CATATAN HITAM KEKERASAN SEKSUAL: DIMANA PERAN KAMPUSKU?
Pendahuluan
Pelecehan seksual adalah salah satu tindak kejahatan yang pada hari ini menjadi suatu hal yang sering terjadi di masyarakat. Tua ataupun muda, laki-laki maupun perempuan, berpakaian tertutup ataupun terbuka, semuanya berpotensi menjadi korban tindak pelecehan seksual. Catatan Tahunan Komnas Perempuan per 2018 menyajikan bahwa persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 41% (3.982 kasus), diikuti kekerasan seksual 31% (2.979 kasus), kekerasan psikis 15% (1.404 kasus), dan kekerasan ekonomi 13% (1.244 kasus). Berdasarkan data tersebut, tindak pelecehan seksual yang merupakan bagian dari kekerasan seksual memiliki persentase yang tergolong tinggi, yaitu pada angka 31%. Sementara ditahun berikutnya pun semakin meningkat, yaitu dengan persentase 64%. Berdasarkan data tersebut, bukan tidak mungkin jika ada sebutan “memprihatinkan” dari masyarakat terkait dengan penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual.
Mengutip Komnas Perempuan, pelecehan seksual disebutkan sebagai segala bentuk tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. Pelanggaran pelecehan seksual kini dapat terjadi dimanapun, dan melalui apapun, di tempat umum, di tempat tertutup, secara verbal maupun non verbal. Payung hukum dari pelecehan seksual sendiri tertera pada Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 sampai Pasal 303). Namun pada kenyataannya, masih banyak kasus kejahatan dan pelecehan seksual yang tidak tertangani.
Pelecehan seksual dapat terjadi tanpa mengenal waktu dan tempat, tidak menutup kemungkinan akan terjadi di lingkungan kampus. Ada beberapa dari mahasiswa/mahasiswi yang mengalami pelecehan saat sedang berada di kampus. Seperti yang diliput dalam suarajogja.id pada tanggal 8 Mei 2020 tentang mahasiswi UGM, UII dan UIN yang pernah melaporkan tindakan pelecehan seksual. Menurut pengakuan dari para korban tindakan ini pernah dilakukan sesama mahasiswa, staff kampus, hingga dosen. Berdasarkan berita ini tidak menutup kemungkinan bahwa di lingkungan kampus UNY sendiri terjadi kasus-kasus pelecehan seksual dari mahasiswa ataupun staff dosen yang belum terangkat atau terliput. Oleh karena itu, melalui kajian ini kami berharap agar ada perhatian dari pihak berwajib, yang terutama dalam hal ini adalah pihak universitas sehingga dapat menangani, mencegah, ataupun menanggulangi kasus seperti ini. Sehingga dapat tercipta lingkungan kampus yang nyaman dan aman sebagai tempat belajar, mengembangkan dan mendewasakan diri.
Kajian Pustaka
1. Apa itu Pelecehan Seksual?
Menurut komnas perempuan pelecehan seksual yaitu tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang dimaksud berupa siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. Adapun dijelaskan juga oleh Winarsunu (2008) bahwa pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban.
2. Apa saja bentuk pelecehan seksual?
Secara garis besar bentuk pelecehan seksual terbagi menjadi dua, yaitu verbal dan non- verbal. Kasus pelecehan seksual secara verbal adalah pelecehan seksual yang dilakukan dengan melontarkan suatu hal bernuansa seksual yang membuat korban merasa tidak nyaman. Seperti catcalling, komentar/ucapan bernuansa seksual, pesan teks bernuansa seksual, dan mempertunjukkan materi pornografi. Sedangkan yang dimaksud dengan pelecehan non-verbal merupakan pelecehan seksual yang berkaitan dengan fisik, contohnya, memainkan mata dengan tujuan menggoda, mencolek atau menyentuh bagian tubuh korban, serta gerakan atau isyarat yang bersifat sesual sehingga membuat korban merasa tidak nyaman, tersinggung, dan merasa direndahkan.
3. Faktor yang memengaruhi kerentanan terhadap pelecehan seksual
Mengutip Wilkins (2014) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat tiga faktor yang memengaruhi adanya kekerasan seksual seperti faktor individu, faktor lingkungan sosial, dan faktor hubungan;
Faktor individu : pendidikan rendah, kurangnya sex education, kontrol perilaku buruk, pernah mengalami riwayat kekerasan, pernah menyaksikan kejadian kekerasan/pelecehan seksual, dan penggunaan obat – obatan.
Faktor lingkungan sosial : kebudayaan atau kebiasaan yang mendukung adanya tidakan kekerasan seksual, kekerasan yang dilihat melalui media, kelemahan kesehatan, pendidikan, ekonomi dan hukum, aturan yang tidak sesuai atau berbahaya untuk sifat individu wanita atau laki – laki.
- <
strong>Faktor hubungan : kelemahan hubungan antara anak dan orangtua, konflik dalam keluarga, berhubungan dengan seorang penjahat atau pelaku kekerasan, dan tergabung dalam geng atau komplotan.
4. Dampak pelecehan seksual terhadap korban
Mengutip WHO (2017) disebutkan bahwa pelecehan seksual dapat menimbulkan berbagai dampak buruk bagi korbanny, baik dampak psikologis, dampak sosial, maupun dampak fisik.
Dampak fisik yang dapat terjadi pada korban seperti, luka, lebam, memar, bahkan hingga ke kerusakan organ vital. Korban juga dapat tertular penyakit menular seksual, serta kehamilan yang tidak diinginkan.
Dampak psikologi yang dapat terjadi antara lain seperti, trauma, stress, kesulitan tidur, penurunan harga diri, Munculnya keluhan somatik, dan penyalahgunaan obat terlarang dan alkohol akibat depresi.
Dampak sosial yang dapat terjadi seperti korban menjadi menutup diri dari lingkungan sekitar, akibat dari stigma di masyarakat. Korban merasa bahwa harga dirinya menjadi rendah karena ia menjadi korban pelecehan seksual, sehingga merasa tidak berharga, tidak pantas dan juga merasa tidak layak untuk bergaul bersama teman-temannya. Dalam kasus kehamilan biasanya korban akan dipaksa untuk menikah dengan pelaku.
5. Metode dan Pendekatan:
Naskah ini menggunakan metode narrative research dan ditulis dengan pendekatan analisis deskriptif kualitatif dengan yang bertujuan untuk mengungkapkan fakta, kejadian, dan fenomena yang terjadi berkaitan dengan ruang lingkup yang menjadi sasaran dibuatnya kajian ini. Adapun data-data yang diperoleh untuk merumuskan naskah ini didapat dengan studi literatur dari hasil penelitian, naskah produk hukum, forum pelayanan pengaduan mahasiswa, catatan tahunan komnas terkait, dan melalui angket yang disebar untuk mengetahui pemahaman dan rekomendasi dari mahasiswa atas isu pelecehan seksual dilingkungan kampus.
Pembahasan
Uraian Fakta dan Fenomena
Universitas Negeri Yogyakarta merupakan salah satu Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia, hal itu didasarkan pada klasifikasi kemendikbud yang menempatkan UNY pada klaster 1 Perguruan Tinggi terbaik di tanah air. Akan tetapi, dibelakang prestasi tersebut ada hal yang tidak dimunculkan ke publik, yaitu mengenai kasus kekerasan/pelecehan seksual yang terjadi dalam lingkungan kampus. Berdasarkan program pelayanan pengaduan (I Hear You), pelecehan seksual di lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta sudah terjadi berulang kali. Farley (1978), dalam Kurnianingsih, (2003) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak dikehendaki penerimanya, di mana rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk baik yang halus, kasar, tebuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah. Pelecehan seksual terbagi menjadi beberapa macam, mulai dari pelecehan gender, perilaku menggoda, penyuapan dan pemaksaan seksual dan pelanggaran seksual. Tindakan pelecehan seksual ini mampu memberikan dampak negatif yang besar kepada para korban, seperti merasa direndahkan, merasa tidak berguna, gangguan kejiwaan yang berpengaruh pada kesehatan fisik, gangguan emosional, gangguan mental yang berujung pada ketakutan traumatis, hingga melakukan percobaan bunuh diri. Adapun beberapa kasus pelecehan seksual yang pernah terjadi di lingkungan kampus dinarasikan pada naskah ini sebagai bahan pengkajian dan evaluasi, agar kedepannya pihak kampus mampu lebih beperan dalam pencegahan terjadinya tindak pelecehan seksual. Dalam penulisan ini seluruh identitas korban dirahasiakan, demi menjaga nama baik dan mencegah ketersinggungan.
A dan K adalah korban dari pelecehan seksual yang memberikan pengaduan atas pengalamannya kepada pihak yang mampu memberikan mereka perlindungan. Kejadian serupa juga dialami oleh D, ia mendapatkan catcalling dari seorang penjaga parkir lab fakultasnya, kejadian ini sudah ia dapatkan ketika ia menjadi mahasiswa baru. Tindakan pelecehan seksual yang mereka dapatkan berupa catcalling dan pelecehan seksual secara vebal. Catcalling menurut Oxford Dictionary didefiniskan sebagai siulan, panggilan dan komentar yang bersifat seksual dari seorang lelaki kepada perempuan yang lewat didepannya. Chhun (2011), dalam Hidayat & setyanto (2019) mengidentifikasikan catcalling sebagai penggunaan kata-kata yang tidak senonoh, ekspresi secara verbal dan juga ekspresi non-verbal yang kejadiannya terjadi di tempat publik. Mungkin bagi sebagian orang di Indonesia, siulan atau suitan menjadi sebuah hal yang biasa saja. Akan tetapi, hal seperti ini mampu memberikan rasa ketidak nyamanan kepada lawan atau objek bicara, sehingga siulan, bisa menjadi sebuah tindakan pelecehan seksual dan pelaku tentu bisa dikenai pidana.
Pada dasarnya di Indonesia belum memiliki payung hukum yang secara khusus membahas tindakan catcalling, namun penggabungan dari beberapa peraturan mampu menjamin kepastian hukum secara makasimal. Penggabungan peraturan ini didalamnya terdapat KUHP dan UU. No 4 Tahun 2008 tentang pornografi. Pada KUHP Pasal 281 ayat 2 ini menjelaskan bahwa apabila ada seseorang yang dengan sengaja di depan orang lain diluar kesediaan orang tersebut melakukan suatu perbuatan asusila dapat dipidana penjara ataupun pidana denda, dan Pasal 315 memberi penjelasan bahwa setiap penghinaan yang sengaja dilakukan terhadap seseorang dengan tulisan maupun lisan didepan orang tersebut maupun melalui surat dapat dikategorikan sebagai penghinaan ringan yang mampu dipidana dengan penjara maupun pidana denda. Pada Pasal 8 UU No 4 Tahun 2008 Tentang Pornografi secara garis besar melarang seseorang menjadikan orang lain sebagai model atau objek dalam memuat konten yang mengandung usnur pornografi, meskipun dengan persetujuannya. Pernyataan pada Pasal 34 memiliki keterkaitan dengan Pasal 8 dalam penentuan sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan yang dirumuskan pada Pasal 8 tersebut. Pasal 9 menyatakan bahwa setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai model atau objek yang mengandung muatan pornografi, dan seseorang yang melakukan tindakan ini dapat dipidana yaitu pidana penjara dan pidana denda seperti ketentuan yang berlaku pada pasal 35 (Putri & Suardita, 2019).
Pada kasus yang kedua, korban yang berisinial N dkk, pernah mengaku diikuti oleh seorang penguntit yang memiliki kelainan seksual dengan memperlihatkan kelaminnya (ekshibisi). Dari pengalamannya ini tentu N dkk akan mengalami ketakutan yang sangat traumatis. Ekshibisionis berasal dari kata ekshibionisme, yaitu kondisi yang ditandai oleh dorongan, fantasi dan tindakan untuk memperlihatkan alat kelamin kepada orang asing tanpa persetujuan dari orang tersebut. pelaku ekshibisionis memiliki keinginan kuat agar orang lain mengamati ketika mererka sedang melakukan aktivitas seksual. Kondisi yang mererka alami termasuk kedalam gangguan paraphilia atau penyimpangan seksual. Orang ekshibisionis merasa senang ketika berhasil mengejutkan korbannya. Ekshibisionis biasanya hanya terbatas pada memperlihatkan alat kelaminnya saja atau dengan bermasturbasi didepan objek seksualnya, tetapi tidak sampai melakukan kontak fisik dengan objek tersebut. Sebenarnya, kasus eksibisi seksual ini telah banyak memakan korban. Penyimpangan seksual ini menjadi semakin berbahaya apabila jika tidak ada tindakan lanjut dari aparat negara. Diliput dari kompas.com pada tanggal 26 Januari 2020, sebanyak 3 dari 5 kejahatan seksual yang ada di jalanan, yaitu berupa tindakan eksibisi seksual dengan memperlihatkan kemaluan lalu melakukan masturbasi di depan umum, sisanya seperti yang marak terjadi saat ini yang sering disebut dengan begal payudara.
Kata kesusilaan bisa dipahami sebagai suatu pengertian adab sopan santun dalam hal yang berkaitan dengan kegiatan seksual atau nafsu birahi. Menurut pandangan R. Soesilo di dalam KUHP Pasal 281 dengan jelas menyebut kesusilaan sebagai perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin. Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan, maka ia bisa dikenai Pasal 281 KUHP sampai dengan Pasal 297 KUHP yang membahas tentang tindak pidana yang berkaitan dengan seksual.
Adapun kasus lain berupa diskriminasi gender yang masih banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Nampaknya, budaya patriarki ini sudah menjadi sebuah kelaziman dalam tatanan adat istiadat. Tak ayal, jika diskriminasi gender ini bisa menjadi sebuah jalan untuk melakukan tindakan kekerasan seksual. Padahal di Indonesia sendiri gerakan emansipasi terhadap wanita sudah terbentuk pada zaman R. A. Kartini.
Studi perempuan di Indonesia masih menggunakan kata “diskriminasi” sebagai wacana utamanya kira-kira sampai tahun 2005. Akan tetapi, sejak diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), secara perlahan mampu menggusur istilah “diskriminasi gender” atau “diskriminasi terhadap perempuan”. Menurut Pasal 1 UU Nomor 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala bentuk Kekerasan Terhadap Wanita, mendefinisikan diskriminasi terhadap wanita sebagai; “setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita”. Uraian tersebut memberi arti bahwa diskriminasi berupa pembedaan, pengucilan dan pembatasan-pembatasan berdasarkan gender ditunujukkan untuk membuat sesorang tidak bisa mengakui, menikmati, dan menggunakan HAM dan membuat pria dan wanita tak setara (Danardono, Purwoko dan Hadiyono, 2014)
Diskriminasi gender yang masih terus dialami wanita, pemerintah membentuk beberapa peraturan yang berupaya untuk melindungi hak asasi perempuan. Diantara Peraturan Perundang-Undangan yang mengandung muatan perlindungan hak asasi perempuan adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-undang Politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008). Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) dan Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005 (Kania, 2015).
Kekerasan seksual yang terjadi di kampus di Indonesia merupakan sebuah fenomena gunung es. Data akurat terkait jumlah korban atau kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus-kampus di Indonesia masih belum diketahui secara pasti termasuk mekanisme penanganannya. Berdasarkan pada tesis yang ditulis oleh Soejoeti (2020), kekerasan seksual di kampus memang benar-benar terjadi di Indonesia. Ia juga mengatakan bahwa kebanyakan kasus kekerasan seksual di kampus di Indonesia diselesaikan secara internal (kuasi) atau non-litigasi.
Seharusnya upaya penanganan kekerasan seksual lebih mengakomodir kebutuhan dan perlindungan pada korban. Namun penanganan dengan mendamaikan antara pelaku dan korban dalam rangka pengamanan nama baik kampus cenderung dilakukan. Tindakan administrasi menjadi solusi paling sering diupayakan dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di kampus. Pemidanaan pelaku dalam rangka pemberian efek jera pun hanya sebuah slogan dalam penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Tanpa memperhatikan dampak bagi korban secara mental atau psikologis.
Masykur Wahid (2019) menyebutkan bahwa kampus aman merupakan sebuah konsep bentuk tanggung jawab sosial keagamaan yang dipertimbangkan untuk melindungi perempuan dan anak secara periodik, sustainable, dan intensif. Kampus aman berasal dari dua kata, yaitu kampus yang berarti institusi pendidikan tinggi dan aman yang berarti melindungi manusia dari tindakan kekerasan. Melindungi diinterpretasikan sebagai upaya pelayanan, pencegahan, dan pemberdayaan. Sedangkan, secara terminologis kampus aman yang dimaksudkan adalah perlindungan akademis kepada kaum perempuan dan anak dari tindak kekerasan.
Untuk mewujudkan kampus aman seperti yang telah disebutkan, birokrasi kampus UNY mengeluarkan Peraturan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual di UNY. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa jika ada mahasiswa yang mengalami kekerasan atau pelecehan seksual di lingkungan kampus UNY akan ditindak dan diproses melalui sistem yang berlaku. Penanggulangan kekerasan seksual yang dimaksudkan adalah tindakan yang berupa pencegahan terjadinya kekerasan seksual dan penanganan terjadinya kekerasan seksual.
Pada pasal 7 ayat (1) disebutkan tindakan pencegahan kekerasan seksual yang dilakukan birokrasi adalah dengan melakukan sosialisasi, diseminasi program dan kebijakan anti kekerasan seksual, melakukan kajian dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu, melakukan penataan sarana dan prasarana kampus, dan meningkatkan kesadaran kehati-hatian warga UNY dalam menghadapi perilaku kekerasan seksual. Namun, semenjak peraturan ini diterbitkan masih belum ada sosialisasi atau diseminasi yang diadakan oleh pihak birokrasi. Padahal sosialisasi merupakan sebuah langkah awal yang terbilang cukup efektif dalam mengedukasi mahasiswa dan warga UNY mengenai pencegahan yang dapat dilakukan dalam kekerasan seksual. Lantas, apakah UNY telah melakukan pencegahan terhadap kekerasan seksual?
Jika pencegahan belum terlaksana maka tidak menutup kemungkinan jika ada warga UNY yang akan mengalami dampaknya yaitu kekerasan seksual. Sehingga untuk memastikan keberlangsungan perguruan tinggi yang terhindar dari kasus kekerasan seksual dibutuhkan upaya manajeman konflik yang responsive gender dan terintegrasi dalam proses pendidikan. Konflik dapat dimanfaatkan kearah yang produktif bila dikelola secara baik. Menurut Husaini Usman, konflik yang di kelola secara sistematis dapat berdampak positif yaitu memperkuat hubungan kerjasama, meningkatkan kepercayaan dan harga diri, mempertinggi kreativitas dan produktivitas serta kepuasan kerja. Konflik kekerasan seksual di perguruan tinggi tidak selalu mengarah pada citra negatif jika ditangani dengan baik. Penanganan yang responsive gender justru akan membangun citra positif dan pretasi bagi perguruan tinggi karena memiliki komitmen dalam mengakomodir kebutuhan perempuan dan menjamin perguruan tinggi yang aman bagi seluruh sivitas akademik.
Dalam pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa pihak birokrasi akan melakukan penanganan berupa melakukan pendampingan dan perlindungan terhadap korban dan saksi, membantu penguatan alat bukti dan meberikan jaminan kerahasiaan untuk melindungi nama baik korban serta berkoordinasi dengan pihak kepolisian jika bukti yang ditemukan telah mencukupi.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek), Nadiem Makarim, berulang kali menekankan komitmennya untuk menghapus apa yang disebutnya “tiga dosa besar pendidikan”, salah satunya kekerasan seksual. Menurut survei tahun 2019 terkait pelecehan seksual di ruang publik. Koalisi Ruang Publik Aman menemukan bahwa lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%) dan transportasi umum (19%).
Akhir April lalu, Nadiem mengatakan bahwa kementeriannya akan segera menerbitkan peraturan menteri (Permen) untuk menangani masalah kekerasan seksual di perguruan tinggi dan unit pendidikan lainnya.
Seperti yang telah dilaporkan VOA, setidaknya terdapat tujuh pasal yang akan diatur dalam Permen tersebut, di antaranya soal definisi, bentuk, pencegahan, penanggulangan dan penanganan kekerasan seksual. Selain itu, akan diatur juga kewajiban pimpinan perguruan tinggi dalam menangani dan untuk memastikan tidak terjadi kekerasan seksual di lingkungan kampus, hingga sanksi dan pengawasan kementerian. Dalam webinar Perempuan Pemimpin dan Kesetaraan Gender pada maret lalu, menteri Nadiem mengatakan bahwa mereka sedang mendiskusikan rancangan Permendikbud mengenai pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi, dimana sebelumnya telah memiliki Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan untuk tingkat PAUD, sekolah dasar, dan menengah. Menurut Nadiem, aturan ini dibuat untuk melindungi para peserta didik khususnya dari ancaman kekerasan seksual.
Pandangan dan Respon Mahasiswa
Komnas perempuan menyebutkan terjadinya kasus pelecehan seksual sepenuhnya merupakan kesalahan dari pelaku. Sehingga kasus pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Maka dari itu penting juga bagi kita untuk dapat menjaga diri sendiri agar dapat menghindar dari kasus pelecehan seksual. Selain itu pencegahan juga harus dilakukan oleh kampus/fakultas untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual sangat penting dilakukan. Berdasarkan data dari angket dapat ditarik kesimpulan, hampir seluruh responden menginginkan agar fakultas dapat melindungi orang-orang yang berada dalam lingkup fakultasnya. Dengan cara memberikan sanksi tegas kepada pelaku pelecehan seksual, tidak menutupi adanya kasus pelecehan seksual hanya demi nama baik kampus, memberikan wadah bagi korban pelecehan seksual untuk bisa menindaklanjuti kasus pelecehan seksual, memberikan pendampingan kepada korban kasus pelecehan seksual secara hukum maupun psikologis, serta memberikan edukasi yang cukup untuk warga fakultas mengenai pelecehan seksual. Mereka berharap birokrasi fakultas dapat memberikan jaminan keamanan bagi warganya dari kasus pelecehan seksual.
Kasus pelecehan seksual harus memiliki fokus dalam penanganannya agar dapat efektif dalam prosesnya. Fokus ini yang harus menjadi prioritas pemangku kebijakan dalam membuat kebijakan agar segala hal dapat berjalan sesuai dengan harapan. Responden menginginkan adanya sanksi yang tegas untuk pelaku pelecehan seksual. Selain itu mereka juga mengharapkan agar para penegak hukum lebih peduli karena kasus pelecehan seksual sering disepelekan dan dianggap remeh. Hampir seluruh responden menginginkan adanya pendampingan terutama secara psikologis agar korban tidak mengalami trauma yang berat. Responden juga menginginkan agar privasi korban dapat terjaga, dan korban tidak mengalami “victim blaming”.
Berdasarkan tanggapan lainnya, mereka menginginkan adanya layanan pengaduan yang bersahabat bagi korban kasus pelecehan seksual, seperti bekerja sama dengan ahli dalam pendampingan korban kasus pelecehan seksual, bersifat tertutup dan rahasia sehingga korban yang ingin bercerita tidak takut bahwa identitasnya akan terbuka yang membuat mereka merasa tidak nyaman, menampung serta menindak lanjuti apabila ada laporan mengenai kasus pelecehan seksual, serta dalam menerima laporan sebaiknya layanan aduan tidak pandang bulu dan justru menyudutkan korban atas apa yang telah terjadi pada korban. Korban sangat harus dilindungi dalam kasus pelecehan seksual baik secara mental, privasi, maupun fisik. Oleh karena itu layanan aduan harus bersifat bersahabat kepada korban pelecehan seksual, agar para korban pelecehan seksual juga tidak segan untuk melapor apabila terjadi kasus pelecehan seksual.
Responden menuliskan bahwa setiap orang harus dapat membekali diri mereka sendiri dengan berbagai keahlian (misal: bela diri) atau paling tidak basic self defense ketika mengalami pelecehan secara fisik. Responden juga mengharapkan kampus/fakultas mengadakan sex education yang mumpuni, serta melakukan kampanye anti kekerasan seksual sebagai bentuk pencerdasan dalam lingkungan kampus.
Kekerasan Gender Berbasis Online
Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan (violence) adalah penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Selanjutnya, Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa- Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) mendefinisikan kekerasan berbasis gender sebagai kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Oleh karena itu, kekerasan berbasis gender online dapat kita artikan sebagai kekerasan yang menyasar seseorang berdasarkan gender dan dilakukan melalui media sosial (online).
Kekerasan berbasis gender online (KBGO) atau KBG yang difasilitasi teknologi sama saja seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata yang merugikan dan membawa pengalaman traumatis terhadap korbannya. KBGO dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang relasi gender, minimnya edukasi seks, dan kelainan atau gangguan tertentu pada pelaku. Melihat dari kemungkinan tersebut, diperlukan adanya edukasi dan intervensi agar KBGO dapat dicegah dan ditangani dengan efektif.
Sejak 2015, Komnas Perempuan telah memberikan catatan tentang kekerasan terhadap perempuan yang terkait dengan dunia online, dan disampaikan bahwa kekerasan dan kejahatan siber memiliki pola kasus yang semakin rumit dari waktu ke waktu. Pada 2017, ada 65 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya yang diterima oleh Komnas Perempuan. Sepanjang 2017, setidaknya ada 8 bentuk kekerasan berbasis gender online yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, yaitu pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment). Dari modus kekerasan tersebut, masih banyak hal-hal yang belum terungkap dikarenakan kurangnya akses dan pengetahuan terhadap KBGO. Lebih lanjut, kekerasan berbasis gender menyebabkan korban merasa tidak berdaya melawan kejahatan yang terjadi pada dirinya. Hal tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Hanson (2017), bahwa kekerasan seksual secara online dapat berdampak pada depresi, perasaan putus asa, malu, hingga perilaku menyakiti diri sendiri dan menghindari hubungan dengan orang lain pada korban. Singkatnya, kekerasan berbasis gender itu menyakiti orang lain dan berkemungkinan menyebabkan korban menyakiti orang lain. Itulah yang menyebabkan KBGO berbahaya apabila masyarakat tak acuh.
Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa KBGO merupakan kekerasan yang tidak bisa disepelekan. KBGO dapat dilakukan dan menimpa siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. Tidak masalah siapa yang melakukan dan dimana KBGO dilakukan, pelaku tetap harus ditindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku. Namun sayangnya belum ada pasal yang secara khusus mengatur tentang kekerasan berbasis gender yang dilakukan secara online. Hanya ada UU ITE Pasal 27 ayat (1) dan UU Pornografi Pasal 4 ayat (1) yang dapat sedikit menjadi dasar hukum dalam memperkarakan pelaku KBGO. Oleh karena itu, perlindungan secara hukum bagi korban KBGO dapat dikatakan masih abu-abu. Diperlukan peran aktif orang dekat baik itu teman, keluarga, atau tetangga untuk memberikan perlindungan bagi korban dari kemungkinan trauma dan ancaman intimidasi. Tentu saja, peran negara sebagai pelindung bagi warganya tetap diperlukan dalam upaya preventif dan kuratif, baik secara langsung maupun melewati perpanjangan tangan instansi yang bersangkutan seperti sekolah dan universitas. Bagaimanapun tanpa dasar hukum yang tepat, kekerasan berbasis gender tidak akan bisa ditanggulangi. Hal itu disebabkan karena masih adanya celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku untuk menghindari tuntutan. Bahkan, menuntut balik korbannya dengan pasal yang lain meski kadang tidak relevan. Pada akhirnya, keamanan dan kesejahteraan sosial hanya akan menjadi mimpi bagi korban KBGO.
Kesimpulan:
Naskah ini membahas tentang Pelecehan Seksual yang masih terjadi pada lingkungan kampus UNY. Kasus ini dapat dilihat dari temuan tentang pengaduan beberapa mahasiswa/mahasiswi yang pernah merasakan tindakan-tindakan sara baik secara verbal, secara fisik maupun melalui pesan (ajakan untuk melakukan kegiatan sara). Temuan ini menunjukkan bahwa masih kurangnya keamanan di lingkungan kampus yang membuat mahasiswa/mahasiswi merasa memiliki kerentanan untuk terkena pelecehan seksual. Tindakan pelecehan seksual di lingkungan kampus terjadi karena masih kurangnya pengetahuan tentang hal yang pelaku perbuat merupakan sebuah tindak kejahatan. Tindakan pelecehan yang seringkali terjadi dan disepelekan yaitu, seperti bersiul, ungkapan-ungkapan yang mengandung sex, hal-hal yang berupa ajakan untuk berbuat sex dan hal lainnya yang bersifat verbal, mencolek atau menyentuh bagian intim tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual. Akibat yang mungkin dialami oleh penderita dari pelecehan seksual ini adalah korban merasa martabatnya direndahkan bahkan, korban mengalami gangguan kesehatan dan mental. Kejadian dari tindakan ini dapat terjadi dimanapun, sehingga tidak menutup kemungkinan tindakan ini juga terjadi di lingkungan umum. Hal ini tentunya menjadi citra buruk bagi salah satu Perguruan Tinggi Negeri Terbaik di Indonesia, yang semestinya memiliki kebijakan untuk mengatur sehingga dapat menutup celah terjadinya kasus-kasus serupa. Namun, pada kenyataannya belum ada ketegasan yang diupayakan secara serius untuk menanggulangi dan mengantisipasi hal-hal seperti ini.
Pernyataan Sikap BEM FIP UNY dan BEM FMIPA UNY Terhadap Isu Pelecehan Seksual
Maka dari itu, berdasarkan uraian fakta dan permasalahan-permasalahan yang telah dijabarkan diatas, dengan ini BEM FIP UNY dan BEM FMIPA UNY mengecam keras isu serta kasus pelecehan seksual yang terjadi dilingkungan kampus Universitas Negeri Yogyakarta dan menuntut pemangku kebijakan di tingkat fakultas dan universitas untuk:
Menerbitkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang lebih merinci daripada Peraturan Rektor Nomor 17 Tahun 2020 dengan maksud untuk menjelaskan perincian, standar, alur penanganan dan batasan-batasan yang tetap terkait dengan kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus Universitas Negeri Yogyakarta.
Melakukan sosialisasi yang komprehensif dan terbuka tentang Peraturan Rektor No 17 Tahun 2020 dengan mengundang seluruh civitas akademika uny baik di tingkat universitas dan setiap fakultas.
Memberikan fasilitas pendampingan dan pelayanan pengaduan yang difungsikan secara maksimal untuk menangani permasalahan kekerasan dan pelecehan seksual.
Mengajak civitas akademika uny untuk lebih peduli dengan isu pelecehan seksual di lingkungan Pendidikan.
Yogyakarta, 29 Juli 2021
Referensi:
AH, S. (2020). Kekerasan Seksual di Kampus: Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan di Perguruan Tinggi X dan Y. Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Kriminologi. Universitas Indonesia, Depok.
Azhari, J. R. (2020, 01 26). 5 Kasus Pelecehan Seksual yang Viral Dua Pekan Terakhir, Tiga Pelaku Tertangkap. Retrieved 12 5, 2020, from Kompas.com: https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/26/10580911/5-kasus-pelecehan-seksual-yang-viral-dua-pekan-terakhir-tiga-pelaku?page=all
Dewi. (2019). Catcalling: Candaan, Pujian atau Pelecehan Seksual. Denpasar, Bali: Fakultas Hukum, Universitas Udayana.
Donny Danardono, Joko Purwoko dan V. Hadiyono. (2014, 12 19). Diskriminasi, Kekerasan dan Hilangnya Hasrat atas Kesetaraan Gender. Retrieved 12 05, 2020, from Jurnal Perempuan: https://www.jurnalperempuan.org/blog/diskriminasi-kekerasan-dan-hilangnya-hasrat-atas-kesetaraan-gender
Dwiastono, R. (2021, 05 12). Ampuhkah Permendikbud Perangi Kekerasan Seksual di Kampus. Retrieved 07 28, 2021, from VOA Indonesia: https://www.voaindonesia.com/a/ampuhkah-permendikbud-perangi-kekerasan-seksual-di-kampus-/5886741.html
Fahlevi, F. (2021, 03 8). Kemendikbud Godok Rancangan Aturan Pencegahan Kekerasan Sosial di Kampus. Retrieved 07 28, 2021, from Tribunnews.com: https://www.tribunnews.com/pendidikan/2021/03/08/kemendikbud-godok-rancangan-aturan-pencegahan-kekerasan-seksual-di-perguruan-tinggi
Fairbim J, Bivens R, Dawson M. (2013). Sexual Violence and Social Media Building a Framework. Crime Prevention Ottawa.
Hidayat, S. (2019). Fenomena Catcalling Sebagai Bentuk Pelecehan Seksual Secara Verbal Terhadap Perempuan di Jakarta. Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanegara.
Hinson L, Mueller J, O’Brien-Milne L, Wandera N. (2018). Technology-Facilitated Genderbased Violence: What is it, and how do we measure it? Washington D.C. International Center for Research on Women.
Komnas Perempuan. (2015). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Negara Segera Putus Impunitas Pelaku – Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan. Retrieved from https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Catatan%20Tahunan/13.PP5_CATAHU-2015.pdf
Komnas Perempuan. (2018). Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2018 tentang Tergerusnya Ruang Aman Perempuan dalam Pusaran Politik Populisme.
Komnas Perempuan. (2019). Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2019 tentang Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan Ruu Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara.
Kurnianingsih. (2003). Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan di Tempat Kerja. Retrieved from Buletin Psikologi.
Letezia Tobing, S. M. (2013, 08 28). Tentang Tindak Pidana Merusak Kesopanan di Muka Umum. Retrieved 12 05, 2020, from HukumOnline.com: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt521b9029a4e48/tentang-tindak-pidana-merusak-kesopanan-di-muka-umum/
Putri, S. (2019). Tinjauan Yuridis Terhadap Perbuatan Catcalling (Pelecehan Verbal) di Indonesia. Denpasar, Bali: Fakultas Hukum, Universits Udayana.
Rahmawati, D. (2020, 02 06). Eksibisionis Artinya Apa? Ini Penjelasannya. Retrieved 12 5, 2020, from SehatQ: https://www.sehatq.com/artikel/eksibisionis-artinya-apa-ini-penjelasannya
Ramadhan, D. N. (2021, 06 04). KemenPPA Catat Kekerasan Seksual Tertinggi Sebanyak 7191 Kasus. Retrieved 07 28, 2021, from antaranews.com: https://www.antaranews.com/berita/2192150/kemenpppa-catat-kekerasan-seksual-tertinggi-sebanyak-7191-kasus
Usman, H. (2019). Administrasi, Manajemen, dan Kepemimpinan Pendidikan: Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Wahid, M. (2019). Islam Dan Dominasi Maskulin Global: Menimbang Kampus Aman ―Islam Dan Dominasi Maskulin Global: Menimbang Kampus Aman. Jurnal Study Anak dan Gender Vol.3.
Yuanita, Y. (2008). Bentuk Verbal Dan Nonverbal Pelecehan Seksual Terhadap Buruh Perempuan. Jurnal Ilmu Komunikasi.