Warta Pengabdian Masyarakat: Relawan Belajar MIPA (RBM)

Warta Pengabdian Masyarakat: Relawan Belajar MIPA (RBM)

Rangkaian penutupan kegiatan Relawan Belajar MIPA (RBM)#2 2021 secara daring lewat Zoom Meeting pada Sabtu (4/12) kemarin resmi menutup program RBM#2 2021 ini. Penutupan kegiatan berlangsung seru dan haru karena penampilan video ucapan terimakasih untuk tentor dari siswa RBM dan perwakilan BEM FMIPA UNY 2021.
RBM (Relawan Belajar MIPA) merupakan program yang diinisiasi oleh departemen pengabdian masyarakat BEM FMIPA UNY yang bertujuan untuk membantu siswa/i SD hingga SMA sederajat yang mengalami kesulitan belajar selama masa pandemi melalui pengadaan konsultasi mengenai tugas atau materi yang kurang dipahami via Whatsapp. Untuk mata pelajaran yang ditawarkan yaitu ada Matematika, Biologi, Kimia, Fisika, IPA, dan Bahasa Inggris.

RBM#2 2021 kali ini dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan dari bulan September-Desember dan telah menjangkau partisipasi sebanyak 37 tentor yang merupakan mahasiswa aktif FMIPA UNY dan kurang lebih 500 siswa dari berbagai daerah di Indonesia.

Siswa RBM mengaku merasa sangat terbantu dalam kegiatan belajarnya berkat adanya program ini. “Merasa senang dan bersyukur karena bisa tergabung dalam grup RBM Kimia kelas 11, melalui grup tersebut saya menjadi terbantu dalam menyelesaikan soal-soal yang sulit. Disini juga ada kakak-kakak tentor yang baik, ramah, dan super keren. Banyak banget ilmu yang bisa didapatkan dan saya merasa tidak rugi pernah tergabung dalam grup RBM. Terimakasih banyak kepada kakak-kakak tentor, semoga RBM dapat berlanjut terus ke depannya.” ujar Radian Elok, salah satu siswa RBM dari SMAN 1 Pakem.

Hal yang senada juga disampaikan oleh Ariefathul sebagai salah satu siswa RBM, “Terimakasih sebesar-besarnya kepada kakak-kakak tentor RBM yang selama satu semester sudah membantu saya dan teman lain dalam kesulitan belajar dengan sabar dan asik. Semoga ilmunya bermanfaat dan sukses terus untuk kakak-kakak tentor semuanya. See you.’” ujarnya.

PRESS Release: Festival Politik MIPA (FESPA #2): REFORMASI DIREDUKSI DI BAWAH KENDALI OLIGARKI

Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 merupakan klimaks dari ketidakpuasan terhadap Orde Baru yang bertujuan untuk melakukan perubahan secara serius dan bertahap untuk menemukan nilai-nilai baru serta melakukan perbaikan di segenap bidang kehidupan. Dimulainya masa reformasi telah melahirkan anak-anak reformasi yang biasa dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi (MK) dan juga Sistem Pemerintahan Demokrasi. Isu-isu pelemahan akan ketiga anak kandung reformasi tersebut telah lama menjadi perbincangan di kalangan para pengamat politik Indonesia. Mulai dari kekuasaan MK yang dikaderi oleh pihak-pihak berkepentingan, jalannya sistem demokrasi yang dinilai terus melenceng dari yang seharusnya, hingga pelemahan KPK.

Disamping itu, masyarakat juga merasa kebebasan yang sesungguhnya tidak dapat tersalurkan lagi dikarenakan terdapat sanksi atau hukum yang terus mengintai. Ini menandakan Indonesia semakin mundur dalam hal demokrasi. Padahal, salah satu buah reformasi merupakan kebebasan berpendapat. Terlebih UU ITE yang dalam praktiknya kini malah menjadi alat untuk menekan kebebasan berekspresi. Tidak hanya pembungkaman dalam bentuk kata atau kalimat, kini gambarpun sudah tidak bisa bersuara. Mural merupakan saluran masyarakat untuk menumpahkan kritik kepada pemerintah melalui karya seni tetapi akhir-akhir ini banyak karya yang menyinggung pemerintah dihapus. Padahal di dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Apabila suara rakyat terus dibungkam, maka dengan cara apalagi negara ini bernafas secara jujur?

Pada kesempatan ini, FESPA#2 dibersamai oleh dua pembicara, yaitu Bapak Ubedilah Badrun yang merupakan Analis Sosial Politik sekaligus Dosen Sosiologi Politik UNJ dan Bu Asfinawati yang merupakan Ketua YLBHI dengan didampingi oleh seorang moderator Shofia Dewi Fortuna yang merupakan Kepala Departemen Sosial dan Politik BEM FMIPA UNY 2021. Kedua pembicara memberikan materi terkait dengan kuasa oligarki yang menyebabkan reformasi direduksi yang ditandakan oleh salah satu agenda utama reformasi adalah demokratisasi mengalami kemunduran. Kemunduran ini dilakukan oleh para oligarki melalui Undang-Undang, seperti UU Minerba, UU ITE, revisi UU KPK, dan UU Ciptaker. Ada banyak cara melawan oligarki predator yang berlindung dibalik Undang-Undang dengan perubahan sistem dan memutus mata rantai oligarki. Oleh sebab itu, oligarki tidak akan berhasil jika perlawanan dilakukan secara intens dan bersama-sama sehingga perlu adanya konsolidasi dalam melawan oligarki dengan menggencarkan gerakan atau suara yang sama di media sosial.

Dari kegiatan ini, diharapkan peserta FESPA#2 mengetahui bagaimana cara menghidupkan kembali tujuan reformasi saat ini, serta membuka mata dan pikiran terhadap kondisi yang sedang dialami oleh negara ini. Selain itu, para peserta khususnya mahasiswa FMIPA UNY diharapkan dapat menyadari bahwasannya dalam berkehidupan bermasyarakat tidak hanya ilmu saintis saja yang diterapkan, tetapi ilmu sosial dan politik juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita sehari-hari

Gerakan Menanam Pohon FMIPA UNY Science Talk #3

Gerakan Menanam Pohon FMIPA UNY Science Talk #3

Departemen Penalaran dan Lingkungan BEM FMIPA UNY menyelenggarakan kegiatan follow up dari acara Science Talk #3 yaitu Gerakan Menanam Pohon pada hari Minggu, 28 November 2021. Science Talk #3 diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Pohon Internasional dan Hari Menanam Pohon Nasional. Peserta yang hadir dari berbagai kalangan masyarakat, mulai dari mahasiswa, hingga masyarakat umum. Selain itu, acara ini diselenggarakan sebagai wadah yang ditunjukan sebagai sarana edukasi dan ajakan Mahasiswa FMIPA UNY dan masyarakat umum mengenai pentingnya meningkatkan kesadaran dalam Menanam pohon. Acara ini diawali dengan sambutan-sambutan, dimulai dari ketua panitia, Wakil BEM FMIPA UNY 2021, Ibu Carik Kalitirto dan Bapak Dukuh Tanjungtirto. Kegiatan Gerakan Menanam Pohon Science Talk #3 ini dihadiri oleh kurang lebih 70 peserta secara offline yang diadakan di Pesiraman Opak Tanjungtirto, Tanjung, Kalitirto, Kec. Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta mulai pukul 08.00 WIB sampai 11.00 WIB.

Science Talk #3 kali ini mengusung tema “Let’s Plant a Tree Today, to Get Million Benefits One Day!”. Dalam sambutan Ketua Panitia Science Talk #3, Saudari Razita F Amiza, menyampaikan alasan mengangkat tema kali ini adalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam menanam pohon dan sarana edukasi serta ajakan kepada masyarakat untuk menanam pohon hari ini, karena hal tersebut akan memberikan sejuta manfaat di kemudian hari. Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan juga dapat meningkatkan kesadaran serta kepedulian akan pentingnya keberadaan pohon di sekitar kita. Acara selanjutnya sambutan dari Ibu Carik Kalitirto, dimana dalam sambutannya beliau mengatakan pentingnya penanaman pohon dan mengajak mahasiswa dan masyarakat sekitar, dalam menjaga keseimbangan ekologis, meningkatkan mutu kualitas lingkungan dalam hal mitigasi bencana alam diantaranya banjir. Selanjutnya agenda penyerahan bibit pohon Ibu Carik Kalitirto dan Dukuh Tanjungtirto (secara simbolis) dan diteruskan dengan acara penanaman pohon penghijauan dari jenis pucuk merah sebagai penanda dimulainya acara penanaman pohon. 

Setelah diadakan penanda dimulai acara dilakukanlah briefing penanaman pohon oleh Pak Yuswono selaku Ketua Tim Pengelola Pesiraman Opak Tanjungtirto. Selanjutnya diadakan Gerakan Menanam Pohon Bersama di area Pesiraman Opak Tanjungtirto. Bibit pohon yang ditanam di antaranya terdapat Sirsak, Borneo, Pucuk Merah, Mahoni, Sengon, dan Vetiver. Peserta sangat antusias mengikuti Gerakan Menanam Pohon ini, karena peserta jadi lebih tahu bagaimana cara menanam pohon yang baik dan benar , serta jadi lebih tahu tentang pohon-pohon yang ditanam. 

Press Release#6: “Ngobrolin Pemilwa FMIPA UNY #FMIPAMelekDemokrasi”

Pemilwa (Pemilihan Umum Mahasiswa) merupakan agenda rutin yang dilaksanakan di berbagai kampus yang berada di Indonesia. Selain itu, pemilwa merupakan pembelajaran dalam hal berpolitik bagi mahasiswa serta ruang aktualisasi mahasiswa dalam realisasi demokrasi. Seluruh aspek yang berada pada di sekitar kita tidak pernah lepas dari dunia politik. Pelaksanaan pemilwa menandakan bahwa adanya ruang politik atau biasa dikenal dengan politik kampus. Setiap mahasiswa memiliki hak suara untuk memilih siapa yang akan memimpin. Partisipasi mahasiswa berkaitan erat dengan pemenuhan hak politik kampus. Sebagai miniatur negara, organisasi Mahasiswa FMIPA UNY mempunyai sistem untuk melakukan pergantian kepemimpinan setiap tahunnya. Pemilwa tersebut diselenggarakan oleh suatu lembaga independen yaitu Komisi Pemilihan Umum yang beranggotakan para mahasiswa aktif FMIPA UNY. Pada tahun 2020 penyelenggaraan pemilwa dianggap kurang maksimal dalam hal keterlibatan atau partisipasi aktif terutama dari pemilih. Tingkat kesadaran mahasiswa, khususnya mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta dalam dunia politik sekalipun politik kampus seperti pemilwa, sangat rendah. Hal tersebut terjadi karena kepekaan, kepedulian, serta pemahaman mahasiswa FMIPA pada dunia politik kampus seperti pemilwa sangat minim.
Oleh karena itu, Departemen Sosial dan Politik BEM FMIPA UNY mengadakan kegiatan diskusi Padepokan Diskusi Mahasiswa yang mengangkat tema “Ngobrolin Pemilwa FMIPA UNY #FMIPAMelekDemokrasi” dibersamai oleh dua narasumber yaitu A M Adzkiya Amiruddin, S.H. selaku Sarjana Ilmu Hukum UNNES dan Edwin Puja Winata selaku Ketua Dewan Perwakilan Mahsiswa (DPM) FMIPA UNY 2021.
Pada tahun ini terjadi beberapa perubahan pada Peraturan Pemilwa yang dikeluarkan oleh DPM FMIPA UNY. Menurut Edwin sebagai ketua DPM mengatakan bahwa perubahan terjadi untuk menyelaraskan peraturan pemilwa pada tingkat universitas dengan peraturan pemilwa tingkat fakultas. Kemudian, mengenai kesalahan pengetikan pada BAB VII Ketentuan Panwas FMIPA UNY dalam Pasal 23 ayat (3) tentang Mekanisme Perekrutan Anggota Panwas FMIPA UNY, yang tadinya bertuliskan “Pengesahan calon anggota KPU FIS UNY yang dilakukan DPM FMIPA UNY sebagaimana telah tercantum pada pasal 13 berlaku juga terhadap pengesahan calon anggota Panwas FMIPA UNY” dan direvisi menjadi “Pengesahan calon anggota KPU FMIPA UNY yang dilakukan DPM FMIPA UNY sebagaimana telah tercantum pada pasal 13 berlaku juga terhadap pengesahan calon anggota Panwas FMIPA UNY” merupakan sebuah ketidaktelitian dari pihak DPM. DPM mengklarifikasi bahwa adanya kata FIS pada ayat tersebut dikarenakan draft peraturan pemilwa FIS dijadikan sebagai referensi dari redaksi yang digunakan dalam merumuskan peraturan pemilwa FMIPA UNY, dengan acuan utamanya yaitu peraturan pemilwa tingkat universitas.
Idealnya, peraturan pemilwa adalah peraturan yang dapat mengakomodir seluruh suara dari mahasiswa. Sebelum ditetapkan, pihak legislatif harus melakukan uji public atau hearing sebagai transparansi yang dilakukan oleh penyelenggara, yaitu DPM. Uji public dilakukan untuk mendengarkan berbagai masukan dan tanggapan mahasiswa aktif yang notabene nya adalah sebagai pemilih. Kemudian, penyelenggara juga wajib untuk mempublikasikan hasil dari uji public sebagai bentuk pertanggungjawaban dalam memberikan informasi yang seluas-luasnya terhadap khalayak umum (mahasiswa). Hal ini dapat meningkatkan partisipasi demokrasi dan partisipasi politik karena adanya keterbukaan antara pihak ormawa dengan mahasiswa yang mencerminkan sifat demokrasi.
Peraturan pemilwa merupakan hal yang sangat krusial dan sangat berpengaruh terhadap kelancaran pemilwa itu sendiri. Adanya peraturan dapat mempengaruhi hasil pemilihan, karena peraturan mengatur dalam sah atau tidaknya proses pemilihan, keadilan dalam menyampaikan suara, mekanisme berkampanye, larangan berkampanye, pun hukuman yang diterima jika terjadi pelanggaran. Namun sayangnya dalam peraturan yang telah ditetapkan tidak disebutkan secara detail mengenai pelanggaran dan sanksi yang diterapkan. Selain itu, peraturan pemilwa juga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi public, utamanya dengan teknis pemilihan yang diterapkan. Cara mendorong semua elemen untuk berpartisipasi dalam pemilwa dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah mahasiswa yang mengikuti komunitas atau organisasi sehingga menjamin hak-hak mereka saat berkegiatan. Kemudian saat mereka bersuara lebih baiknya agar diberikan keleluasaan dengan menitikberatkan betapa pentingnya pemimpin yang akan menentukan kenyamanan dalam kampus terutama ditingkat fakultas. Sehingga penyelenggara harus memikirkan bagaimana cara menekan tingkat partisipasi agar lebih maksimal.
Komponen yang tidak kalah penting dalam pemilwa adalah KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Panwas (Panitia Pengawas). KPU merupakan komisi yang bertanggung jawab terhadap pemungutan, penghitungan, penetapan, dan pengumuman hasil pemilwa. Sementara Panwas bertanggung jawab untuk mengawasi pelaksanaan pemilwa. Anggota KPU dan Panwas merupakan mahasiswa FMIPA yang telah diseleksi terlebih dahulu. Sedangkan ketuanya dipilih secara demokratis sebagai lembaga independen dan bukan kepanjangan tangan kekuasaan dari ormawa yang ada di FMIPA.
Dikutip dari Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam No: 06/SK-KPU/FMIPA UNY/XII/2020 tentang Hasil Rekapitulasi Pemilihan Umum Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Tahun 2020 bahwa pemilih dalam pemilwa di BEM FMIPA dari seluruh prodi yang ada hanya memiliki jumlah total suara sebanyak 1766 dari total 3359 mahasiswa FMIPA. Tentu ini menjadi catatan penting agar tidak kembali terjadi pada tahun ini. Untuk menanggulangi hal tersebut dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, utamanya dari ormawa-ormawa yang ada di FMIPA dan umumnya bagi seluruh mahasiswa FMIPA UNY dalam mensosialisasikan pentingnya Pemilwa yang akan segera dilaksanakan pada Desember mendatang.

Policy Brief: Pemilwa FMIPA UNY

Pemilwa (Pemilihan Umum Mahasiswa) merupakan agenda rutin yang dilaksanakan di berbagai kampus yang berada di Indonesia. Selain itu, pemilwa merupakan pembelajaran dalam hal berpolitik bagi mahasiswa serta ruang aktualisasi mahasiswa dalam realisasi demokrasi. Seluruh aspek yang berada pada di sekitar kita tidak pernah lepas dari dunia politik. Pelaksanaan pemilwa menandakan bahwa adanya ruang politik atau biasa dikenal dengan politik kampus. Setiap mahasiswa memiliki hak suara untuk memilih siapa yang akan memimpin. Partisipasi mahasiswa berkaitan erat dengan pemenuhan hak politik kampus. Sebagai miniatur negara, organisasi Mahasiswa FMIPA UNY mempunyai sistem untuk melakukan pergantian kepemimpinan setiap tahunnya. Pemilwa tersebut diselenggarakan oleh suatu lembaga independen yaitu Komisi Pemilihan Umum yang beranggotakan para mahasiswa aktif FMIPA UNY. Pada tahun 2020 penyelenggaraan pemilwa dianggap kurang maksimal dalam hal keterlibatan atau partisipasi aktif terutama dari pemilih. Tingkat kesadaran mahasiswa, khususnya mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta dalam dunia politik sekalipun politik kampus seperti pemilwa, sangat rendah. Hal tersebut terjadi karena kepekaan, kepedulian, serta pemahaman mahasiswa FMIPA pada dunia politik kampus seperti pemilwa sangat minim.

Dikutip dari Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam No: 06/SK-KPU/FMIPA UNY/XII/2020 tentang Hasil Rekapitulasi Pemilihan Umum Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Tahun 2020. Dalam SK tersebut terdapat jumlah pemilih dari mahasiswa aktif FMIPA, dengan data jumlah total suara pemilih dalam pemilwa di BEM FMIPA dari seluruh prodi yang ada hanya memiliki jumlah total suara sebanyak 1766, Himafi sebanyak 333 suara, Himatika sebanyak 481 suara, Himabio sebanyak 333 suara, Himaipa sebanyak 272 suara, dan Himaki sebanyak 347 suara. Hasil perolehan suara tersebut dapat dibandingkan dengan total mahasiswa yang bisa memilih, dikutip dari informasi dari KPU 2020 total mahasiswa yang bisa memilih pada pemilwa tahun 2020 di BEM FMIPA sebanyak 3359 mahasiswa, Himafi sebanyak 688 mahasiswa, Himatika sebanyak 885 mahasiswa, Himabio sebanyak 703 mahasiswa, Himaipa sebanyak 393 mahasiswa, Himaki sebanyak 690 mahasiswa. Dari data yang telah diperoleh dapat diidentifikasi bahwa partisipasi atau hak suara yang digunakan dibandingkan total mahasiswa dengan presentase 50%an atau tidak sampai 80% ke atas. Hasil presentase menunjukkan hak suara yang digunakan masih jauh dengan 100%. Partisipasi mahasiswa FMIPA UNY dalam mengeluarkan hak suaranya masih kurang mencukupi dari angka presentasi 100%.

Penyelenggaraan pemilwa tidak lepas dari peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan. Pembentukan peraturan pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Pembentukan peraturan dibuat secara jelas karena apabila terdapat beberapa kalimat yang dirasa memiliki makna yang lebih dari satu makna, maka mengakibatkan ketidakpastian pertauran tersebut. Selain itu, apabila terdapat kesalahan penulisan pada peraturan yang telah disebarkan cukup fatal karena akan menimbulkan polemik tentang proses pembahasan dan pembentukan peraturan tersebut. Dikutip dari Peraturan ORMAWA Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Nomor 02 Tahun 2021 tentang Komisi Pemilihan Umum, Panitia Pengawas Pemilwa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta pada BAB VII Ketentuan Panwas FMIPA UNY dalam Pasal 23 ayat (3) tentang Mekanisme Perekrutan Anggota Panwas FMIPA UNY yang sudah sempat dipublikasikan, terdapat kesalahan penulisan sebelum dilakukannya perevisian. Pada pasal dan ayat tersebut sebelum direvisi terdapat kalimat “Pengesahan calon anggota KPU FIS UNY yang dilakukan DPM FMIPA UNY sebagaimana telah tercantum pada pasal 13 berlaku juga terhadap pengesehan calon anggota Panwas FMIPA UNY”. Kata “FIS” yang diduga terjadi kesalahan dalam penulisan berakibat sangat fatal dikarenakan dapat menimbulkan polemik tentang keaslian peraturan pemilwa yang telah dibuat. Setelah dilakukan perevisian pada pasal dan ayat tersebut berubah menjadi kalimat “Pengesahan calon anggota KPU FMIPA UNY yang dilakukan DPM FMIPA UNY sebagaimana telah tercantum pada pasal 13 berlaku juga terhadap pengesehan calon anggota Panwas FMIPA UNY”. Peraturan yang ditetapkan sebagai dasar atau acuan dari pemilwa yang akan diselenggarakan. Dengan demikian, peraturan yang ideal untuk melaksanakan pemilwa seperti apa?

Pentingnya diskusi tentang pemilwa dapat meningkatkan kesadaran serta pemahaman tentang pemilwa kepada mahasiswa dalam memanfaatkan hak suaranya serta mengetahui peraturan yang ideal sebagai dasar atau acuan dilakukannya pemilwa. Pemilwa merupakan realisasi dari kehidupan demokrasi yang ada di negara ini. Perlu diingat bahwa segala aspek kehidupan akan selalu berhubungan dengan ruang politik.

DAFTAR PUSTAKA
DPM FMIPA UNY. 2020. Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam No: 06/SK-KPU/FMIPA UNY/XII/2020 tentang Hasil
Rekapitulasi Pemilihan Umum Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Tahun 2020. Yogyakarta.
DPM FMIPA UNY. 2021. Peraturan ORMAWA Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta Nomor 02 Tahun 2021 tentang Komisi Pemilihan Umum, Panitia Pengawas Pemilwa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Hukumonline.com. (2014, 18 Februari). Berapa Pasal Dalam Satu Peraturan Saling Bertentangan, Mana yang Berlaku?. Diakses pada 13 Oktober 2021, dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt530073486c2fc/beberapa-pasaldalam-satu-peraturan-saling-bertentangan–mana-yang-berlaku
Kompasiana.com. (2015, 15 Desember). Belajar Demokrasi dari Pemilwa. Diakses pada 12 Oktober 2021, dari https://www.kompasiana.com/arifmansyah/566fec9eb17e61ba0652f86a/belajardemokrasi-dari-pemilwa
Soegiyono. Pentingnya harmonisasi pembentukan peraturan perundang-undangan. Kajian Kebijakan dan Hukum Kedirgantaraan, 1-21.
https://puskkpa.lapan.go.id/files_arsip/Soegiyono_Pentingnya_Harmoniasi_2015.pdf

PRESS Release #5: Saintis dan Sikap Politis yang Apatis

PRESS Release #5: Saintis dan Sikap Politis yang Apatis

Politik merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antar masyarakat serta hubungan antar masyarakat dengan negara. Sebagai maskyarakat, dan sebagai warga negara, maka kita wajib mengerti terkait politik. Namun, kini politik digambarkan negatif. Dalam pemilu 2019, KPU menyatakan bahwa millennial menyumbang suara sebesar 40%, tetapi ternyata menurut hasil survey J&R ternyata sekitar 40% dari pemilih millennial ternyata melakukan Golput. Angka ini tentunya cukup besar, dan hal ini diasumsikan terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat utamanya para generasi millennial tentang politik. Di dalam kampus, partisipasi politik sendiri dapat terlihat mudah dari pergerakan para aktivis mahasiswa dalam menanggapi isu-isu yang sedang berkembang, serta keturutsertaan mereka dalam kontestasi pemilwa. Selama ini berkembang stigma bahwa mahasiswa MIPA adalah mahasiswa yang tidak peduli dengan politik karena mereka selalu fokus dengan akademik mereka masing-masing.

Oleh karena itu, Departemen Sosial dan Politik BEM FMIPA UNY mengadakan kegiatan diskusi Padepokan Diskusi Mahasiswa yang mengangkat tema “Saintis dan Sikap Politis yang Apatis” dibersamai oleh dua narasumber yaitu Prof. Dr. Ariswan, M.Si. selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNY dan Sih Utami, SIP., MM selaku Kepala Sub Bidang Pendidikan dan Politik Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DIY

Politik suatu ilmu pengetahuan yang menyiapkan politisi untuk menjadi pemimpin dari sebuah bangsa agar secara maksimal bisa memberi peran dan manfaat untuk mencapai kemajuan bangsa itu. Seorang saintis dapat terjun ke dalam dunia politik agar nilai kemipaan bisa muncul di kalangan para politisi seperti jujur, optimisme, growth mindset sehingga dapat menjadikan bangsa untuk menyejahterakan rakyatnya.

Para politisi di negeri kita belum memegang teguh pada nilai politik itu sendiri. Sekarang para pejabat politik seperti gubernur, bupati tersandung korupsi. Para politisi kita banyak tidak konsisten dengan politik itu sendiri. Perlu gerakan moral agar para politisi dapat berpolitik sesuai dengan yang para ahli politisi ajarkan sebagai akademisi. Para mahasiswa dan alumni MIPA diharapkan untuk melek politik. Salah satu wadah untuk belajar berpolitik adalah melalui organisasi mahasiswa. Aktivis mahasiswa dapat memberi contoh untuk aktif berpolitik dan dapat mengajak para mahasiswa untuk turut serta. Para mahasiswa MIPA dapat mengkritisi pimpinan fakultas agar politik di MIPA dapat berjalan dengan baik.

Berdasarkan data jumlah pemilih berdasarkan generasi pada pemilihan tahun 2020 di wilayah DIY, jumlah generasi Z yaitu 19% atau 306.400 orang dan milenial sebanyak 28% atau 643.343 dari jumlah total penduduk DIY yaitu 2.097.463. Hal ini menunjukkan bahwa anak muda belum berperan andil dan juga masih acuh tak acuh terhadap politik. Padahal kontribusi mereka di politik sangat dibutuhkan. Pasalnya, generasi Z merupakan generasi yang memiliki pikiran terbuka, hemat, menyukai kampanye yang kekinian, menghendaki perubahan sosial, sanggup berkompromi dan asyik dengan teknologi. Kontribusi generasi Z di bidang politik dapat memperbaiki stigma buruk mengenai politik di mata masyarakat. Sikap acuh tak acuh terhadap politik ini disebut sebagai sikap apatis terhadap politik.

Penyebab muncul sikap apatis atau alergi terhadap politik yaitu kemudahan mengakses informasi tidak dibarengi dengan literasi politik, banyaknya berita yang menunjukkan sisi “buruk”dari politik (politik itu kotor), maraknya kasus korupsi, kolusi, nepotisme yang dilakukan politisi, praktik politik uang yang selama masa pemilu (serangan fajar), kesulitan menyampaikan aspirasi kepada wakil rakyat dan anggapan mengenai diskusi tentang politik hanya terbatas di kalangan elite kepentingan saja.

Fenomena sekarang menunjukkan bahwa generasi muda terdoktrin dengan informasi yang berkembang di media sosial tentang stigma buruk politik. Ini merupakan salah satu kejamnya dari internet karena menyuguhkan informasi atau hal-hal negatif politik yang tidak diimbangi oleh literasi politik. Informasi tersebut di antaranya kasus penyelewangan wewenang oleh oknum politisi, politik yang saling menjatuhkan, rekayasa hukum, manipulasi aspirasi masyarakat dan pengalaman buruk menemukan politik yang di masa-masa pemilu.

Padahal anak muda dapat mengambil peran yang banyak di dalam politik di antaranya yaitu membangun kesadaran untuk lebih belajar tentang aktivitas dan institusi politik, kewenangan dan peran lalu membangun literasi politik dengan aktif dalam forum diskusi. Kemudian memahami penyakit-penyakit demokrasi dan memetakan strategi pencegahan dari lingkungan di sekitar, berpartisipasi politik dalam pemilu dengan memilih pemimpin yang berintegritas serta ikut terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Pola pikir anak muda sangat dibutuhkan, mereka bersifat kritis sehingga cenderung tidak mau berhubungan dengan perilaku menyimpang.

Pada dasarnya semua orang itu baik dan menginginkan semua sendi kehidupan itu menjadi lebih baik. Ketika kita menginginkan kebaikan berarti kita harus mewakilkan suara kita pada orang-orang baik, yang amanah dan mempunyai kapabilitas dalam dunia politik, berintegritas dan mampu menyuarakan kebenaran dan keadilan. Anak muda mempunyai peran penting dikarenakan yang akan mengambil estafet kekuasaan, jadilah warga negara yang cerdas, bijak dan bertaanggung jawab terhadap proses pemerintahan. Politik itu memerlukan orang baik, maka jadilah bagian dari buah proses politik, ambil peran dimulai dari dalam diri kita lingkungan kita dan kemudian untuk tujuan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Semua sendi kehidupan dimulai dari proses politik. Ada kebijakan yang dikeluarkan oleh para politisi itu merupakan proses politik yang harus dilalui sebelumnya. Jika orang tidak peduli akan bepengaruh kepada sendi kehidupan di kemudian hari. Ketika kebijakan tidak mementingkan masyarakat, contohnya merugikan mahasiswa, di sinilah tingkat kepentingan kita. Semua sendi kehidupan tidak lepas dari politik. Politik diperlukan orang-orang baik agar menghasilkan produk yang baik.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan dari diskusi ini bahwa  politik itu ilmu pengetahuan yang didalamnya menyiapkan politisi untuk menjadi pemimpin bangsa agar secara maksimal dalam memberikan peran untuk memajukan bangsa.

Tentu saja generasi muda dari MIPA ini diharapkan bisa terjun di dunia politik agar nilai kemipaan ini bisa diterapkan, seperti kejujuran, ketekunan dan growt mindset agar dapat mensejahterakan bangsa ini.

Dalam pilkada, 14% penyumbang suara berasal dari gemerasi Z, salah satu penyebab ke-apatisan bisa dikarenakan gambaran buruk terkait politik dan kurangnya edukasi politik.itu.

Golput tentunya akan berdampak pada struktur kepemimpinan, dan dampak ini akan membawa nama politik kepada msyarakat awam, salah satunya kepada generasi pemuda yang minim edukasi politik itu sendiri.

Oleh karena itu sebagai generasi muda,  mari bangun kedasaran diri kita untuk ikut bertanggung jawan dalam masalah politik ini. Bisa dimulai dengan menyampaikan pendapat kita terkait sebuah isu ataupun membangun diskusi aktif.

Usia kita saat ini adalah usia emas, maka jangan buta mengenai persoalan politik bahkan dalam sekala kecil seperti fakultas, karena akumulasi dari berbagai pembelajaran yang kita lalukan akan mengantarkan kita semua pada kesuksesan di masa depan.

PRESS Release #4: Calon Saintis dan Teknika Butuh Praktikum Offline

PRESS Release #4: Calon Saintis dan Teknika Butuh Praktikum Offline

Pandemi COVID-19 sedang melanda negara-negara di dunia termasuk negara Indonesia. Sejak saat itu kegiatan yang bersifat mengumpulkan kerumunan terpaksa dihentikan untuk sementara waktu hingga waktu yang belum bisa diketahui secara pasti. Kegiatan yang dilakukan secara tatap muka juga dihentikan untuk sementara waktu termasuk kegiatan dalam dunia pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan Surat Edaran dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1692/MPK.A/HK/2020 tertanggal 17 Maret 2020 tentang Pembelajaran secara daring dan bekerja dari rumah dalam rangka pencegahan Corona Virus Disease (COVID-19).

Meski kegiatan dilaksanakan secara daring atau online namun pendidikan tetap dilaksanakan. Alternatif yang dilakukan saat ini adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran secara online atau daring. Proses pembelajaran daring tidak hanya untuk mata kuliah teori saja namun juga untuk mata kuliah praktik.  Pembelajaran praktikum idelanya dilakukan secara luring, karena pandemi maka harus dilakukan secara daring. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri mengingat infrastruktur jaringan yang belum merata di berbagai daerah. Banyak mahasiswa yang kesulitan untuk mengakses. Praktikum yang identik dengan laboratorium atau bengkel dan alat-alatnya, pengamatan, pengambilan data langsung ke lapangan, kini harus dilakukan di rumah masing-masing dengan segala keterbatasan. Padahal praktikum yang melibatkan penggunaan alat dan bahan dengan tingkat keamanan tertentu tidak disarankan untuk dilakukan di tempat selain laboratotium atau bengkel.  Pembelajaran online memang cukup baik untuk dilaksanakan selama pandemi ini tetapi apabila terus-menerus akan menimbulkan dampak yang cukup berpengaruh bagi mahasiswa.

Praktikum secara daring tentunya membutuhkan media yang mendukung yang dapat menggantikan kegiatan nyata di laboratorium seperti dengan bantuan aplikasi praktikum virtual yang harapannya dapat digunakan secara efektif untuk melaksanakan praktikum virtual. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Departemen Sospol BEM FMIPA UNY dan Departemen Karispol BEM FT UNY kepada seluruh mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Fakultas Teknik yang berjumlah lebih dari 300 responden menunjukkan bahwa banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan melakukan praktikum online. Beberapa menggunakan metode serta media yang berbeda. Mayoritas mahasiswa mengalami kesulitan mengenai alat dan bahan yang dibutuhkan saat praktikum yang mana jika alat dan bahan yang digunakan tidak maksimal maka hasilnya juga tidak akan maksimal. Kesulitan lain yaitu mengenai melakukan dan memahami praktikum yang berpengaruh kepada nilai IPK mata kuliah praktikum tersebut.

Oleh karena itu, Departemen Sosial dan Politik BEM FMIPA UNY berkolaborasi dengan Departemen Kajian Riset Politik BEM FT UNY mengadakan kegiatan diskusi Padepokan Diskusi Mahasiswa dengan Obrolan Jawara yang mengangkat tema “Calon Saintis dan Teknika Butuh Kuliah Offline” dibersamai oleh tiga narasumber yaitu Prof. drh. Aris Junaidi, Ph.D. selaku Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemdikbud RI, Prof. Dr. Margana, M.Hum., M.A. selaku Wakil Rektor Bidang Akademik UNY dan Oby Zamisyak, S.Pd selaku Owner dan CEO Start up INDOBOT.

Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah memaparkan beberapa langkah yang harus disiapkan oleh perguruan tinggi untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran secara daring atau online diantaranya melalui beberapa tahap yaitu persiapan, pelaksanaan dan pemantauan. Kemendikbudristek berencana mengadakan kuliah daring dan luring pada bulan Januari namun dikarenakan adanya varian delta dari COVID-19 diterbitkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Nomor 17 Tahun 2021 Tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4, Level 3, Level 2, Level 1 Corona Virus Disease 2019 Di Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset Dan Teknologi. Semua kegiatan pembelajaran dilakukan secara daring kecuali terdapat hal yang mendesak dengan tetap melakukan protokol kesehatan yang ketat jika diterapkan PPKM level 4. Sementara itu kegiatan pembelajaran dibatasi 25% (praktikum diperbolehkan) jika diterapkan PPKM level 3, level 2 dan level 1.

Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan karena keselamatan dan kesehatan semua pihak menjadi fokus utama. Terlebih adanya varian delta yang sangat masif penularannya. Pihak universitas masik mengkaji secara komprehensif dan nantinya akan disesuaikan dengan arahan dan kesepakatan rektor se-Indonesia  mengenai kuliah praktik dan dampaknya jika dilaksanakan. Jika praktikum dilaksanakan luring ditakutkn banyak yang terpapar baik dari segi dosen maupun mahasiswa. Kemungkinan bisa dilaksanakan dengan dibatasi 25% dan saling menjaga. Kuliah teori untuk semester ganjil masih berbasis daring namun surat edaran serta kajian belum disampaikan kepada mahasiswa. Hakikat pendidikan tidak hanya transfer pengetahuan namun juga skill. Oleh karena itu, UNY melakukan berbagai terobosan dengan menekankan huetagogy, peeragogy, cybergogy. Salah satu upaya yang telah dilakukan UNY yaitu memfasilitasi akun zoom untuk para mahasiswa. Berbagai strategi ditempuh oleh UNY untuk membekali keterampilan mahasiswa. Salah satunya yaitu mengembangkan virtual reality dan mencari laboratorium virtual di internet.

Pada era industry 4.0 mahasiswa diharapkan memiliki growth mindset. Ketika dilaksanakan daring terdapat dimensi yang tidak dapat dikembangkan secara maksimal sehingga hal tersebut dikembalikan ke diri masing-masing. Perguruan tinggi bukan satu-satunya tempat untuk mengembangkan diri sehingga mahasiswa bisa menerapkan self-determined learning sehingga keaktifan mahasiswa sangat penting. Jika diamati, masalah dari pembelajaran daring adalah waktu belajar dan distribusi konten. Kendala sinyal merupakan salah satu penyebab konten tidak bisa diserap dengan maksimal. Oleh karena itu, diperlukan tools yang memadai salah satunya yaitu aplikasi discord. Aplikasi ini dapat dipertimbangkan untuk pembelajaran daring. Standarisasi aplikasi merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan supaya pembelajaran daring menjadi jauh lebih baik.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan dari diskusi ini bahwa kuliah daring dan luring direncanakan terlaksana pada bulan Januari dengan memperhatikan protokol Kesehatan. Adanya varian delta mengubah rencana sehingga dilaksanakan PPKM level 1, level 2, level 3 dan level 4. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) telah mengkaji secara komprehensif kebijakan mengenai kuliah praktikum secara offline. Surat edaran untuk perkuliahan semester depan belum disebarkan dan kajian belum disampaikan ke mahasiswa serta perlu ada inovasi dalam pembelajaran online dan perlu ada standarisasi aplikasi.

 

 

Berita Acara: Science Talk #2

Berita Acara: Science Talk #2

Departemen Penalaran dan Lingkungan BEM FMIPA UNY menyelenggarakan acara Science Talk #2 pada hari Selasa, 10 Agustus 2021. Science Talk #2 diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Konservasi Alam Nasional. Peserta yang hadir dari berbagai kalangan masyarakat, mulai dari mahasiswa, dosen, masyarakat umum, hingga pegawai pemerintahan. Selain itu, acara ini diselenggarakan sebagai wadah diskusi untuk membahas berbagai persoalan tentang konservasi alam di Indonesia, dengan adanya diskusi diharapkan mampu meningkatkan pemahaman dan pengetahuan Mahasiswa FMIPA UNY dan masyarakat umum mengenai dampak kegiatan manusia (terutama oleh kaum milenial) serta peranannya terhadap konservasi alam di Indonesia. Acara ini diawali dengan sambutan-sambutan, dimulai dari ketua panitia, Ketua BEM FMIPA UNY 2021, dan  Bapak Dr. Ali Mahmudi (Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FMIPA UNY). Science Talk #2 ini dihadiri oleh kurang lebih 225 peserta melalui platform Zoom Meeting mulai pukul 09.00 WIB sampai 11.00 WIB.

Science Talk #2 kali ini mengusung tema “Millenials Action to Save Conservation”. Dalam sambutan Ketua Panitia Science Talk #2, Saudari Geandra Ardiyudhi Yudhanta, menyampaikan alasan mengangkat tema kali ini adalah adanya pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, memaksa manusia untuk memanfaatkan alam secara berlebihan, salah satunya terhadap konservasi alam, sehingga diperlukan aksi manusia (terutama kaum milenial) untuk terus menjaga konservasi alam demi keberlangsungan makhluk hidup. Acara ini menghadirkan satu pemateri yakni Bapak Sugeng Wachyono, S.T. (Kepala Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA LH Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Jawa, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan acara dipandu oleh Saudari Razita F Amiza (Staff Departemen Penalaran dan Lingkungan BEM FMIPA UNY 2021). Diskusi berjalan baik karena peserta sangat antusias dalam mengikuti Science Talk #2 sehingga banyak pertanyaan yang masuk, selain itu peserta juga menanggapi pertanyaan dari peserta lain.

Pada sesi penyampaian materi, Bapak Sugeng Wachyono, S.T. menyampaikan bahwa generasi yang mendominasi saat ini yaitu generasi Y dan Z merupakan generasi yang ingin menggapai semua yang ada karena pesatnya perkembangan industri 4.0. Generasi tersebut berada pada era yang serba digital, dan cenderung lebih cepat dalam belajar. Akan tetapi, generasi tersebut biasanya hanya berfokus pada hilir yaitu pada akibat yang ditimbulkan dalam hal ini melalui pengendalian bukan tertuju pada hulu yang merupakan sebab terjadinya kerusakan lingkungan. Generasi sebelumnya seperti generasi X tentunya juga tetap perlu berkontribusi dengan cara berkompromi dalam berkonservasi menyelamatkan lingkungan.

Beliau juga mengatakan bahwa kita dapat melihat gambaran kehidupan seperti layaknya dalam wayang. Terdapat tuhan, hutan, dan hantu. Artinya, kita sebagai manusia tentunya harus bertaqwa kepada Tuhan, Hantu yang senantiasa berdampingan, dan Hutan atau alam sebagai sumber yang menjadikan kehidupan sebenarnya. Karena filosofi tersebut, generasi milenial sekarang perlu memperhatikan kembali peran mereka untuk lingkungan. Generasi muda tersebut ingin berperan langsung tetapi perlu tetap disesuaikan dengan daya tampung dan daya dukung dari lingkungan itu sendiri. Dalam hal ini terdapat dua peran yang dapat dilakukan, yaitu peran dalam pengambil kebijakan dan peran dalam bidang teknis. Maksud dari peran tersebut yaitu generasi milenial dapat membantu mengawal pembuatan kebijakan tentang lingkungan mulai dari tingkat dasar seperti RPP LHD desa. Sedangkan peran dalam bidang teknis, yaitu melalui pelaksanaan dalam pembangunan lingkungan. Tidak perlu menunggu untuk sesuatu yang besar, pelestarian lingkungan dapat dimulai melalui hal-hal kecil (Gea/PDL).

 

 

Dokumentasi:

 

PRESS Release #3: Catatan Hitam Kekerasan Seksual

Catatan Hitam Kekerasan Seksual: Dimana Peran Kampusku?

Pelecehan seksual adalah salah satu tindak kejahatan yang pada hari ini menjadi suatu hal yang sering terjadi di masyarakat. Tua ataupun muda, laki-laki maupun perempuan, berpakaian tertutup ataupun terbuka, semuanya berpotensi menjadi korban tindak pelecehan seksual. Catatan Tahunan Komnas Perempuan per 2018 menyajikan bahwa persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 41% (3.982 kasus), diikuti kekerasan seksual 31% (2.979 kasus), kekerasan psikis 15% (1.404 kasus), dan kekerasan ekonomi 13% (1.244 kasus). Berdasarkan data tersebut, tindak pelecehan seksual yang merupakan bagian dari kekerasan seksual memiliki persentase yang tergolong tinggi, yaitu pada angka 31%. Sementara ditahun berikutnya pun semakin meningkat, yaitu dengan persentase 64%. Berdasarkan data tersebut, bukan tidak mungkin jika ada sebutan “memprihatinkan” dari masyarakat terkait dengan penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual.

Pelanggaran pelecehan seksual kini dapat terjadi dimanapun, dan melalui apapun, di tempat umum, di tempat tertutup, secara verbal maupun non-verbal. Payung hukum dari pelecehan seksual sendiri tertera pada Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal  281 sampai Pasal 303). Namun, pada kenyataannya masih banyak kasus kejahatan dan pelecehan seksual yang tidak tertangani. Pelecehan seksual dapat terjadi tanpa mengenal waktu dan tempat, tidak menutup kemungkinan akan terjadi di lingkungan kampus. Terdapat beberapa dari mahasiswa/mahasiswi yang mengalami pelecehan saat sedang berada di kampus. Seperti yang diliput dalam suarajogja.id pada tanggal 8 Mei 2020 tentang mahasiswi UGM, UII dan UIN yang pernah melaporkan tindakan pelecehan seksual. Menurut pengakuan dari para korban tindakan ini pernah dilakukan sesama mahasiswa, staff kampus, hingga dosen. Berdasarkan berita ini tidak menutup kemungkinan bahwa di lingkungan kampus UNY sendiri terjadi kasus-kasus pelecehan seksual dari mahasiswa ataupun staff dosen yang belum terangkat atau terliput.

Selain itu, kasus ini dapat dilihat dari temuan tentang pengaduan beberapa mahasiswa/mahasiswi yang pernah merasakan tindakan-tindakan sara baik secara verbal, secara fisik maupun melalui pesan (ajakan untuk melakukan kegiatan sara). Tindakan pelecehan seksual di lingkungan kampus terjadi karena masih kurangnya pengetahuan tentang hal yang pelaku perbuat merupakan sebuah tindak kejahatan. Tindakan pelecehan yang seringkali terjadi dan disepelekan yaitu, seperti bersiul, ungkapan-ungkapan yang mengandung sex, hal-hal yang berupa ajakan untuk berbuat sex dan hal lainnya yang bersifat verbal, mencolek atau menyentuh bagian intim tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual. Hal ini tentunya menjadi citra buruk bagi salah satu Perguruan Tinggi Negeri Terbaik di Indonesia, yang semestinya memiliki kebijakan untuk mengatur sehingga dapat menutup celah terjadinya kasus-kasus serupa. Namun, pada kenyataannya belum ada ketegasan yang diupayakan secara serius untuk menanggulangi dan mengantisipasi hal-hal seperti ini. Terlebih lagi, akhir-akhir ini terdapat Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau KBG yang difasilitasi teknologi sama saja seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata yang merugikan dan membawa pengalaman traumatis terhadap korbannya. KBGO dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang relasi gender, minimnya edukasi seks, dan kelainan atau gangguan tertentu pada pelaku.

Hal itulah yang mendasari diadakannya diskusi kolaborasi kegiatan Padepokan Diskusi Mahasiswa dengan Dialog Publik pada hari Selasa, 3 Agustus 2021 oleh Departemen Sosial dan Politik BEM FMIPA UNY dan Departemen Sosial dan Politik BEM FIP UNY dengan tema “Catatan Hitam Kekerasan Seksual: Dimana Peran Kampusku” dibersamai oleh dua narasumber yang ahli dalam bidangnya yaitu Yunita Azizah dari Ruang Aman UNY dan Kharisma Wardhatul dari LBH Yogyakarta.

Bersasarkan statuta UNY pasal 30 tebntang misi UNY poin (f) menciptakan proses lingkungan pembelajaran yang mampu memberdayakan mahasiswa. Harusnya melakukan asas kesetaraan untuk semua civitas akademika di UNY. Adakah asas keadilan gender atau kesetaraan pada kode etik? Apa benar ada jaminan, adakah Lembaga dari kampus yang menangani kekerasan seksual?

Peraturan menristekdikti no 2 tahun 2019 tentang organisasi dan tata kerja UNY pasal 105, 106 dan 107. Tentang UPT layanan Bimbingan dan konseling (UPTLBK) menjelaskan tugasnya tidak mencantumkan pendampingan atau penanganan kasus kekerasan seksual. Temuan penelitian skripsi, UPT LBK bukan Lembaga aduan kasus, tapi pendampingan psikologis secara umum, UPT LBK tidak mengetahui peraturan rector tentang penanganan kekerasan seksual UNY.

Keanehan dalam peraturan UNY mengenai kekerasan seksual adalah peraturan muncul tiba-tiba tanpa ada sosialisasi, ruang aman belum bisa menyelidiki, tidak ada naskah akademik, banyak hal yang tidak dijelaskan (definisi kampus, jenis KBGO, mekanisme penanganan, sanksi atau pelanggaran, ketimpangan kode etik) Jadi, apa peran kampus sejauh ini soal keserasan seksual? Baru menerbitkan regulasi mengenai penanganan KS, masih ada gap implementasi antara pembuat kebijakan dengan Lembaga, kampus belum mempunyai kebijakan terhadap penyintas.

Dimana sebenarnya peran kampus dalam upaya penghapusan kekerasan seksual? Kecenderungan penyelesaian KS di kampus adalah menyangsingkan validitas pengalaman korban, menampung tanpa ada tindakan, proses yang lama, tidak menggunakan pendekatan berprespektif korban, menekan korban/pendamping, penyelesaian secara damai. Analisa actor dan perannya, secara eksekutif legislative dan yudikatif mendorong pengesahan RUU PKS dan penegakan hukum yang adil tidak bias gender, alokasi APBN/APBD untuk penanganan dan pemulihan korban, regulasi tingkat kementria.

Lalu, sebenarnya tanggung jawab perguruan tinggi itu seperti apa? Membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga dapat menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Sebenarnya sudah menciptakan ruang aman yang seluas luasnya, tetapi kini menjadi dua hal yang terpisah karena menjadi hubungan personal dan tidak berhubungan dengan kampus. Bagaimana penanganan yang tepat? Prinsip penanganan dengan safetyness, respect, convidentiality, non discrimination. Jangan berumpu pada pelaku, tapi focus pada pemulihan korban.

Hak korban dalam RUU PKS adalah hak penanganan, perlindungan dan pemulihan, lalu Hak korban dalam UU PSK dirumuskan oleh Lembaga perlindungnan saksi dan korban sedangkan Hak tersangka dalam KUHP dan ICCPR. Dimana peran kampus? Komitmen dan political will dalam upaya pencegahan dan penghapusan KS, pembentukan regulasi dan layanan terpadu, memafaatkan kebebasan akademik dan tri dharma perguruan tinggi sebagai legitimasi sikap institusi.

 

Dengan demikian, Perguruan Tinggi memiliki tanggung jawab menciptakan ruang aman untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup kampus menjadi salah satu usaha dalam mewujudkan tanggung jawab tersebut. Kampus, termasuk Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sejauh ini, diketahui bahwa kampus baru saja menerbitkan peraturan mengenai kekerasan seksual. Namun, belum bisa dipastikan apakah kampus memiliki lembaga untuk menaungi kasus tersebut. Faktanya, belum diketahui ada tidaknya sosialisasi dari pihak kampus dan belum ada keberpihakan dari kampus kepada penyintas kekerasan seksual. Penanganan kekerasan seksual yang tepat adalah tidak bertumpu pada pelaku, melainkan pada pemulihan korban. Sanksi pelaku tetap harus dilakukan untuk memberikan efek jera dan mencegah keberulangan dan tidak dengan memberatkan proses pemulihan korban.

CATATAN HITAM KEKERASAN SEKSUAL: DIMANA PERAN KAMPUSKU?

Pendahuluan

Pelecehan seksual adalah salah satu tindak kejahatan yang pada hari ini menjadi suatu hal yang sering terjadi di masyarakat. Tua ataupun muda, laki-laki maupun perempuan, berpakaian tertutup ataupun terbuka, semuanya berpotensi menjadi korban tindak pelecehan seksual. Catatan Tahunan Komnas Perempuan per 2018 menyajikan bahwa persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 41% (3.982 kasus), diikuti kekerasan seksual 31% (2.979 kasus), kekerasan psikis 15% (1.404 kasus), dan kekerasan ekonomi 13% (1.244 kasus). Berdasarkan data tersebut, tindak pelecehan seksual yang merupakan bagian dari kekerasan seksual memiliki persentase yang tergolong tinggi, yaitu pada angka 31%. Sementara ditahun berikutnya pun semakin meningkat, yaitu dengan persentase 64%. Berdasarkan data tersebut, bukan tidak mungkin jika ada sebutan “memprihatinkan” dari masyarakat terkait dengan penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual.

Mengutip Komnas Perempuan, pelecehan seksual disebutkan sebagai segala bentuk tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. Pelanggaran pelecehan seksual kini dapat terjadi dimanapun, dan melalui apapun, di tempat umum, di tempat tertutup, secara verbal maupun non verbal. Payung hukum dari pelecehan seksual sendiri tertera pada Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal  281 sampai Pasal 303). Namun pada kenyataannya, masih banyak kasus kejahatan dan pelecehan seksual yang tidak tertangani.

Pelecehan seksual dapat terjadi tanpa mengenal waktu dan tempat, tidak menutup kemungkinan akan terjadi di lingkungan kampus. Ada beberapa dari mahasiswa/mahasiswi yang mengalami pelecehan saat sedang berada di kampus. Seperti yang diliput dalam suarajogja.id pada tanggal 8 Mei 2020 tentang mahasiswi UGM, UII dan UIN yang pernah melaporkan tindakan pelecehan seksual. Menurut pengakuan dari para korban tindakan ini pernah dilakukan sesama mahasiswa, staff kampus, hingga dosen. Berdasarkan berita ini tidak menutup kemungkinan bahwa di lingkungan kampus UNY sendiri terjadi kasus-kasus pelecehan seksual dari mahasiswa ataupun staff dosen yang belum terangkat atau terliput. Oleh karena itu, melalui kajian ini kami berharap agar ada perhatian dari pihak berwajib, yang terutama dalam hal ini adalah pihak universitas sehingga dapat menangani, mencegah, ataupun menanggulangi kasus seperti ini. Sehingga dapat tercipta lingkungan kampus yang nyaman dan aman sebagai tempat belajar, mengembangkan dan mendewasakan diri.

Kajian Pustaka

1.      Apa itu Pelecehan Seksual?

Menurut komnas perempuan pelecehan seksual yaitu tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang dimaksud berupa siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. Adapun dijelaskan juga oleh Winarsunu (2008) bahwa pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas yang berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-unsur sebagai berikut, yaitu adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku, kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korban, dan mengakibatkan penderitaan pada korban.

 

2.      Apa saja bentuk pelecehan seksual?

Secara garis besar bentuk pelecehan seksual terbagi menjadi dua, yaitu verbal dan non- verbal. Kasus pelecehan seksual secara verbal adalah pelecehan seksual yang dilakukan dengan melontarkan suatu hal bernuansa seksual yang membuat korban merasa tidak nyaman. Seperti catcalling, komentar/ucapan bernuansa seksual, pesan teks bernuansa seksual, dan mempertunjukkan materi pornografi. Sedangkan yang dimaksud dengan pelecehan non-verbal merupakan pelecehan seksual yang berkaitan dengan fisik, contohnya, memainkan mata dengan tujuan menggoda, mencolek atau menyentuh bagian tubuh korban, serta gerakan atau isyarat yang bersifat sesual sehingga membuat korban merasa tidak nyaman, tersinggung, dan merasa direndahkan.

 

3.      Faktor yang memengaruhi kerentanan terhadap pelecehan seksual

Mengutip Wilkins (2014) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat tiga faktor yang memengaruhi adanya kekerasan seksual seperti faktor individu, faktor lingkungan sosial, dan faktor hubungan;

  • Faktor individu : pendidikan rendah, kurangnya sex education, kontrol perilaku buruk, pernah mengalami riwayat kekerasan, pernah menyaksikan kejadian kekerasan/pelecehan seksual, dan penggunaan obat – obatan.

  • Faktor lingkungan sosial : kebudayaan atau kebiasaan yang mendukung adanya tidakan kekerasan seksual, kekerasan yang dilihat melalui media, kelemahan kesehatan, pendidikan, ekonomi dan hukum, aturan yang tidak sesuai atau berbahaya untuk sifat individu wanita atau laki – laki.

  • <

    strong>Faktor hubungan : kelemahan hubungan antara anak dan orangtua, konflik dalam keluarga, berhubungan dengan seorang penjahat atau pelaku kekerasan, dan tergabung dalam geng atau komplotan.

 

4.      Dampak pelecehan seksual terhadap korban

Mengutip WHO (2017) disebutkan bahwa pelecehan seksual dapat menimbulkan berbagai dampak buruk bagi korbanny, baik dampak psikologis, dampak sosial, maupun dampak fisik.

  • Dampak fisik yang dapat terjadi pada korban seperti, luka, lebam, memar, bahkan hingga ke kerusakan organ vital. Korban juga dapat tertular penyakit menular seksual, serta kehamilan yang tidak diinginkan.

  • Dampak psikologi yang dapat terjadi antara lain seperti, trauma, stress, kesulitan tidur, penurunan harga diri, Munculnya keluhan somatik, dan penyalahgunaan obat terlarang dan alkohol akibat depresi.

  • Dampak sosial yang dapat terjadi seperti korban menjadi menutup diri dari lingkungan sekitar, akibat dari stigma di masyarakat. Korban merasa bahwa harga dirinya menjadi rendah karena ia menjadi korban pelecehan seksual, sehingga merasa tidak berharga, tidak pantas dan juga merasa tidak layak untuk bergaul bersama teman-temannya. Dalam kasus kehamilan biasanya korban akan dipaksa untuk menikah dengan pelaku.

 

5.      Metode dan Pendekatan:

Naskah ini menggunakan metode narrative research dan ditulis dengan pendekatan analisis deskriptif kualitatif dengan yang bertujuan untuk mengungkapkan fakta, kejadian, dan fenomena yang terjadi berkaitan dengan ruang lingkup yang menjadi sasaran dibuatnya kajian ini. Adapun data-data yang diperoleh untuk merumuskan naskah ini didapat dengan studi literatur dari hasil penelitian, naskah produk hukum, forum pelayanan pengaduan mahasiswa, catatan tahunan komnas terkait, dan melalui angket yang disebar untuk mengetahui pemahaman dan rekomendasi dari mahasiswa atas isu pelecehan seksual dilingkungan kampus.

Pembahasan

Uraian Fakta dan Fenomena

Universitas Negeri Yogyakarta merupakan salah satu Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia, hal itu didasarkan pada klasifikasi kemendikbud yang menempatkan UNY pada klaster 1 Perguruan Tinggi terbaik di tanah air. Akan tetapi, dibelakang prestasi tersebut ada hal yang tidak dimunculkan ke publik, yaitu mengenai kasus kekerasan/pelecehan seksual yang terjadi dalam lingkungan kampus. Berdasarkan program pelayanan pengaduan (I Hear You), pelecehan seksual di lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta sudah terjadi berulang kali. Farley (1978), dalam Kurnianingsih, (2003) mendefinisikan pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak dikehendaki penerimanya, di mana rayuan tersebut muncul dalam beragam bentuk baik yang halus, kasar, tebuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah. Pelecehan seksual terbagi menjadi beberapa macam, mulai dari pelecehan gender, perilaku menggoda, penyuapan dan pemaksaan seksual dan pelanggaran seksual. Tindakan pelecehan seksual ini mampu memberikan dampak negatif yang besar kepada para korban, seperti merasa  direndahkan, merasa tidak berguna, gangguan kejiwaan yang berpengaruh pada kesehatan fisik, gangguan emosional, gangguan mental yang berujung pada ketakutan traumatis, hingga melakukan percobaan bunuh diri. Adapun beberapa kasus pelecehan seksual yang pernah terjadi di lingkungan kampus dinarasikan pada naskah ini sebagai bahan pengkajian dan evaluasi, agar kedepannya pihak kampus mampu lebih beperan dalam pencegahan terjadinya tindak pelecehan seksual. Dalam penulisan ini seluruh identitas korban dirahasiakan, demi menjaga nama baik dan mencegah ketersinggungan.

A dan K adalah korban dari pelecehan seksual yang memberikan pengaduan atas pengalamannya kepada pihak yang mampu memberikan mereka perlindungan. Kejadian serupa juga dialami oleh D, ia mendapatkan catcalling dari seorang penjaga parkir lab fakultasnya, kejadian ini sudah ia dapatkan ketika ia menjadi mahasiswa baru. Tindakan pelecehan seksual yang mereka dapatkan berupa catcalling dan pelecehan seksual secara vebal. Catcalling menurut Oxford Dictionary didefiniskan sebagai siulan, panggilan dan komentar yang bersifat seksual dari seorang lelaki kepada perempuan yang lewat didepannya. Chhun (2011), dalam Hidayat & setyanto (2019) mengidentifikasikan catcalling sebagai penggunaan kata-kata yang tidak senonoh, ekspresi secara verbal dan juga ekspresi non-verbal yang kejadiannya terjadi di tempat publik. Mungkin bagi sebagian orang di Indonesia, siulan atau suitan menjadi sebuah hal yang biasa saja. Akan tetapi, hal seperti ini mampu memberikan rasa ketidak nyamanan kepada lawan atau objek bicara, sehingga siulan, bisa menjadi sebuah tindakan pelecehan seksual dan pelaku tentu bisa dikenai pidana.

Pada dasarnya di Indonesia belum memiliki payung hukum yang secara khusus membahas tindakan catcalling, namun penggabungan dari beberapa peraturan mampu menjamin kepastian hukum secara makasimal. Penggabungan peraturan ini didalamnya terdapat KUHP dan UU. No 4 Tahun 2008 tentang pornografi. Pada KUHP Pasal 281 ayat 2 ini menjelaskan bahwa apabila ada seseorang yang dengan sengaja di depan orang lain diluar kesediaan orang tersebut melakukan suatu perbuatan asusila dapat dipidana penjara ataupun pidana denda, dan Pasal 315 memberi penjelasan bahwa setiap penghinaan yang sengaja dilakukan terhadap seseorang dengan tulisan maupun lisan didepan orang tersebut maupun melalui surat dapat dikategorikan sebagai penghinaan ringan yang mampu dipidana dengan penjara maupun pidana denda. Pada Pasal 8 UU No 4 Tahun 2008 Tentang Pornografi secara garis besar melarang seseorang menjadikan orang lain sebagai model atau objek dalam memuat konten yang mengandung usnur pornografi, meskipun dengan persetujuannya. Pernyataan pada Pasal 34 memiliki keterkaitan dengan Pasal 8 dalam penentuan sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan yang dirumuskan pada Pasal 8 tersebut. Pasal 9 menyatakan bahwa setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai model atau objek yang mengandung muatan pornografi, dan seseorang yang melakukan tindakan ini dapat dipidana yaitu pidana penjara dan pidana denda seperti ketentuan yang berlaku pada pasal 35 (Putri & Suardita, 2019).

Pada kasus yang kedua, korban yang berisinial N dkk, pernah mengaku diikuti oleh seorang penguntit yang memiliki kelainan seksual dengan memperlihatkan kelaminnya (ekshibisi). Dari pengalamannya ini tentu N dkk akan mengalami ketakutan yang sangat traumatis. Ekshibisionis berasal dari kata ekshibionisme, yaitu kondisi yang ditandai oleh dorongan, fantasi dan tindakan untuk memperlihatkan alat kelamin kepada orang asing tanpa persetujuan dari orang tersebut. pelaku ekshibisionis memiliki keinginan kuat agar orang lain mengamati ketika mererka sedang melakukan aktivitas seksual. Kondisi yang mererka alami termasuk kedalam gangguan paraphilia atau penyimpangan seksual. Orang ekshibisionis merasa senang ketika berhasil mengejutkan korbannya. Ekshibisionis biasanya hanya terbatas pada memperlihatkan alat kelaminnya saja atau dengan bermasturbasi didepan objek seksualnya, tetapi tidak sampai melakukan kontak fisik dengan objek tersebut. Sebenarnya, kasus eksibisi seksual ini telah banyak memakan korban. Penyimpangan seksual ini menjadi semakin berbahaya apabila jika tidak ada tindakan lanjut dari aparat negara. Diliput dari kompas.com pada tanggal 26 Januari 2020, sebanyak 3 dari 5 kejahatan seksual yang ada di jalanan, yaitu berupa tindakan eksibisi seksual dengan memperlihatkan kemaluan lalu melakukan masturbasi di depan umum, sisanya seperti yang marak terjadi saat ini yang sering disebut dengan begal payudara.

Kata kesusilaan bisa dipahami sebagai suatu pengertian adab sopan santun dalam hal yang berkaitan dengan kegiatan seksual atau nafsu birahi. Menurut pandangan R. Soesilo di dalam KUHP Pasal 281 dengan jelas menyebut kesusilaan sebagai perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin. Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan, maka ia bisa dikenai Pasal 281 KUHP sampai dengan Pasal 297 KUHP yang membahas tentang tindak pidana yang berkaitan dengan seksual.

Adapun kasus lain berupa diskriminasi gender yang masih banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Nampaknya, budaya patriarki ini sudah menjadi sebuah kelaziman dalam tatanan adat istiadat. Tak ayal, jika diskriminasi gender ini bisa menjadi sebuah jalan untuk melakukan tindakan kekerasan seksual. Padahal di Indonesia sendiri gerakan emansipasi terhadap wanita sudah terbentuk pada zaman R. A. Kartini.

Studi perempuan di Indonesia masih menggunakan kata “diskriminasi” sebagai wacana utamanya kira-kira sampai tahun 2005. Akan tetapi, sejak diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), secara perlahan mampu menggusur istilah “diskriminasi gender” atau “diskriminasi terhadap perempuan”. Menurut Pasal 1 UU Nomor 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala bentuk Kekerasan Terhadap Wanita, mendefinisikan diskriminasi terhadap wanita sebagai; “setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita. Uraian tersebut memberi arti bahwa diskriminasi berupa pembedaan, pengucilan dan pembatasan-pembatasan berdasarkan gender ditunujukkan untuk membuat sesorang tidak bisa mengakui, menikmati, dan menggunakan HAM dan membuat pria dan wanita tak setara (Danardono, Purwoko dan Hadiyono, 2014)

Diskriminasi gender yang masih terus dialami wanita, pemerintah membentuk beberapa peraturan yang berupaya untuk melindungi hak asasi perempuan. Diantara Peraturan Perundang-Undangan yang mengandung muatan perlindungan hak asasi perempuan adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-undang Politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 42 Tahun 2008). Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender (PUG) dan Kerpres No. 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2005 (Kania, 2015).

Kekerasan seksual yang terjadi di kampus di Indonesia merupakan sebuah fenomena gunung es. Data akurat terkait jumlah korban atau kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus-kampus di Indonesia masih belum diketahui secara pasti termasuk mekanisme penanganannya. Berdasarkan pada tesis yang ditulis oleh Soejoeti (2020), kekerasan seksual di kampus memang benar-benar terjadi di Indonesia. Ia juga mengatakan bahwa kebanyakan kasus kekerasan seksual di kampus di Indonesia diselesaikan secara internal (kuasi) atau non-litigasi.

Seharusnya upaya penanganan kekerasan seksual lebih mengakomodir kebutuhan dan perlindungan pada korban. Namun penanganan dengan mendamaikan antara pelaku dan korban dalam rangka pengamanan nama baik kampus cenderung dilakukan. Tindakan administrasi menjadi solusi paling sering diupayakan dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di kampus. Pemidanaan pelaku dalam rangka pemberian efek jera pun hanya sebuah slogan dalam penanganan kasus kekerasan seksual di kampus. Tanpa memperhatikan dampak bagi korban secara mental atau psikologis.

Masykur Wahid (2019) menyebutkan bahwa kampus aman merupakan sebuah konsep bentuk tanggung jawab sosial keagamaan yang dipertimbangkan untuk melindungi perempuan dan anak secara periodik, sustainable, dan intensif. Kampus aman berasal dari dua kata, yaitu kampus yang berarti institusi pendidikan tinggi dan aman yang berarti melindungi manusia dari tindakan kekerasan. Melindungi diinterpretasikan sebagai upaya pelayanan, pencegahan, dan pemberdayaan. Sedangkan, secara terminologis kampus aman yang dimaksudkan adalah perlindungan akademis kepada kaum perempuan dan anak dari tindak kekerasan.

Untuk mewujudkan kampus aman seperti yang telah disebutkan, birokrasi kampus UNY mengeluarkan Peraturan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Kekerasan Seksual di UNY. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa jika ada mahasiswa yang mengalami kekerasan atau pelecehan seksual di lingkungan kampus UNY akan ditindak dan diproses melalui sistem yang berlaku. Penanggulangan kekerasan seksual yang dimaksudkan adalah tindakan yang berupa pencegahan terjadinya kekerasan seksual dan penanganan terjadinya kekerasan seksual.

Pada pasal 7 ayat (1) disebutkan tindakan pencegahan kekerasan seksual yang dilakukan birokrasi adalah dengan melakukan sosialisasi, diseminasi program dan kebijakan anti kekerasan seksual, melakukan kajian dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu, melakukan penataan sarana dan prasarana kampus, dan meningkatkan kesadaran kehati-hatian warga UNY dalam menghadapi perilaku kekerasan seksual. Namun, semenjak peraturan ini diterbitkan masih belum ada sosialisasi atau diseminasi yang diadakan oleh pihak birokrasi. Padahal sosialisasi merupakan sebuah langkah awal yang terbilang cukup efektif dalam mengedukasi mahasiswa dan warga UNY mengenai pencegahan yang dapat dilakukan dalam kekerasan seksual. Lantas, apakah UNY telah melakukan pencegahan terhadap kekerasan seksual?

Jika pencegahan belum terlaksana maka tidak menutup kemungkinan jika ada warga UNY yang akan mengalami dampaknya yaitu kekerasan seksual. Sehingga untuk memastikan keberlangsungan perguruan tinggi yang terhindar dari kasus kekerasan seksual dibutuhkan upaya manajeman konflik yang responsive gender dan terintegrasi dalam proses pendidikan. Konflik dapat dimanfaatkan kearah yang produktif bila dikelola secara baik. Menurut Husaini Usman, konflik yang di kelola secara sistematis dapat berdampak positif yaitu memperkuat hubungan kerjasama, meningkatkan kepercayaan dan harga diri, mempertinggi kreativitas dan produktivitas serta kepuasan kerja. Konflik kekerasan seksual di perguruan tinggi tidak selalu mengarah pada citra negatif jika ditangani dengan baik. Penanganan yang responsive gender justru akan membangun citra positif dan pretasi bagi perguruan tinggi karena memiliki komitmen dalam mengakomodir kebutuhan perempuan dan menjamin perguruan tinggi yang aman bagi seluruh sivitas akademik.

Dalam pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa pihak birokrasi akan melakukan penanganan berupa melakukan pendampingan dan perlindungan terhadap korban dan saksi, membantu penguatan alat bukti dan meberikan jaminan kerahasiaan untuk melindungi nama baik korban serta berkoordinasi dengan pihak kepolisian jika bukti yang ditemukan telah mencukupi.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek), Nadiem Makarim, berulang kali menekankan komitmennya untuk menghapus apa yang disebutnya “tiga dosa besar pendidikan”, salah satunya kekerasan seksual. Menurut survei tahun 2019 terkait pelecehan seksual di ruang publik. Koalisi Ruang Publik Aman menemukan bahwa lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%) dan transportasi umum (19%).

Akhir April lalu, Nadiem mengatakan bahwa kementeriannya akan segera menerbitkan peraturan menteri (Permen) untuk menangani masalah kekerasan seksual di perguruan tinggi dan unit pendidikan lainnya.

Seperti yang telah dilaporkan VOA, setidaknya terdapat tujuh pasal yang akan diatur dalam Permen tersebut, di antaranya soal definisi, bentuk, pencegahan, penanggulangan dan penanganan kekerasan seksual. Selain itu, akan diatur juga kewajiban pimpinan perguruan tinggi dalam menangani dan untuk memastikan tidak terjadi kekerasan seksual di lingkungan kampus, hingga sanksi dan pengawasan kementerian. Dalam webinar Perempuan Pemimpin dan Kesetaraan Gender pada maret lalu, menteri Nadiem mengatakan bahwa mereka sedang mendiskusikan rancangan Permendikbud mengenai pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi, dimana sebelumnya telah memiliki Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan untuk tingkat PAUD, sekolah dasar, dan menengah. Menurut Nadiem, aturan ini dibuat untuk melindungi para peserta didik khususnya dari ancaman kekerasan seksual.

 

Pandangan dan Respon Mahasiswa

Komnas perempuan menyebutkan terjadinya kasus pelecehan seksual sepenuhnya merupakan kesalahan dari pelaku. Sehingga kasus pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Maka dari itu penting juga bagi kita untuk dapat menjaga diri sendiri agar dapat menghindar dari kasus pelecehan seksual. Selain itu pencegahan juga harus dilakukan oleh kampus/fakultas untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual sangat penting dilakukan. Berdasarkan data dari angket dapat ditarik kesimpulan, hampir seluruh responden menginginkan agar fakultas dapat melindungi orang-orang yang berada dalam lingkup fakultasnya. Dengan cara memberikan sanksi tegas kepada pelaku pelecehan seksual, tidak menutupi adanya kasus pelecehan seksual hanya demi nama baik kampus, memberikan wadah bagi korban pelecehan seksual untuk bisa menindaklanjuti kasus pelecehan seksual, memberikan pendampingan kepada korban kasus pelecehan seksual secara hukum maupun psikologis, serta memberikan edukasi yang cukup untuk warga fakultas mengenai pelecehan seksual. Mereka berharap birokrasi fakultas dapat memberikan jaminan keamanan bagi warganya dari kasus pelecehan seksual.

Kasus pelecehan seksual harus memiliki fokus dalam penanganannya agar dapat efektif dalam prosesnya. Fokus ini yang harus menjadi prioritas pemangku kebijakan dalam membuat kebijakan agar segala hal dapat berjalan sesuai dengan harapan. Responden menginginkan adanya sanksi yang tegas untuk pelaku pelecehan seksual. Selain itu mereka juga mengharapkan agar para penegak hukum lebih peduli karena kasus pelecehan seksual sering disepelekan dan dianggap remeh. Hampir seluruh responden menginginkan adanya pendampingan terutama secara psikologis agar korban tidak mengalami trauma yang berat. Responden juga menginginkan agar privasi korban dapat terjaga, dan korban tidak mengalami “victim blaming”.

Berdasarkan tanggapan lainnya, mereka menginginkan adanya layanan pengaduan yang bersahabat bagi korban kasus pelecehan seksual, seperti bekerja sama dengan ahli dalam pendampingan korban kasus pelecehan seksual, bersifat tertutup dan rahasia sehingga korban yang ingin bercerita tidak takut bahwa identitasnya akan terbuka yang membuat mereka merasa tidak nyaman, menampung serta menindak lanjuti apabila ada laporan mengenai kasus pelecehan seksual, serta dalam menerima laporan sebaiknya layanan aduan tidak pandang bulu dan justru menyudutkan korban atas apa yang telah terjadi pada korban. Korban sangat harus dilindungi dalam kasus pelecehan seksual baik secara mental, privasi, maupun fisik. Oleh karena itu layanan aduan harus bersifat bersahabat kepada korban pelecehan seksual, agar para korban pelecehan seksual juga tidak segan untuk melapor apabila terjadi kasus pelecehan seksual.

Responden menuliskan bahwa setiap orang harus dapat membekali diri mereka sendiri dengan berbagai keahlian (misal: bela diri) atau paling tidak basic self defense ketika mengalami pelecehan secara fisik. Responden juga mengharapkan kampus/fakultas mengadakan sex education yang mumpuni, serta melakukan kampanye anti kekerasan seksual sebagai bentuk pencerdasan dalam lingkungan kampus.

 

Kekerasan Gender Berbasis Online

Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan (violence) adalah penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Selanjutnya, Komisioner Tinggi Persatuan Bangsa- Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) mendefinisikan kekerasan berbasis gender sebagai kekerasan langsung pada seseorang yang didasarkan atas seks atau gender. Oleh karena itu, kekerasan berbasis gender online dapat kita artikan sebagai kekerasan yang menyasar seseorang berdasarkan gender dan dilakukan melalui media sosial (online).

Kekerasan berbasis gender online (KBGO) atau KBG yang difasilitasi teknologi sama saja seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata yang merugikan dan membawa pengalaman traumatis terhadap korbannya. KBGO dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang relasi gender, minimnya edukasi seks, dan kelainan atau gangguan tertentu pada pelaku. Melihat dari kemungkinan tersebut, diperlukan adanya edukasi dan intervensi agar KBGO dapat dicegah dan ditangani dengan efektif.

Sejak 2015, Komnas Perempuan telah memberikan catatan tentang kekerasan terhadap perempuan yang terkait dengan dunia online, dan disampaikan bahwa kekerasan dan kejahatan siber memiliki pola kasus yang semakin rumit dari waktu ke waktu. Pada 2017, ada 65 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya yang diterima oleh Komnas Perempuan. Sepanjang 2017, setidaknya ada 8 bentuk kekerasan berbasis gender online yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, yaitu pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment). Dari modus kekerasan tersebut, masih banyak hal-hal yang belum terungkap dikarenakan kurangnya akses dan pengetahuan terhadap KBGO. Lebih lanjut, kekerasan berbasis gender menyebabkan korban merasa tidak berdaya melawan kejahatan yang terjadi pada dirinya. Hal tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Hanson (2017), bahwa kekerasan seksual secara online dapat berdampak pada depresi, perasaan putus asa, malu, hingga perilaku menyakiti diri sendiri dan menghindari hubungan dengan orang lain pada korban. Singkatnya, kekerasan berbasis gender itu menyakiti orang lain dan berkemungkinan menyebabkan korban menyakiti orang lain. Itulah yang menyebabkan KBGO berbahaya apabila masyarakat tak acuh.

Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa KBGO merupakan kekerasan yang tidak bisa disepelekan. KBGO dapat dilakukan dan menimpa siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. Tidak masalah siapa yang melakukan dan dimana KBGO dilakukan, pelaku tetap harus ditindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku. Namun sayangnya belum ada pasal yang secara khusus mengatur tentang kekerasan berbasis gender yang dilakukan secara online. Hanya ada UU ITE Pasal 27 ayat (1) dan UU Pornografi Pasal 4 ayat (1) yang dapat sedikit menjadi dasar hukum dalam memperkarakan pelaku KBGO. Oleh karena itu, perlindungan secara hukum bagi korban KBGO dapat dikatakan masih abu-abu. Diperlukan peran aktif orang dekat baik itu teman, keluarga, atau tetangga untuk memberikan perlindungan bagi korban dari kemungkinan trauma dan ancaman intimidasi. Tentu saja, peran negara sebagai pelindung bagi warganya tetap diperlukan dalam upaya preventif dan kuratif, baik secara langsung maupun melewati perpanjangan tangan instansi yang bersangkutan seperti sekolah dan universitas. Bagaimanapun tanpa dasar hukum yang tepat, kekerasan berbasis gender tidak akan bisa ditanggulangi. Hal itu disebabkan karena masih adanya celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku untuk menghindari tuntutan. Bahkan, menuntut balik korbannya dengan pasal yang lain meski kadang tidak relevan. Pada akhirnya, keamanan dan kesejahteraan sosial hanya akan menjadi mimpi bagi korban KBGO.

 

Kesimpulan:

Naskah ini membahas tentang Pelecehan Seksual yang masih terjadi pada lingkungan kampus UNY. Kasus ini dapat dilihat dari temuan tentang pengaduan beberapa mahasiswa/mahasiswi yang pernah merasakan tindakan-tindakan sara baik secara verbal, secara fisik maupun melalui pesan (ajakan untuk melakukan kegiatan sara). Temuan ini menunjukkan bahwa masih kurangnya keamanan di lingkungan kampus yang membuat mahasiswa/mahasiswi merasa memiliki kerentanan untuk terkena pelecehan seksual. Tindakan pelecehan seksual di lingkungan kampus terjadi karena masih kurangnya pengetahuan tentang hal yang pelaku perbuat merupakan sebuah tindak kejahatan. Tindakan pelecehan yang seringkali terjadi dan disepelekan yaitu, seperti bersiul, ungkapan-ungkapan yang mengandung sex, hal-hal yang berupa ajakan untuk berbuat sex dan hal lainnya yang bersifat verbal, mencolek atau menyentuh bagian intim tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual. Akibat yang mungkin dialami oleh penderita dari pelecehan seksual ini adalah korban merasa martabatnya direndahkan bahkan, korban mengalami gangguan kesehatan dan mental. Kejadian dari tindakan ini dapat terjadi dimanapun, sehingga tidak menutup kemungkinan tindakan ini juga terjadi di lingkungan umum. Hal ini tentunya menjadi citra buruk bagi salah satu Perguruan Tinggi Negeri Terbaik di Indonesia, yang semestinya memiliki kebijakan untuk mengatur sehingga dapat menutup celah terjadinya kasus-kasus serupa. Namun, pada kenyataannya belum ada ketegasan yang diupayakan secara serius untuk menanggulangi dan mengantisipasi hal-hal seperti ini.

 

 

Pernyataan Sikap BEM FIP UNY dan BEM FMIPA UNY Terhadap Isu Pelecehan Seksual

Maka dari itu, berdasarkan uraian fakta dan permasalahan-permasalahan yang telah dijabarkan diatas, dengan ini BEM FIP UNY dan BEM FMIPA UNY mengecam keras isu serta kasus pelecehan seksual yang terjadi dilingkungan kampus Universitas Negeri Yogyakarta dan menuntut pemangku kebijakan di tingkat fakultas dan universitas untuk:

  1. Menerbitkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang lebih merinci daripada Peraturan  Rektor Nomor 17 Tahun 2020 dengan maksud untuk menjelaskan perincian, standar, alur penanganan dan batasan-batasan yang tetap terkait dengan kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus Universitas Negeri Yogyakarta.

  2. Melakukan sosialisasi yang komprehensif dan terbuka tentang Peraturan Rektor No 17 Tahun 2020 dengan mengundang seluruh civitas akademika uny baik di tingkat universitas dan setiap fakultas.

  3. Memberikan fasilitas pendampingan dan pelayanan pengaduan yang difungsikan secara maksimal untuk menangani permasalahan kekerasan dan pelecehan seksual.

  4. Mengajak civitas akademika uny untuk lebih peduli dengan isu pelecehan seksual di lingkungan Pendidikan.

 

 

 

Yogyakarta, 29 Juli 2021

Referensi:

AH, S. (2020). Kekerasan Seksual di Kampus: Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan di Perguruan Tinggi X dan Y. Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Kriminologi. Universitas Indonesia, Depok.

Azhari, J. R. (2020, 01 26). 5 Kasus Pelecehan Seksual yang Viral Dua Pekan Terakhir, Tiga Pelaku Tertangkap. Retrieved 12 5, 2020, from Kompas.com: https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/26/10580911/5-kasus-pelecehan-seksual-yang-viral-dua-pekan-terakhir-tiga-pelaku?page=all

Dewi. (2019). Catcalling: Candaan, Pujian atau Pelecehan Seksual. Denpasar, Bali: Fakultas Hukum, Universitas Udayana.

Donny Danardono, Joko Purwoko dan V. Hadiyono. (2014, 12 19). Diskriminasi, Kekerasan dan Hilangnya Hasrat atas Kesetaraan Gender. Retrieved 12 05, 2020, from Jurnal Perempuan: https://www.jurnalperempuan.org/blog/diskriminasi-kekerasan-dan-hilangnya-hasrat-atas-kesetaraan-gender

Dwiastono, R. (2021, 05 12). Ampuhkah Permendikbud Perangi Kekerasan Seksual di Kampus. Retrieved 07 28, 2021, from VOA Indonesia: https://www.voaindonesia.com/a/ampuhkah-permendikbud-perangi-kekerasan-seksual-di-kampus-/5886741.html

Fahlevi, F. (2021, 03 8). Kemendikbud Godok Rancangan Aturan Pencegahan Kekerasan Sosial di Kampus. Retrieved 07 28, 2021, from Tribunnews.com: https://www.tribunnews.com/pendidikan/2021/03/08/kemendikbud-godok-rancangan-aturan-pencegahan-kekerasan-seksual-di-perguruan-tinggi

Fairbim J, Bivens R, Dawson M. (2013). Sexual Violence and Social Media Building a Framework. Crime Prevention Ottawa.

Hidayat, S. (2019). Fenomena Catcalling Sebagai Bentuk Pelecehan Seksual Secara Verbal Terhadap Perempuan di Jakarta. Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Tarumanegara.

Hinson L, Mueller J, O’Brien-Milne L, Wandera N. (2018). Technology-Facilitated Genderbased Violence: What is it, and how do we measure it? Washington D.C. International Center for Research on Women.

Komnas Perempuan. (2015). Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan: Negara Segera Putus Impunitas Pelaku – Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan. Retrieved from https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Catatan%20Tahunan/13.PP5_CATAHU-2015.pdf

Komnas Perempuan. (2018). Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2018 tentang Tergerusnya Ruang Aman Perempuan dalam Pusaran Politik Populisme.

Komnas Perempuan. (2019). Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2019 tentang Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan Ruu Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara.

Kurnianingsih. (2003). Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan di Tempat Kerja. Retrieved from Buletin Psikologi.

Letezia Tobing, S. M. (2013, 08 28). Tentang Tindak Pidana Merusak Kesopanan di Muka Umum. Retrieved 12 05, 2020, from HukumOnline.com: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt521b9029a4e48/tentang-tindak-pidana-merusak-kesopanan-di-muka-umum/

Putri, S. (2019). Tinjauan Yuridis Terhadap Perbuatan Catcalling (Pelecehan Verbal) di Indonesia. Denpasar, Bali: Fakultas Hukum, Universits Udayana.

Rahmawati, D. (2020, 02 06). Eksibisionis Artinya Apa? Ini Penjelasannya. Retrieved 12 5, 2020, from SehatQ: https://www.sehatq.com/artikel/eksibisionis-artinya-apa-ini-penjelasannya

Ramadhan, D. N. (2021, 06 04). KemenPPA Catat Kekerasan Seksual Tertinggi Sebanyak 7191 Kasus. Retrieved 07 28, 2021, from antaranews.com: https://www.antaranews.com/berita/2192150/kemenpppa-catat-kekerasan-seksual-tertinggi-sebanyak-7191-kasus

Usman, H. (2019). Administrasi, Manajemen, dan Kepemimpinan Pendidikan: Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Wahid, M. (2019). Islam Dan Dominasi Maskulin Global: Menimbang Kampus Aman ―Islam Dan Dominasi Maskulin Global: Menimbang Kampus Aman. Jurnal Study Anak dan Gender Vol.3.

Yuanita, Y. (2008). Bentuk Verbal Dan Nonverbal Pelecehan Seksual Terhadap Buruh Perempuan. Jurnal Ilmu Komunikasi.