengan cara ( metode ) manusia atau individu untuk mencapai tujuan

Dengan definisi politik dari Hans Kelsen, maka sebenarnya setiap manusia tak bisa terlepas dengan politik dalam kehidupan.

Politik sendiri sangat dekat dengan manusia terutama mahasiswa. Mahasiswa yang dalam pandangan masyarakat berada pada kelas atas yang dianggap berpendidikan dan memiliki wawasan luas, yang sudah mampu mengupayakan dan tahu sesuatu lebih dari orang awam, dan yang diharapkan menjadi jembatan suara dari bawah ke atas. Mahasiswa hidup dalam kehidupan kampus dimana banyak pembelajaran dan pembekalan untuk menghadapi kejam kehidupan nyata, yang pada tempat itu banyak wadah belajar ilmu, sosial, budaya, juga politik.

Sebenarnya, praktik politik tidak hanya terjadi pada negara dengan aktor pejabat. Mahasiswapun telah melakukan praktik politik di dalam kehidupan kampus mereka, pemilihan presiden mahasiswa, pemilihan rektor, dan pembuatan serta pengawalan kebijakan contohnya. Dalam pemilihan presiden mahasiswa terdapat cara yang disusun untuk mencapai tujuan, begitu pula dengan pemilihan rektor dan proses pembuatan serta pengawalan kebijakan. Tidak hanya di dalam kampus, di luar, mahasiswa juga menjadi bagian pengontrol pemerintahan, pengawas, pengkritik kesalahan, jembatan aspirasi dari rakyat ke pemerintah, maupun penyampai dan pemerhati kebijakan dari pemerintah kepada rakyat. Dari sini terlihat bahwa sebenarnya mahasiswa memiliki hubungan yang kuat dengan politik itu sendiri.

Politik telah berhubungan dengan mahasiswa bahkan sejak tahun 1912, pada saat itu sudah ada upaya politis dalam penyatuan berbagai elemen untuk melawan penindasan kolonial, seperti melalui organisasi Sarekat Islam yang dipelopori oleh H.O.S Tjokroaminoto contohnya, mahasiswa angakatan awal seperti Soekarno, Semaun, Kartosuwiryo, dll banyak belajar dari  H.O.S Tjokroaminoto dan membuat bibit pergerakan mulai muncul, hingga salah satu puncaknya yaitu momen bersejarah yang tidak terlupakan, sumpah pemuda. Pada saat itu para pemuda yang didalamnya juga terdapat mahasiswa bersatu dan bergerak bersama dalam usaha menuju kemerdekaan. Setelah momentum bersejarah tersebut, banyak kegiataan politik yang mulai berkembang dan gencar di berbagai organisasi. Pada tahun 1955 saat diadakannya pemilu pertama di Indonesia, jumlah partai politik peserta pemilu lebih dari 150 partai, hal ini menunjukkan banyaknya wadah belajar politik dan kegiatan politik yang tak jarang anggotanya merupakan mahasiswa.

Perkembangan politik dari waktu ke waktu semakin meningkat. Pada saat ini, pembelajaran mengenai politik juga bisa dengan mudah didapatkan dengan banyaknya organisasi ektrakampus. Organisasi ekstrakampus bisa menjadi tempat mehasiswa belajar lebih mengenai ilmu, organisasi, sosial, budaya, dan politik itu sendiri, contoh seperti KAMMI, IMM, HMI, GMNI, dll. Dalam berbagai organisasi ini tentu ada penanaman nilai yang berbeda sebagai ciri khas masing-masing organisasi. Perbedaan ideologi, pendapat, rasa kedaerahan, dan pendirian tentu adalah hal yang wajar terjadi. Pengkotak-kotakan mahasiswa dari perbedaan yang ada seharusnya mampu membuat kita belajar bagaimana cara bertahan, menghormati, menghargai, berusaha untuk memperbaiki diri dan selalu berusaha untuk lebih baik. Karena kita percaya, setiap gerakan dan usaha yang kita lakukan demi kebaikan, dan kebaikan yang kita usakahan jauh lebih penting diatas kepentingan pribadi dan golongan. Perbedaan seharusnya bukan menjadi penghalang untuk menyatukan berbagai elemen yang beragam, perbedaan lebih baik dipandang sebagai sebuah warna yang akan menciptakan keindahan jika semua sesuai porsinya.

 

Yogyakarta, 10 Juli 2019

K_n

 

 

 

 

 

Azab Orang yang Berpura-pura Miskin

Siap diazab jika berpura-pura miskin? Sekiranya itu pertanyaan yang tersirat dari surat penyataan miskin yang dikeluarkan Dinas Sosial Kabupaten Gunungkidul.

Sejak Maret kemarin Dinas Sosial Gunungkidul melengkapi isi surat penyataan miskin dengan sumpah agama, sebagai berikut:

Sumpah Agama:

Demi Allah saya bersumpah, sesungguhnya bahwa keadaan ekonomi keluarga saya miskin. Apabila saya tidak memberikan pernyataan yang sebenarnya, saya akan mendapat kutukan dari Allah SWT.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dan sesungguhnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Sumpah agama di atas mengingatkan kita pada film azab yang sering diputar di salah satu stasiun TV dan marak jadi bahan lelucon warganet. Kejadian buruk yang akan diterima jika kita memberi sumpah palsu atau berlaku tidak seperti seharusnya.

Hal di atas mulai banyak dibicara kan setelah salah satu warga Dusun Ngadipiro Kidul 003/ 005, Rejosari, Semin Kabupaten Gunungkidul bernama Narmi (59) akan mengajukan Kartu Indonesia Sehat (KIS) saat akan berobat di Puskemas II Semin karena penyakit asam lambung. Beliau berniat mengurus Kartu Indonesia Sehat karena KISnya yang diblokir dari pusat. Saat sampai di Kantor Kepala Desa Rejosari, beliau diminta mengisi surat pernyataan di atas. Prosedur baru ini membuat sungkan Narmi untuk mengisinya, namun karena kebutuhan belaiau tetap melanjutkannya.

Ketika dikonfirmasi Paliyo (Kades Rejosari) menyampaikan bahwa formulir surat di atas turun langsung dari Dinas Sosial sebagai pemangku kebijakan. Sebagai pelaksana sejujurnya beliau juga kurang setuju dengan narasi yang diberikan.

Pertanyaannya, Kenapa surat penyataan bernada tidak etis di atas bisa keluar?

Nah, Alokasi APBD yang terbatas melatarbelakangi keluarnya Perbub nomor 98 yang berisi tentang strategi penanggulangan kemiskinan daerah Kabupaten Gunungkidul tahun 2017-2022, khususnya dalam pengeluaran Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Dengan keluarnya Perbub tersebut, maka Dinsos mengambil sikap dengan menyertakan sumpah agama pada Surat Pernyataan Miskin.

Menurut Siwi Iriyanti (Kepala Dinas Sosial Kabupaten Gunungkidul), “Perbub keluar 2017 akhir, diterima tahun 2018 dan baru diterapkan 1 Maret 2019 sebagai langkah kami menyikapi Perbub (nomor 98 tahun 2017). Salah satunya dengan melengkapi isi surat pernyataan (Miskin) dan melakukan screening,”

“Untuk isi (sumpah Agama) di surat pernyataan buat ada semacam saringan (pemohon SKTM) dan itu sudah disepakati teman-teman desa, sebelumnya juga sudah disosialisasikan,” imbuh Siwi.

Harapannya warga yang mendapatkan SKTM adalah yang benar-benar membutuhkan. Selain itu untuk mengerem APBD untuk KIS bagi warga yang KIS nya sudah diblokir oleh pusat.

“Bukan artian apa-apa, karena kita sudah 158 ribu (orang pemegang) KIS yang menggunakan APBD, jadi untuk menekan APBD (untuk KIS). Selain itu, adanya Perbub itu (nomor 98) untuk melatih kejujuran, tanggungjawab dan moril warga,” ucapnya.

Narasi SKTM di atas bagai dua mata pisau, disatu sisi membuat orang yang hendak berpura-pura miskin berpikir dua kali. Dan di satu sisi terlalu menyakitkan bagia yang benar-benar membutuhkan, minta bantuan kok malah disumpahin.

“Karena masih banyak warga yang mampu minta SKTM. Terlebih, kalau di desa dia (kepala desa) sering mengaku perkewuh (sungkan) kalau ada (warga tergolong mampu) yang minta, sehingga kita kasih filter dengan itu (pencantuman sumpah agama pada surat pernyataan miskin),” sambung Siwi.

Diimbuhkan pula, narasi pada suart pernyataan di atas akan segera dibahas dalam tim dan direvisi agar lebih etis.

Menurut teman-teman gimana cara efektif untuk menscrining penerima SKTM?

Sumber :
Kedaulatan Rakyat Sabtu Legi, 15 Juni 2019 halaman 4,
“Ajukan Surat Keterangan Miskin, Warga Harus Nyatakan Siap “Dikutuk””
https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4587481/bunyi-sumpah-siap-dikutuk-tuhan-jika-bohong-saat-urus-sktm-di-gunungkidul

KEMANAKAH TOLERANSI PANCASILA KITA?

Lebaran sebentar lagi (tak deng deng) ~~~ Eitsss… eitss,  tunggu dulu sepertinya ada yang tertinggal nih apa ya??? Ahh iya, selain lebaran ternyata ada moment bersejarah juga nih dibulan penuh tanggal merah ini. Peristiwa apaan tuh yang menyambut awal bulan Juni ini lurr?? Yapss…. peristiwa lahirnya dasar negara sekaligus ideologi negara ini kawan setanah airku, yaitu Pancasila. Hmm, memang apa spesialnya Pancasila itu?? Yukk simak penjelasan dibawah ini:

Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Ir. Soekarno pada pidatonya disidang BPUPKI pertama tanggal 1 Juni 1945 dalam menentukan dasar negara Indonesia. Ir. Soekarno memilih kata Pancasila bukan Panca Dharma atas petunjuk seorang teman beliau yang ahli dalam bahasa yaitu M.Yamin. Menurut Bung Karno kata Panca-dharma dirasa kurang tepat digunakan karena sidang BPUPKI saat itu tengah membahas dasar negara sedangkan Panca Dharma berasal dari kata Panca berarti lima dan kata Dharma berarti kewajiban.

Pancasila itu sendiri terlahir untuk memberikan nama perihal lima dasar negara yang diusulkan bung Karno. Kelima dasar negara ini juga merupakan hasil dari pemikiran sekaligus pengamatan Ir. Soekarno sewaktu pengasingannya di Ende, NTT tepatnya ketika duduk dibawah pohon suku. Dimana beliau sedang berpikir dan mengamati semua aktivitas sosial yang terjadi di masyarakat sekitar, baik ketika masyarakat sedang melakukan tradisi/adat istiadat yang berjalan didaerah tersebut hingga mengenai kebiasaan masyarakat Indonesia untuk selalu bergotong royong dan bermusyawarah mufakat. Sehingga menurut beliau kelima dasar Negara yang diusulkannya merupakan salah satu bentuk dari hasil nyata perilaku dan gejala sosial yang terjadi pada bangsa Indonesia, bukanlah pemikiran semata Ir. Soekarno.

Secara historis proses perumusan Pancasila diawali pada sidang BPUPKI yangmana hasil dari siding BPUPKI adalah pada tanggal 29 Mei 1945, Muh. Yamin berpidato tentang dasar negara kemudian tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan agar dasar negar diberi nama “Pancasila” dan usulan tersebut diterima secara bulat oleh siding BPUPKI dan tanggal 22 Juni 1945 sembilan tokoh nasional mengadakan pertemuan dan menghasilkan “Piagam Jakarta”. Namun secara terminologis, sehari setelah Indonesia merdeka PPKI mengadakan sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang terdiri dari pembukaan, pasal-pasal UUD, aturan peralihan dan aturan tambahan serta penjelasan. Dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea ke empat terdapat rumusan Pancasila.

Mengapa harus ada rumusan Pancasila dalam konstitusi Negara kita??  karena Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga menurut para pendiri negara (founding father) yakni PPKI, nilai dan sila pada Pancasila wajib dimasukkan dalam pembentukan dan perumusan suatu dasar peraturan perundang-undang (konstitusi negara) sebuah negara.

Dewasa ini, banyak sekali kasus/masalah yang menimpa bangsa ini terutama terhadap nilai/makna Pancasila mulai dari disintegrasi bangsa, intoleransi terhadap umat beragama hingga masalah radikalisme serta terorisme. Sebelum, kita berpikir mengenai permasalahan yang ada sebenarnya apa sih dimaksud bung Karno dan pendiri bangsa mengenai Pancasila berasal dari pribadi bangsa itu sendiri??

Yang dimaksud Pancasila berasal dari bangsa itu adalah bahwa setiap sila-sila dalam Pancasila memiliki nilai dan makna nya tersendiri yang diambil dari inti sari kehidupan/kebiasaan masyarakat Indonesia. Karena telah kita ketahui bersama bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang beranekaragam baik dari segi agama, ras, etnik, suku, bahasa, budaya dan sebagainya. Selain sebagai bangsa yang beranekaragam juga sebagai bangsa yang multikultural. Dimana suatu bangsa yang multikultural tidak hanya tau akan perbedaan dan kemajemukan yang ada tetapi juga ada sikap, perilaku dan tindakan dalam upaya menjaga perbedaan itu sendiri. Hal ini lah menjadi latar belakang atau cikal bakal terbentuknya sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia.

Dalam hal ini masih banyak nilai dan makna daripada sila ketiga ini yang belum terlaksana sesuai harapan. Misalnya baru saja ini banyak sekali pemberitaan penistaan agama A oleh seseorang atau sekelompok agama tertentu bahkan hingga melanggeng berbagai cara yang mengatasnamakan agama untuk memecah belah bangsa ini. Justru hal ini sangat disesali karena kita tahu bahwa para pendiri bangsa hingga bangsa Indonesia terdahulu telah berupaya sangat keras untuk mempersatukan bangsa ini tanpa pandang bulu.

Sesuai dengan paribasa Jawa berikut, “Rukun agawe santoso, crah agawe bubrah” yang artinya kerukunan akan menghasilkan kesejahteraan, sedangkan perpecahan akan menimbulkan kesengsaraan. Karena semua orang juga pasti sudah tahu, bahwa kerukunan yang dimaksud dalam sila ketiga dalam Pancasila itu hal yang penting. Apalagi di tengah situasi yang krisis kedamaian seperti sekarang ini. Banyak muncul provokator yang berusaha memecah belah bangsa kita. Nah, kita bisa mulai menciptakan kerukunan itu dari lingkungan terdekatmu, ya. Misalnya di rumah, sekolah, kampus atau kantor.

Mungkin hal ini juga sejalan dengan perkataan Bung Karno berikut, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri”. Dulu kita mungkin tidak akan membayangkan kemungkinan perkataan tersebut. Mana mungkin ada yang lebih sulit dari berjuang melawan penjajah? Namun jika kita kembali menelaah apa yang terjadi sekarang ini, kata-kata Soekarno kemungkinan besar memang benar adanya. Mungkin juga beliau sudah melihat tanda-tanda bagaimana kita kini memiliki tabiat yang tidak biasa.

Oleh karenanya kita sebagai pemuda sekaligus penerus bangsa ini selanjutnya, janganlah putus asa dan menyerah menghadapi permasalahan bangsa yang saat ini sedang kita hadapi. Justru dengan semakin banyak permasalahan yang ada seharusnya semakin membuat kita kuat akan apapun rintangan dan hambatan yang akan dihadapi oleh bangsa ini.

 

~ Hyuga ~

Masih Adakah Cerminan Pemuda Revolusioner Bagai Budi Utomo?

Sejarah Pendiri Budi Utomo

Organisasi Budi Utomo (juga disebut Boedi Oetomo) adalah organisasi pemuda yang dibentuk pada 20 Mei 1908 oleh seorang tokoh Indonesia bernama Dr. Sutomo dan mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji. Diusulkan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Pendiri Budi Utomo ini dipelopori oleh anak-anak muda dari STOVIA, Sekolah Peternakan dan Sekolah Pertanian Bogor, Sekolah Guru Bandung, Sekolah Pamong Praja Magelang dan Probolinggo serta Sekolah Sore untuk orang Dewasa di Surabaya. Siswa-siswa ini terdiri dari Soeradji, Muhammad Saleh, Soewarno A., Goenawan Mangoenkoesoemo, Suwarno B., R. Gumbreg, R. Angka, dan Soetomo. Nama Budi Utomo sendiri oleh Soeradji, mottonya bukan Java Vooruit (Jawa Maju), tetapi semboyan yang akan dinyanyikan adalah Indie Vooruit (Hindia Maju).

Perkembangan Budi Utomo adalah sifat lain yang terdiri dari sosial, ekonomi, dan budaya tetapi itu tidak ada dan memiliki unsur politik. Pembentukan organisasi ini menjadi awal dari sebuah organisasi atau gerakan yang bertujuan untuk mencapai Indonesia pada saat organisasi ini hanya digunakan untuk kelas berpendidikan Jawa. Hingga kini sejarah pendirian Budi Utomo juga diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei.

Tokoh pendiri Budi Utomo

Dr. Wahidin Sudirohusodo (1852-1917) adalah pendiri Budi Utomo. Juga tidak termasuk dari pendirian Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908, julukan organisasi kebangunan nasional. Karena sebenarnya orang di belakang organisasi itu didirikan oleh mahasiswa atau mahasiswa STOVIA Jakarta saat itu.

Akhirnya pada 20 Mei 1908, Sutomo dan teman-temannya (Salah satunya adalah Mangoenkoesoemo dan Soeraji) mendirikan sebuah organisasi bernama Budi Utomo. Organisasi yang merupakan organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia saat ini.

Sejarah Singkat

Pembentukan organisasi Utomo Budi dimulai dengan Dr. Wahidin Sudirohusodo yang berkampanye di kalangan priyayi dari Jawa pada 1906-1907. Tujuannya adalah untuk meningkatkan martabat dan martabat manusia dan bangsa. Ini akan dilakukan dengan membuat Dana Siswa atau apa yang sering disebut sebagai Studiefonds pada saat itu.

Ini merupakan lembaga untuk membongkar pendidikan kaum muda cerdas dan tidak mampu membiayai pendidikan mereka. Pada akhir 1907, Dr. Wahidin bertemu dengan Sutomo. dari pertemuan, Sutomo dan memberitahu teman-teman di STOVIA maksud dan tujuan Dr. Wahidin pada waktu itu.

Awalnya itu hanya solusi untuk membiayai siswa, akhirnya dengan jangkauan yang luas yang memungkinkan pembentukan organisasi Budi Utomo itu sendiri. Istilah nama Budi Utomo sendiri terdiri dari, kata Budi yang berarti temperamen dan temperamen dan utomo yang berarti baik dan luhur. Istilah Budi Utomo dibentuk dan dapat diartikan sebagai asosiasi yang akan mencapai sesuatu berdasarkan bangsawan, temperamen atau karakter yang baik.

Pada hari Minggu, 20 Mei 1908 pukul 9 pagi, yang diadakan di STOVIA, Sutomo menjelaskan beberapa pendapat dan gagasannya. Dia menyatakan bahwa masa depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Kemudian Boedi Oetomo (Budi Utomo) lahir.

Namun, anak muda menyadari bahwa mereka masih banyak mahasiswa kedokteran, selain harus berorganisasi. Dan karena itu, para pemuda memberikan pendapat bahwa itu adalah “orang tua” yang harus memimpin organisasi Budi Utomo, sedangkan pemuda itu sendiri akan menjadi penggerak yang akan menggerakkan organisasi pikiran utomo.
Selama sepuluh tahun Organisasi Budi Utomo mengalami beberapa pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal dari kalangan “priayi” atau para bangsawan dari kalangan keraton seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, mantan Bupati Karanganyar dan ia adalah (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.

Pada dasarnya tujuan Budi Utomo hanyalah masalah yang harmonis untuk Nusa dan Jawa dan Madura. Kesatuan di seluruh Indonesia tidak diketahui pada saat itu. Karena itulah yang diinginkan Budi Utomo, termasuk perbaikan sosial yang mencakup Jawa dan Madura, juga kata kemerdekaan tidak disebutkan sama sekali.

Perkembangan Budi Utomo

Budi Utomo mengumumkan fase pengembangan yang sangat penting selama kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Pada saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda, sangat pro-Indonesia, dengan mewujudkan kata “politik”. Berkat gagasan “tanah air Indonesia” semakin lama ia dapat diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa.
Kemudian datang Indische Partij yang sudah lama disiapkan oleh Douwes Dekker. Organisasi ini terbuka dan terbuka untuk semua orang Indonesia tanpa kecuali. Baginya adalah “tanah, air, api dan udara”, yaitu Indonesia adalah tanah air yang umum.

Pada 3-5 Oktober 1908, Kongres pertama Budi Utomo diadakan di Kota Yogyakarta. Budi Utomo memiliki tujuh cabang di beberapa kota yang tersebar di seluruh Jawa, termasuk Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya dan Ponorogo. Pada kongres Yogyakarta ini, Raden Adipati Tirtokoesoemo diangkat sebagai mantan bupati Karanganyar yang diangkat sebagai presiden pertama Budi Utomo.

Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru Budi Utomo bergabung dari kelompok dan anggota kolonial, banyak anggota keluarga yang memilih menyingkir dan anggota Budi Utomo pada waktu itu banyak dari para priyayi dan pegawai negeri. Dengan demikian, protonasionalisme para pemimpin yang muncul pada awal Budi Utomo didorong ke belakang. Strategi perjuangan Budi Utomo pada dasarnya kooperatif.

Berikut ini adalah hasil dari Kongres Budi Utomo yang pertama di Yogyakarta:

  • Tidak ada politik dalam organisasi Budi Utomo
  • Target kegiatan Budi Utomo hanya digunakan di bidang sosial, budaya dan pendidikan.
  • Ruang untuk Budi Utomo Limited (Jawa dan Madura).
  • Dan Tirto Kusumo, Bupati Karanganyar, dipilih sebagai kepala pusat Budi Utomo.

 

Untuk menyusul pada tahun 1912 ketika Notodirjo menjadi ketua Budi Utomo sepasang R.T. Notokusumo melakukan banyak upaya untuk memajukan Budi Utomo. Karena pada waktu itu organisasi nasional lainnya, seperti Sarekat Islam (SI) dan Indiche Partij (IP) telah muncul, hasilnya tidak begitu besar.

Postingan ini disponsori oleh mitra kami Wigs

Namun, Budi Utomo masih memiliki andil besar dalam sejarah gerakan nasional, yang telah membuka jalan dan memelopori gerakan nasional Indonesia. Organisasi Sarekat Dagang Islam adalah organisasi yang digantikan oleh Tcokroaminoto untuk menjadi Sarekat Islam.

Pada mulanya ini digunakan sebagai asosiasi untuk pengusaha besar dan kecil di Solo dengan tujuan membantu dan membantu, yang bertujuan untuk menyatukan masyarakat Indonesia dengan kolonialisme. Tentu saja pengumuman asosiasi ini ditakuti oleh orang-orang Belanda.

Munculnya gerakan politik rupanya menyebabkan Pendiri Budi Utomo terdesak mundur. Kepemimpinan perjuangan untuk nasionalisme disebut oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena di arena politik Budi Utomo memang tidak berpengalaman. Karena gerakan politik dari asosiasi-asosiasi ini, makna nasionalisme semakin dipahami oleh masyarakat luas.

Masih adakah cerminan pemuda revolusioner bagai “Budi Utomo”?

Di zaman perjuangan dulu, Budi utomo bagaikan oase ditengah keringnya pergerakan di Indonesia saat itu, dimana Budi Utomo menjadi pioneer bagi nantinya organisasi lain dalam mengembangkan sayapnya di Indonesia. Tentunya, menjadi ujung tombak perubahan tidak dimulai dengan mudah begitu saja, bila meninjau kembali pembentukan Budi Utomo hingga perkembanganya, ada pemuda-pemuda revolusioner dibaliknya, dari mahasiswa STOVIA hingga para pemuda Sekolah Pamong.

Mereka para pemuda lah yang sudah berfikir begitu progresif dan revolusioner mengenai perkembangan bangsanya, bagaimana bangsanya dapat dimajukan lewat jalan lain selain membangkang, yaitu lewat organisasi. Cerminan pemuda yang mungkin sekarang sudah begitu langka dan bahkan sudah tidak bersisa ditemukan di zaman sekarang.

Disaat dulu para pemuda begitu bernalar hebat ditengah banyak kekurangan dan ditengah belenggu bangsa lain, tapi jika melihat diri kita sebagai pemuda, apa yang kita banggakan ? Pemuda sekarang begitu terbuai dengan kenyamanan dan kemudahan disekitar mereka sehingga lupa tugas utama mereka sebagai pemuda .

Lalu muncul petanyaan kembali, apakah tugas kita sebagai pemuda?

Sebagai insan muda yang akan menjadi penerus generasi esok, tentunya kita punya tugas yang cukup jelas, yaitu sebagai pioneer, sebagai ujung tombak, dan sebagai perintis untuk perubahan bangsa ataupun perubahan diri yang lebih baik.

Dengan berguru pada kisah pemuda dalam “Budi Utomo” dimasa lampau, tentunya mulai sekarang kita dapat menjadi pemuda yang berpikiran lebih luas, progresif dan revolusioner.

Bagaimana untuk memulai hal tersebut ? teruntuk kita sebagai pemuda yang diberi anugerah untuk menempuh masa kuliah dengan gelar sementara yaitu mahasiswa, tentunya kita dapat berbuat lebih, kita harus bisa meluruskan kembali julukan mahasiswa sebagai agent of change yang nyatanya sekarang sudah mulai pudar.

Hal yang pertama kali dapat kita lakukan adalah menyakinkan diri sendiri terlebih dahulu bahwa kita sebagai pemuda mampu dan sanggup sebagai pembawa perubahan yang positif, dan yang kedua agar kita mulai untuk merubah pola pikir kita agar lebih terbuka dengan segala perbedaan dan tidak stagnan pada satu posisi saja, kita harus selalu berani mengambil keputusan dan keluar dari zona nyaman demi perubahan tersebut.

Dengan begitu, kalian sudah menjadi sosok perubahan untuk dirimu sendiri, dan soal selanjutnya, biarkan semesta dan alam yang berkehendak dan tinggal bagaimana kita siap menghadapi segala persoalan yang siap menghadang.

 

Sleman, 20 Mei 2019
Sinata

Kemana Arah Pendidikan Kita?

“…. untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ….”

Dari penggalan Pembukaan UUD 1945 Alinea IV disebutkan dengan jelas bahwa salah satu tujuan membentuk pemerintahan, mendirikan sebuah negara dan memerdekakan negara sendiri adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimana cara mencerdaskan kehidupan bangsa? Cita-cita macam apa yang ingin disampaikan pada petikan Pembukaan UUD 1945? Salah satu cara mencerdaskan kehidupan bangsa adalah melalui sebuah kegiatan yang disebut dengan pendidikan.

Lantas … pendidikan itu apa sih ?
Menurut Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan adalah pembudayaan buah budi manusia yang beradab dan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu mengelilingi hidup manusia yaitu kodrat alam dan zaman atau masyarakat (Dewantara II , 1994). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak jauh-jauh dari kebudayaan dan peradaban manusia.

Pendidikan merupakan pranata sosial di mana kebudayaan itu berkembang. Dengan demikian antara kebudayaan dan pendidikan tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lain. Dimana ada kebudayaan di situ ada pendidikan. Dimana ada pendidikan di situ ada kebudayaan. (H.A.R Tilaar,1999:30)

Lantas, sebenarnya apa yang terjadi dengan pranata sosial dalam bidang pendidikan dalam masyarakat?
Ternyata pranata sosial yang kita sebut sekolah telah diisolasikan dari keseluruhan kebudayaan dan telah diarahkan kepada pencapaian kemampuan intelektual semata-mata. Dengan demikian pendidikan kita telah terisolasi dari kebudayaan sehingga menghasilkan peserta didik yang berakal tetapi belum tentu bermoral. Pranata sosial yang disebut sekolah harus kondusif untuk dapat mengembangkan kepribadian yang kreatif. Namun apa yang terjadi di dalam lembaga pendidikan yang disebut sekolah kita ialah sekolah telah menjadi sejenis penjara yang memasung kreativitas peserta didik . (H.A.R Tilaar,1999:30)

Dalam hal ini, yang perlu digaris bawahi adalah kebudayaan seperti apa yang dibudayakan dalam pendidikan? Tilaar mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia peranan pendidikan di dalam kebudayaan dapat kita lihat dengan nyata di dalam perkembangan kepribadian manusia. Tanpa kepribadian manusia tidak ada kebudayaan, meskipun kebudayaan bukanlah sekedar jumlah dari kepribadian-kepribadian.

Dalam bukunya, Tilaar mengatakan bahwa pendidikan di dewasa ini telah dicabik dari keberadaaannya sebagai bagian yang terintegrasi dengan kebudayaannya. Gejala pemisahan dapat dilihat dari 3 hal, yang pertama adalah kebudayaan telah dibatasi pada hal-hal yang berkenaan dengan kesenian, tari tradisional, termasuk urusan candi-candi dan bangunan- bangunan kuno, makam-makam dan sastra tradisional. Kedua, nilai-nilai kebudayaan dalam pendidikan telah dibatasi pada nilai-nilai intelektual belaka. Ketiga, nilai-nilai agama bukanlah urusan pendidikan tetapi lebih merupakan urusan lembaga-lembaga agama.

Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan seharusnya bukan hanya menciptakan peserta didik yang intelektual yang mampu membawa kebudayaan dan peradaban maju, namun juga dibarengi dengan nilai moral yang juga bagian dari nilai-nilai budaya yang dipisahkan oleh pola pikir masyarakat modern sekarang ini. Nilai-nilai moral ini yang belum dikelola dengan baik, sehingga beberapa tahun belakang pendidikan karakter mulai dikembangkan, dengan harapan, sekolah tidak hanya melakukan pengajaran tentang pengetahuan, namun juga melakukan Pendidikan untuk membentuk sebuah karakter yang bukan hanya mahir di inteleknya namun juga memiliki moral yang baik.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam masyarakat masih terdapat banyak ironi pendidikan. Pada tahun 2011, dimana Ujian Nasional masih menjadi momok yang menakutkan, publik digegerkan dengan sepasang anak dan ibu yang memperjuangkan nilai kejujuran dalam penyelenggaraan Ujian Nasional, sebuah perjuangan demi sebuah nilai mulia dalam kehidupan yang lantas dipandang remeh oleh orang-orang disekitarnya, dikucilkan bahkan hingga tidak mampu bertahan di rumah sendiri karena tekanan dari masyarakat.

Dalam konteks ini, bagaimana Ujian Nasional menjadi tekanan tersendiri bukan hanya bagi peserta didik, namun juga untuk sekolah yang dituntut memiliki keberhasilan Ujian Nasional yang tinggi sebagai tolak ukur popularitas sekolah dan kualitas pendidikan dan pengelolaan kurikulum di dalamnya. Bukan hanya itu, hampir di setiap tahunnya publik selalu digegerkan oleh kebocoran soal Ujian Nasional bahkan ada yang mengkomersilkannya, dalam penyelenggaraan UNBK yang beberapa tahun terakhir dilakukan pun masih terdapat banyak permasalahan, mulai dari fasilitas komputer, koneksi

internet dan segala hal teknis yang mengganggu konsentrasi peserta didik. Adanya kecurangan, ketidakjujuran bahkan manipulasi tidak dapat dihindari karena tuntutan dunia yang semakin keras dalam persaingan, baik dalam bidang pendidikan itu sendiri dan tekanan sosial yang menjadi momok menakutkan dari tahun ke tahun.

Melihat dan memandang berbagai permasalahan itu, tentu saja selalu ada evaluasi dalam penyelenggaraan pendidikan, dimulai dari mengurangi persentase Ujian Nasional dalam kelulusan hingga sekarang kelulusan ditentukan oleh sekolah, bukan lagi berpatok pada nilai Ujian Nasional yang sempat menjadi momok menakutkan. Hingga sekarang, perbaikan dalam sistem pendidikan nasional terus diperbaiki, namun bagaimana dengan kebiasaan curang dan mencontek yang terjadi dimana saja dan kapan saja? Kebiasaan- kebiasaan remeh temeh yang banyak orang mengatakan bahwa dari kebiasaan yang dimaklumi itu akan membentuk karakter koruptor. Bagaimana seharusnya peran guru dan sekolah dalam mendidik ?

Lantas … sebenarnya mau diarahkan kemana pendidikan kita? Apa makna mencerdaskan kehidupan bangsa? Apakah sekolah adalah pranata sosial yang menciptakan orang-orang intelek yang tidak bermoral? Yang tidak memiliki rasa manusiawi dan peduli satu sama lain? apakah tujuan bangsa indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sudah tercapai?

Jika melihat lagi pada tujuan pendidikan, maka pendidikan memiliki tujuan dan makna yang lebih kompleks. Pendidikan bukan hanya menuntut tentang pengetahuan, namun juga pengetahuan moral dan budaya yang perlu dikenalkan dan diterapkan dalam kehidupan. Pendidikan awal berasal dari rumah dan lingkungan sekitarnya, kemudian bertingkat hingga di sekolah dan lingkungan fasilitas pendidikan entah itu pendidikan formal, informal atau non formal.
Jika berbicara tentang produk dari sekolah tentu dipastikan akan ada parameter keberhasilan dalam pencapaian prestasi, siswa yang nilainya lebih tinggi akan lebih sukses dan mudah masa depannya dibandingkan dengan siswa yang nilainya lebih rendah atau bahkan bisa dikatakan sangat rendah dan menduduki peringkat terakhir di angkatannya. Paradigma seperti ini yang terkadang memutus harapan dan semangat dalam diri siswa, parameter standar yang diterapkan masyarakat dari tahun ke tahun selalu berbicara tentang prestasi memuaskan dalam bidang akademik, sedangkan prestasi non akademik akan dipandang sebagai hal yang tidak begitu membanggakan.

Namun, kembali kepada perkembangan peradaban yang menuntut sumber daya manusianya untuk cerdas, terampil, rajin, cekatan dan cemerlang dalam pemikiran. Standar

sumber daya yang diharapkan muncul dari siswa-siswa prestatif yang unggul dalam bidang akademiknya, sehingga kemudian orang-orang beranggapan bahwa pretasi di bidang seni dan olahraga bukan lah prestasi yang membanggakan lagi disaat dunia menuntut manusia bergerak lebih cepat dan cekatan.
Berbicara tentang tuntutan, maka tidak dapat dipungkiri ketakutan masyarakat terutama orang tua jika melihat anaknya tidak prestatif di bidang akademik adalah sebuah kewajaran. Dunia yang semakin keras persaingannya membuat orang-orang berlomba-lmba mengeluarkan performa terbaiknya, bahkan tidak peduli dengan sekitarnya lagi demi memenangkan kompetisi yang semakin sengit dan beragam lagi tantangannya. Sehingga, hal- hal seperti ini yang membuat sekolah seolah hanya menciptakan orang-orang intelek tanpa memiliki moral yang baik, menjadi sukses dengan jalan yang tidak bisa dikatakan benar bahkan mungkin rela menjadi koruptor, rela membayar lebih untuk ijazah palsu dan segala hal-hal instan yang kemudian bukan hanya mematikan orang-orang berkompeten lain, namun tanpa sadar nurani juga terluka yang kemudian dari luka itu akan membuat pribadinya terbebani akan rasa bersalah yang tidak bisa dipungkiri dirasakan oleh nurani.

Dalam hal ini, pendidikan yang berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sangatlah penting, karena pendidikan juga merupakan hal yang diperjuangkan dalam melawan penjajah, pahlawan-pahlawan pendidikan yang berjuang melawan maut demi sebuah pendidikan untuk rakyat-rakyat kecil yang tak berdaya dan terbentur oleh aturan dari para penjajah. Mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konteks ini adalah menciptakan sebuah generasi penerus yang tidak hanya pasrah dengan keadaan yang melukai, namun mampu bangkit dan melindungi negaranya sendiri, mampu berjuang dan menuntun perjuangan demi kemajuan negara itu sendiri, pendidikan yang dimaksudkan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa adalah sebuah permintaan halus bahwa sebagai rakyat indonesia, jangan hanya mau dibodohi karena dengan pendidikan pengetahuan didapatkan, pandangan baru diperoleh dan langkah berani akan dilangkahkan karena dengan pengetahuan dan pandangan masyarakat tidak akan lagi terpaku pada suatu paradigma yang terkadang mengikat, terkadang melonggarkan dan bisa jadi memaklumkan. Sudahkah terwujud tujuan itu? semua itu terjawab oleh fenomena yang terjadi sekarang. Tentang pendidikan yang bukan lagi menjadi arena mengembangkan diri sepantas-pantasnya, namun juga menjadi arena untuk meraup keuntungan dan popularitas sebanyak-banyaknya.

Pemimpin Idaman dan Wakil Rakyat yang Semakin Merakyat

Dipilih-dipilih‼ Yuk waktunya untuk memilih!Memilih apa?

Pokoknya milih! Dan kamu harus menjadi bagian dari pemilih itu. Yang jelas ini bukan masalah milih baju obral yaak.

Terus milih apa? Calon pasangan hidup?

Bukanlah! Ini udah April lhoo dan harusnya tahu dong yaak kalau ini adalah waktunya untuk memilih presiden dan wakil rakyat.

Kira-kira kriteria pemimpin dan wakil rakyat itu yang gimana sih?

Apakah yang sudah dikenal? Yang suka bagi-bagi sembako?  yang suka PHP? Atau yang seperti Thanos?

Pemimpin yang diharapkan itu pemimpin yang seperti apa sih?

Pemimpin yang mengayomi, yang bertanggung jawab dan tidak hanya mengumbar janji? Atau pemimpin yang banyak berjanji dan bercita-cita tinggi?

Sebagai rakyat dan masyarakat Indonesia, tentu saja harapan memiliki pemimpin yang ideal dan mampu membawa sebuah negara dalam sebuah puncak keemasan adalah harapan yang akan banyak digaungkan. Bukan hanya memiliki pemimpin yang bertanggung jawab, namun mengayomi dan mampu membawa perubahan besar, baik dalam kehidupan masyarakat atau di bidang pemerintahan itu sendiri.  Pemimpin yang diharapkan akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju, bukan hanya di mata rakyatnya tapi juga di mata dunia. Terlepas dari tugasnya yang membawa perubahan, pemimpin adalah sosok yang akan dilihat dan diawasi oleh banyak pasang mata, pemimpin bukan hanya bekerja untuk membawa negaranya di mata dunia, namun juga melayani rakyat yang sudah menggantungkan harapan besar akan kepemimpinannya.

Pemimpin itu pelayan, pemimpin itu kuasanya di tangan rakyat, pemimpin itu adalah sosok yang dipercaya rakyatnya untuk membawa negara dalam perubahan yang lebih baik.

Pemimpin idaman merupakan seseorang yang mampu membawa perubahan tanpa adanya kebohongan alias ada bukti atau aksi nyatanya, bukan yang memerintahkan saja, adil dan bijaksana, toleransi dan bertanggung jawab, membawa perkembangan, perubahan dan pembangunan ke arah yang lebih baik.

Lantas, bagaimana dengan wakil rakyat yang juga menjadi objek yang akan dipilih juga saat pemilu?

Aku nggak kenal, gimana bisa percaya dan memilih? Mending golput kan?

So What? Kalau gak kenal maka kenalan lah, stalking idol aja yang jauh dimata mau, yakali stalking calon wakil kita tidak mau?

Sama seperti calon presiden yang tidak kita kenal maka kita kenalan lewat stalkingan, ini bukan stalking mantan yang nggak ada feedbacknya, dengan stalking calon-calon pemangku jabatan, maka secara tidak langsung kelak kita akan merasakan feedbacknya. Contohnya, kalau kita memilih pemimpin yang menurut kita satu visi dan misi dengan apa yang ada di pikiran kita maka secara tidak langsung pemimpin yang kita pilih akan seotak dengan kita, akan searah dengan pemikiran kita yang menginginkan perubahan di negeri ini.

Jadi, apakah kalian masih berpikir bahwa stalking mantan lebih baik dari pada stalking calon pemangku jabatan?

Terus, wakil rakyat itu sebenarnya bedanya DPR, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten dan DPD itu apa sih ?

Menurut UU no 17 tahun 2014  Pasal 67 DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya pada pasal 68 dinyatakan bahwa DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

Dalam pasal 246 dinyatakan bahwa DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya pada pasal 247 dinyatakan bahwa DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

Dalam pasal 314 dinyatakan bahwa DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya pada pasal 315 dinyatakan bahwa DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah provinsi.

Dalam pasal 363 dinyatakan bahwa DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya pada pasal 364 dinyatakan bahwa DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Tugasnya ngapain dong?

Salah satu tugas dari wakil rakyat yang tertera di dalam UU no 17 Tahun 2014 adalah Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Kepo sama tugas dan fungsi yang lain? Kepoin aja, ada teknologi bernama Google yang akan menjawab semua kekepoan kalian tentang tugas wakil-wakil rakyat kita.

Jadi, boleh kan untuk mengatakan bahwa wakil rakyat itu media masyarakat dalam menyapaikan aspirasi?

Wakil rakyat itu media, media yang mengantarkan suara dan aspirasi rakyat, media untuk menyalurkan ide dan pendapat dari rakyat tentang segala evaluasi dan kritikan untuk sistem pemerintah dan semua kebijakan yang sudah diterapkan mau pun yang akan diterapkan. Wakil rakyat itu mewakili suara rakyat, mencari tahu apa mau rakyat dan paham apa yang dibutuhkan rakyat. Wakil rakyat sebagai media untuk memahamkan sistem pemerintahan kepada rakyat, media untuk pencerdasan tentang negara, tentang keputusan dan kebijakan yang akan diterapkan. Wakil rakyat itu media  yang menyampaikan segala layanan negara kepada rakyat. Wakil rakyat itu harusnya merakyat, tidak hanya duduk diam di ruangan dingin sembari bercengkerama, wakil rakyat itu harus turun ke masyarakat, mengorek apa mau masyarakat, mengetahui kondisi masyarakat yang berada di bawah otoritasnya. Wakil rakyat itu ibarat ilmuwan, sebelum menemukan sebuah solusi terlebih dahulu melakukan observasi secara langsung di lapangan, lantas membuat sebuah rumusan masalah, kemudian mulai mengambil data dan menganalisisnya, menganalisis permasalahan-permasalahan yang ada untuk ditemukan solusinya.

Aspirasi rakyat itu selalu ada, hanya saja perlu dipahami bahwa tidak semua rakyat berani dengan lantang mengatakan aspirasi, tidak banyak masyarakat yang berani menyuarakan suaranya tentang keluhan-keluhannya. Masyarakat itu ada ribuan dan  pasti semuanya memiliki keluhan, hanya saja kebanyakan diantara mereka merasa enggan menyuarakannya. Dalam hal ini lah merakyat itu berperan, bukan duduk manis menunggu surat aduan atau menunggu aksi demonstrasi dan orasi-orasi yang terkadang berakhir dengan akhir yang tidak diinginkan. Sebelum diprotes bukankah lebih baik melakukan observasi kemudian mencari solusi dari permasalahan berdasarkan data dan fakta di lapangan.

So, buat kamu ! kamu dan kamu! Yang bingung mau milih siapa, kuy cek play store ketik KPU RI PEMILU 2019 di kolom pencarian dan install langsung di hape kamu.