ENERGI TANPA ESENSI : KEDAULATAN YANG TERPENJARA POLITIK

oleh Muhammad Aziz Ali

(sekjend BEM FMIPA 2013)

Alternative-Energy1-1024x1024

             Bagi sebuah negara, tidak ada peradaban modern tanpa denyut energi dan tak ada negara maju tanpa energi. Tak ada dinamika aktivitas ekonomi baik mikro maupun makro tanpa energi, dan tak ada nafas industri tanpa suplai energi. Energi menjadi harga mati, tak bisa ditawar lagi. Energi menjadi berkah di suatu negara ketika ia berlimpah. Energi menjadi modal peradaban, kemajuan, kemapanan suatu negara. Namun jika energi suatu negara dikuasai negara lain, maka negara tidak mempunyai kedaulatan. Baik di mata rakyat, maupun di kancah internasional. Energi yang tanpa esensi.

            Berbicara tentang problem kedaulatan energi di negeri ini sejatinya diakibatkan oleh rusaknya sistem yang digunakan oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan energi baik dari sektor primer (BBM & Gas) maupun sekunder (PLN). Salah satu penyebabnya ialah diterapkannya UU 22/2001 tentang minyak dan gas bumi (MIGAS) yang sangat liberal. Pemerintah, melalui UU ini, lepas tanggung jawab dalam pengelolaan MIGAS. Mengapa MIGAS menjadi fokus? Karena MIGAS dari abad 20 hingga abad 21 ini, masih menjadi primadona  serta menjadi hulu dari berbagai energi yang menjadi mangsa politik di negeri ini.

            Lebih jelas mengupas kehancuran kedaulatan energi akibat UU 22/2001, pemerintah pertama, membuka peluang pengelolaan MIGAS karena BUMN MIGAS nasional di privatisasi.  Kedua, pemerintah justru memberikan kewenangan kepada perusahaan asing maupun domistik melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak. Ketiga, perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan harga sendiri.  Padahal, di Indonesia dengan 60 kontraktor MIGAS yang ada terkatagori kedalam 3 kelompok, (1) Super Major yang terdiri dari ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco ternyata menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80% Indonesia. (2) Major yang terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, dan Japex telah menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Dan (3) Perusahaan independen menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%. Walhasil, kita bisa melihat bahwa minyak dan gas bumi kita hampir 90% telah dikuasai oleh asing. Mereka semua adalah perusahaan multi nasional asing dan berwatak kapitalis. Wajar saja  jika negeri kita yang kaya akan MIGAS ini ’meradang’ tatkala harga minyak mentah dan gas dunia naik. Semuanya dijual keluar negeri oleh perusahaan asing kapitalis tersebut!

            Dari uraian singkat di atas kita dapat melihat bahwa ternyata, dominasi asing dalam usahanya mengeruk dan menguras habis sumberdaya alam kita bukan hanya disebabkan kinerja mereka sendiri, tetapi karena kekuasaan dan kewenangan besar yang dihambakan oleh pemerintah kepada mereka. Seharusnya, semua sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia, baik primer, seperti batu bara, minyak bumi, gas, maupun sekunder seperti listrik adalah hak milik umum (warga negara), dan pengelola hak milik umum adalah negara, melalui perusahaan milik negara (BUMN). Karenanya tidak diperbolehkan individu untuk memiliki energi tersebut untuk dikomersilkan atau dengan kata lain melakukan liberaliasasi yang pada akhirnya berujung pada privatisasi sektor-sektor tersebut. Suatu persoalan serius mengenai kedaulatan energi bangsa ini jika pemerintah masih belum bisa berpikir jernih, lepas dari politik yang seolah-olah telah menghipnotis manusia untuk egois, memenjara kedaulatan yang seharusnya menjadi kesejahteraan.