MENCARI SOSOK TELADAN DI ZAMAN KINI

oleh : Mohamad Aziz Ali

            Pendidikan karakter sebagai obat untuk menawar krisis moral dewasa ini memang telah kita yakini sebagai salah solusi tepat, walaupun hingga saat ini keberhasilannya belum begitu tampak secara massif. Sesungguhnya, agar pendidikan karakter dapat diimplementasikan secara efektif, sangat diperlukanlah figur teladan karakter itu sendiri. Bukan figur dalam bentuk buku, tesis atau disertasi, namun riil seorang hamba Tuhan, pemimpin di muka bumi, yakni seorang manusia berkarakter. Tentunya, manusia ini senantiasa mencitrakan teladan yang ideal, yang membawa pada kemaslahatan sikap hidup.

            Kalau boleh jujur, sebenarnya gejala krisis moral dalam kehidupan masyarakat seperti KKN, kenakalan remaja, tindakan asusila remaja, tindakan kekerasan, dan berbagai tindakan negatif lainnya telah menjamah berbagai lapisan masyarakat dewasa ini. Anehnya, beberapa diantaranya seplah-olah telah mendapat pembenaran dalam kehidupan sehari-hari, dan sulit diatasi. Gejala-gejala itu, khususnya yang berkaitan dengan remaja (generasi penerus kebangkitan bangsa), tidak lepas dari belum berhasilnya keluarga, lembaga pendidikan serta pemerintahan menghadirkan sosok teladan. Teladan karakter!

            Ketika ditanya siapa figur teladan karakter itu? Tentu kita sepakat bahwa guru (pendidik) jelas didaulat untuk mengemban amanah mulia ini. Guru-lah yang mula-mula menjadikan dirinya personifikasi dari nilai-nilai karakter pendidika (manusia). Jika peserta didik diharapkan menjadi manusia religius, guru-lah yang harus telah menjadi manusia “paling religius”, setidaknya di kelas. Jika peserta didik diharapkan menjadi manusia jujur, guru-lah orang yang harus paling jujur. Sebagai teladan karakter yang demikian, seorang guru jangan terlalu terbuai dengan pameo “murid seyogianya menjadi lebih dari gurunya”, sehingga guru tidak berusaha memelihara dan meningkatkan kualitas keteladanannya.

            Secara persepsi, guru sebagai figur teladan tidak mungkin mencontohkan dan mengajarkan kepada peserta didiknya perbuatan yang tidak baik. Namun kini, seringkali dijumpai dalam realitas di sekolah, keteladanan yang seyogianya ada hilang ditelan kefanaan dunia. Kefanaan ini dijumpai ketika sekali waktu guru memberi tahu peserta didik kunci jawaban (misalnya pada Ujian Nasional), dan pada saat yang sama peserta didik dalam dirinya mempertanyakan arti kejujuran. Keteladanan itu pudar. Ketika guru marah-marah larena suatu alasan tertentu dan mengeluarkan kata-kata kasar kepada peserta didik, pada saat yang sama peserta didik mempersoalkan arti kesantunan, dan keteladanan itu kian menguap.

      Sejumlah contoh lain mengenai figur dan perilaku teladan yang kini kian bias terlihat dapat dideretkan selain contoh diatas. Dapat pembaca sekalian rasakan sendiri pengalaman-pengalaman kontra teladan yang terjadi di bangku sekolah. Tampaknya bukan salah anak didik jika ternyata melekat pada diri mereka sikap tidak jujur, tidak santun, dan sikap tak berkarakter baik lainnya karena hasil mencontoh perilaku figur pendidik yang tidak mencerminkan kejujuran, kesantunan dan karakter baik.

             Selanjutnya, kita tentu sepakat bahwa seorang pemimpin juga didaulat secara penuh sebagai figur teladan. Pertanyaannya, seberapa sering di zaman ini kita meneladani figur seorang pemimpin? Atau lebih tepatnya, seberapa banyak pemimpin memberikan teladan baik, mengingat sosok pemimpin saat ini sarat dengan unsur kontroversi dibanding dengan aura keteladanan. Kerinduan akan sosok pemimpin yang bersahaja, yang selalu berada di tengah-tengah rakyatnya, bisa jadi hanya sebatas menunggu dan menunggu.

            Dalam suatu sistem, pemimpin adalah sebab, dan masyarakat yang dipimpin adalah akibat. Fakta di negara ini, banyak diantara para pemimpin kita adalah sebab kejujuran atau ketidakjujuran, dan rakyat adalah akibat kejujuran atau ketidakjujuran dari pemimpinnya. Seorang pemimpin yang berjuang untuk kepentingan rakyatnya, akan dirasakan oleh rakyatnya. Rakyat tidak perlu dibela dengan wacana atau kata-kata yang kesannya hanya untuk menarik simpati belaka. Yang diperlukan rakyat sebenarnya ialah teladan dari seorang pemimpin. Teladan yang bersih dari unsur pencitraan politis semata.

            Pada akhirnya, pengajaran agama dan etika yang semata-mata untuk memberi pengetahuan, akan sangat lemah dalam menanamkan motivasi-motivasi bersikap dan berakhlak baik. Kini, kita semua telah mengetahui secara tersirat maupun tersurat bahwa salah satu problematika kehidupan bangsa  adalah moral dan akhlak yang disebabkan hilangnya sosok teladan-teladan yang hidup di dekat kita pada zaman ini. Karena itu, pada prinsipnya pembentukan moral dan akhlak itu diawali dari keluarga dengan memberikan keteladanan hidup. Selanjutnya, dalam lingkup kehidupan yang lebih luas yakni masyarakat dan bangsa, keteladanan pun idealnya tersurat secara jelas oleh para guru dan pemimpin bangsa ini. Minimal dua tonggak itu, sebelum keteladanan elemen lainnya, termasuk kita!