C. Penutup

KESIMPULAN

Abad 21 menjadikan dunia maya tak kalah penting dari dunia nyata, hampir seluruh manusia pada abad ini memiliki akun di berbagai plaftrom mainstream media sosial. Padatnya penduduk dunia maya nyatanya menimbulkan banyak permasalahan serius yang akan berbuntut panjang. Definisi cyber bullying sendiri adalah penggunaan kekerasan baik fisik maupun verbal, paksaan, atau ancaman untuk menyalahgunakan, mendominasi, atau mengintimidasi seseorang di dunia maya. Kejahatan berupa cyber bullying turut bertambah dengan padatnya penduduk di dunia maya dan banyaknya akun palsu. Selain cyber bullying, meningkatnya intensitas penggunaan media juga memicu adanya pseudosains. Pseudosains adalah suatu istilah pada suatu hal yang seperti ilmu pengetahuan namun cenderung tidak valid, tidak rasional, dan biasanya bersifat dogmatis. Pengertian kejahatan siber biasa diartikan sebagai tindak kejahatan di ranah dunia maya yang memanfaatkan teknologi komputer dan jaringan internet sebagai sasaran. Beberapa bentuk kejahatan siber diantaranya yaitu Unauthorized access to computer system and service, Illegal Contents, Data Forgery, Cyber Espionage, Cyber Sabotage and Extortion, Offence Against Intellectual Property, dan Infringements of Privacy.

Pandemi COVID-19 sejak Maret lalu telah memicu perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia. Secara tak langsung memaksa orang untuk tetap berada di rumah dan lebih sering menggunakan internet, baik untuk belajar, bekerja, maupun belanja. Sayangnya, tetap di rumah tidak membuat orang aman dari dampak kejahatan siber di dunia maya. Penyebab para penjahat siber melakukan ini karena memanfaatkan kecemasan yang disebabkan COVID-19 untuk melakukan berbagai serangan, seperti malware pengumpulan data, penipuan online, dan yang paling umum, yaitu phishing (kejahatan dengan memeroleh informasi penting, seperti username dan password, yang sebagian besar dilakukan melalui surat elektronik). Data yang dapat dicuri tersebut kemudian digunakan untuk tujuan jahat yang berbeda, termasuk mengakses rekening bank dan memeras korban dalam pertukaran tebusan, seperti yang terjadi pada 2017 ketika banyak perusahaan terkena ransomware Wannacry. Di Indonesia, peningkatan serangan siber selama pandemi juga terjadi. Berdasarkan data yang dirilis Patrolisiber.id pada Januari hingga pertengahan Oktober 2020, jumlah kejahatan siber yang dilaporkan ialah 9.037 kasus dengan total kerugian mencapai 1,04 Triliun rupiah.

Fenomena represif di dunia internet makin hari makin menjadi-jadi, apalagi bila ada demo. Menurut Ibeng (2020) represif merupakan suatu tindakan pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran atau juga peristiwa buruk. Dengan kata lain, tindakan yang dilakukan setelah atau sesudah peristiwa terjadi. . Menurut Firman, dalam CNN Indonesia (2020), pengamat budaya dan komunikasi digital, serangan siber menargetkan para aktivis atau pegiat media sosial yang vokal menyuarakan pendapat. Mereka yang kritis akan mendapat tekanan, terutama mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Dalam hal ini kebebasan berekspresi pun terasa sangat dibatasi. Penekanan inilah salah satu bentuk represi internet terhadap kebebasan berekspresi. Tindakan represif dengan menggunakan buzzer ini juga sering muncul ketika terjadi demo dan media sosial digunakan untuk menyuarakan pendapat. Buzzer adalah mereka yang dapat membentuk opini publik atau mereka yang memiliki pengaruh untuk menyuarakan kepentingan. Buzzer ini merupakan salah satu wujud repesif dari pemerintah untuk menekan kritikan-kritikan publik. Penyebab munculnya tindakan represif terutama di dunia maya ini tidak hanya karena pemerintah anti-kritikan tetapi juga karena keinginan untuk melindungi warga internet terjerat info yang belum tentu kebenarannya. Dampak adanya tindakan represif di dunia maya ini tentunya berkaitan dengan kebebasan berekspresi.

Hasil penelitian faktor penyebab pelaku melakukan ujaran kebencian terdiri dari faktor keadaan psikologis individu yaitu kejiwaan, faktor lingkungan, faktor sarana, fasilitas dan kemajuan teknologi, faktor kurangnya kontrol sosial, faktor ketidaktahuan masyarakat, dan faktor kepentingan masyarakat. Adapun faktor-faktor penyebab pelaku melakukan kejahatan ujaran kebencian (hate speech) yaitu faktor internal yang disebabkan oleh kejiwaan individu itu sendiri, faktor ketidaktahuan masyarakat, faktor sarana dan fasilitas (khususnya internet), faktor kontrol sosial, faktor lingkungan, faktor ekonomi, dan faktor kepentingan masyarakat. Dampak yang disebabkan hate speech sesungguhnya sangat berbahaya. Para korban ujaran kebencian bisa menderita gangguan fisik dan mental. Ujaran kebencian bisa merugikan para korban dalam jangka pendek, yaitu menderita sesak nafas, sakit kepala, tekanan darah tinggi, pusing, nadi mengalir cepat, minum obat berlebih, melakukan tindakan berbahaya, dan bahkan bunuh diri.

Sekarang ini, banyak orang yang memiliki akun palsu. Sebenarnya tidak masalah jika seseorang memiliki akun palsu. Akan tetapi, hal ini bisa menjadi masalah apabila mengganggu kenyamanan dan keamanan orang lain. Berita hoax oleh akun palsu ini juga masih gencar saat situasi pandemi COVID-19 seperti sekarang. Berdasarkan sumber dari website detik.com, google telah memblokir 18 juta email palsu yang mengatasnamakan otoritas seperti WHO untuk mengunduh software atau membujuk seseorang melakukan sumbangan agar data pribadi mereka terungkap (BBC World, 2020). Selain berita hoax, akun palsu tidak lepas dari cyberbullying. Fenomena akun palsu ini mampu merambat kepada istilah catfishing di mana orang akan melakukan apapun dengan cara harus berpura-pura menjadi orang lain, seperti menggunakan foto orang lain atau membuat akun palsu.

Pseudosains (Pseudoscience) adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada suatu bidang yang menyerupai ilmu pengetahuan namun sebenarnya bukan merupakan ilmu
pengetahuan. Pseudosains bisa juga dikatakan kumpulan pandangan yang berada di luar lingkup ilmiah. Pseudosains terjadi ketika hal-hal nonsains dicoba untuk dinyatakan sebagai sains ketika terjadi masalah atau keraguan. Karakteristik kunci dari pseudosains adalah bahwa hal itu tidak sesuai dengan metode ilmiah. Dalam pseudosains kegagalan akan selalu diabaikan, dimaafkan, disembunyikan, tidak dihitung, dirasionalisasikan agar selalu benar, dilupakan, dan dihindari.

SOLUSI

Abad 21 menjadikan dunia maya tak kalah penting dari dunia nyata, hampir seluruh manusia pada abad ini memiliki akun di berbagai plaftrom mainstream media sosial. Padatnya penduduk dunia maya nyatanya menimbulkan banyak permasalahan serius yang akan berbuntut panjang. Definisi cyber bullying sendiri adalah penggunaan kekerasan baik fisik maupun verbal, paksaan, atau ancaman untuk menyalahgunakan, mendominasi, atau mengintimidasi seseorang di dunia maya. Kejahatan berupa cyber bullying turut bertambah dengan padatnya penduduk di dunia maya dan banyaknya akun palsu. Selain cyber bullying, meningkatnya intensitas penggunaan media juga memicu adanya pseudosains. Pseudosains adalah suatu istilah pada suatu hal yang seperti ilmu pengetahuan namun cenderung tidak valid, tidak rasional, dan biasanya bersifat dogmatis. Pengertian kejahatan siber biasa diartikan sebagai tindak kejahatan di ranah dunia maya yang memanfaatkan teknologi komputer dan jaringan internet sebagai sasaran. Beberapa bentuk kejahatan siber diantaranya yaitu Unauthorized access to computer system and service, Illegal Contents, Data Forgery, Cyber Espionage, Cyber Sabotage and Extortion, Offence Against Intellectual Property, dan Infringements of Privacy.

Pandemi COVID-19 sejak Maret lalu telah memicu perubahan gaya hidup masyarakat Indonesia. Secara tak langsung memaksa orang untuk tetap berada di rumah dan lebih sering menggunakan internet, baik untuk belajar, bekerja, maupun belanja. Sayangnya, tetap di rumah tidak membuat orang aman dari dampak kejahatan siber di dunia maya. Penyebab para penjahat siber melakukan ini karena memanfaatkan kecemasan yang disebabkan COVID-19 untuk melakukan berbagai serangan, seperti malware pengumpulan data, penipuan online, dan yang paling umum, yaitu phishing (kejahatan dengan memeroleh informasi penting, seperti username dan password, yang sebagian besar dilakukan melalui surat elektronik). Data yang dapat dicuri tersebut kemudian digunakan untuk tujuan jahat yang berbeda, termasuk mengakses rekening bank dan memeras korban dalam pertukaran tebusan, seperti yang terjadi pada 2017 ketika banyak perusahaan terkena ransomware Wannacry. Di Indonesia, peningkatan serangan siber selama pandemi juga terjadi. Berdasarkan data yang dirilis Patrolisiber.id pada Januari hingga pertengahan Oktober 2020, jumlah kejahatan siber yang dilaporkan ialah 9.037 kasus dengan total kerugian mencapai 1,04 Triliun rupiah.

Fenomena represif di dunia internet makin hari makin menjadi-jadi, apalagi bila ada demo. Menurut Ibeng (2020) represif merupakan suatu tindakan pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran atau juga peristiwa buruk. Dengan kata lain, tindakan yang dilakukan setelah atau sesudah peristiwa terjadi. . Menurut Firman, dalam CNN Indonesia (2020), pengamat budaya dan komunikasi digital, serangan siber menargetkan para aktivis atau pegiat media sosial yang vokal menyuarakan pendapat. Mereka yang kritis akan mendapat tekanan, terutama mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Dalam hal ini kebebasan berekspresi pun terasa sangat dibatasi. Penekanan inilah salah satu bentuk represi internet terhadap kebebasan berekspresi. Tindakan represif dengan menggunakan buzzer ini juga sering muncul ketika terjadi demo dan media sosial digunakan untuk menyuarakan pendapat. Buzzer adalah mereka yang dapat membentuk opini publik atau mereka yang memiliki pengaruh untuk menyuarakan kepentingan. Buzzer ini merupakan salah satu wujud repesif dari pemerintah untuk menekan kritikan-kritikan publik. Penyebab munculnya tindakan represif terutama di dunia maya ini tidak hanya karena pemerintah anti-kritikan tetapi juga karena keinginan untuk melindungi warga internet terjerat info yang belum tentu kebenarannya. Dampak adanya tindakan represif di dunia maya ini tentunya berkaitan dengan kebebasan berekspresi.

Hasil penelitian faktor penyebab pelaku melakukan ujaran kebencian terdiri dari faktor keadaan psikologis individu yaitu kejiwaan, faktor lingkungan, faktor sarana, fasilitas dan kemajuan teknologi, faktor kurangnya kontrol sosial, faktor ketidaktahuan masyarakat, dan faktor kepentingan masyarakat. Adapun faktor-faktor penyebab pelaku melakukan kejahatan ujaran kebencian (hate speech) yaitu faktor internal yang disebabkan oleh kejiwaan individu itu sendiri, faktor ketidaktahuan masyarakat, faktor sarana dan fasilitas (khususnya internet), faktor kontrol sosial, faktor lingkungan, faktor ekonomi, dan faktor kepentingan masyarakat. Dampak yang disebabkan hate speech sesungguhnya sangat berbahaya. Para korban ujaran kebencian bisa menderita gangguan fisik dan mental. Ujaran kebencian bisa merugikan para korban dalam jangka pendek, yaitu menderita sesak nafas, sakit kepala, tekanan darah tinggi, pusing, nadi mengalir cepat, minum obat berlebih, melakukan tindakan berbahaya, dan bahkan bunuh diri.

Sekarang ini, banyak orang yang memiliki akun palsu. Sebenarnya tidak masalah jika seseorang memiliki akun palsu. Akan tetapi, hal ini bisa menjadi masalah apabila mengganggu kenyamanan dan keamanan orang lain. Berita hoax oleh akun palsu ini juga masih gencar saat situasi pandemi COVID-19 seperti sekarang. Berdasarkan sumber dari website detik.com, google telah memblokir 18 juta email palsu yang mengatasnamakan otoritas seperti WHO untuk mengunduh software atau membujuk seseorang melakukan sumbangan agar data pribadi mereka terungkap (BBC World, 2020). Selain berita hoax, akun palsu tidak lepas dari cyberbullying. Fenomena akun palsu ini mampu merambat kepada istilah catfishing di mana orang akan melakukan apapun dengan cara harus berpura-pura menjadi orang lain, seperti menggunakan foto orang lain atau membuat akun palsu.

Pseudosains (Pseudoscience) adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada suatu bidang yang menyerupai ilmu pengetahuan namun sebenarnya bukan merupakan ilmu
pengetahuan. Pseudosains bisa juga dikatakan kumpulan pandangan yang berada di luar lingkup ilmiah. Pseudosains terjadi ketika hal-hal nonsains dicoba untuk dinyatakan sebagai sains ketika terjadi masalah atau keraguan. Karakteristik kunci dari pseudosains adalah bahwa hal itu tidak sesuai dengan metode ilmiah. Dalam pseudosains kegagalan akan selalu diabaikan, dimaafkan, disembunyikan, tidak dihitung, dirasionalisasikan agar selalu benar, dilupakan, dan dihindari.

DAFTAR PUSTAKA

Lanjutkan membaca…