REPRESIFITAS BEREKSPRESI DI MEDIA SOSIAL
Fenomena represif di dunia internet makin hari makin menjadi-menjadi, apalagi bila ada demo. Sebenarnya apa itu fenomena represif? Menurut Ibeng (2020) represif merupakan suatu tindakan pengendalian sosial yang dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran atau juga peristiwa buruk. Dengan kata lain, tindakan yang dilakukan setelah atau sesudah peristiwa terjadi. Fenomena represif ini tidak hanya ada di dunia nyata tetapi juga ada di dunia maya alias internet atau media sosial. Contohnya yaitu kasus yang menimpa Bintang Emon.
Menurut CNN Indonesia (2020) komika Bintang Emon diduga diserang buzzer di platform media sosial akibat kritikannya terhadap tuntutan ringan pelaku penyiraman penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Buzzer bahkan menuding Bintang menggunakan narkotika jenis sabu. Menurut Firman, dalam CNN Indonesia (2020), pengamat budaya dan komunikasi digital, serangan siber menargetkan para aktivis atau pegiat media sosial yang vokal menyuarakan pendapat. Mereka yang kritis akan mendapat tekanan, terutama mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Dengan adanya penekanan tersebut membuat orang-orang takut untuk menyuarakan pendapat. Dalam hal ini kebebasan berekspresi pun terasa sangat dibatasi. Penekanan inilah salah satu bentuk represi internet terhadap kebebasan berekspresi. Raihan, dalam CNN Indonesia (2020), mengatakan buzzer mungkin saja memainkan isu tersebut sebagai bentuk teguran pemerintah agar Bintang tak terlalu vokal.
Selain itu, tindakan represif dengan menggunakan buzzer ini juga sering muncul ketika terjadi demo dan media sosial digunakan untuk menyuarakan pendapat. Menurut Bintang (2019) ketika mahasiswa menyuarakan kegelisahan publik lewat demo langsung maupun lewat aktivitas di media sosial, munculah tandingannya yaitu buzzer-buzzer yang mendukung pemerintah. Buzzer-buzzer ini ada yang tokoh tertentu maupun akun-akun anonim. Dari kedua contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa buzzer adalah mereka yang dapat membentuk opini publik atau mereka yang memiliki pengaruh untuk menyuarakan kepentingan. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa buzzer ini merupakan salah satu wujud repesif dari pemerintah untuk menekan kritikan-kritikan publik.
Contoh lainnya yaitu berdasarkan berita yang diliput oleh CNBC Indonesia (2020) terkait isu Ominbus law. Sebuah pengakuan muncul dari salah satu influencer atau buzzer yang ternyata dibayar untuk menyuarakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) melalui hashtag #IndonesiaButuhKerja di Instagram. Bila dilihat dari caption atau keterangan yang diunggah oleh para influencer atau buzzer di Instagram, diketahui #IndonesiaButuhKerja merupakan salah satu bentuk dukungan untuk melanggengkan RUU Cipta Kerja. Begitulah cara buzzer untuk membentuk opini publik.
Penyebab munculnya tindakan represif terutama di dunia maya ini tidak hanya karena pemerintah anti-kritikan tetapi juga karena keinginan untuk melindungan warga internet terjerat info yang belum tentu kebenarannya. Menurut Yunita (2017), pemerintah mengkhawatirkan perkembangan komunikasi di media sosial yang berisi berita-berita tendensius, fitnah, bohong, menyesatkan, menanamkan kebencian, atau ujaran-ujaran kebencian. Oleh karenanya represif merupakan salah satu rencana untuk menekan hal negatif tersebut dari dunia maya, terutama preventif agar kebebasan media terutama di media sosial, dapat diatur dengan baik serta dilaksanakan secara etis, bermartabat, dan tidak merugikan kepentingan nasional.
Dampak adanya tindakan represif di dunia maya ini tentunya berkaitan dengan kebebasan berekspresi. Dunia maya sendiri merupakan tempat seseorang untuk lebih mudah mengutarakan pendapatnya. Apabila ketika seseorang menyuarakan pendapat lalu ditekan tentunya akan membuat seseorang merasa khawatir untuk menyampaikan pendapat. Mungkin benar dengan adanya penekanan ini dapat mengantisipasi adanya berita bohong, tetapi bagi seseorang, layaknya Bintang Emon, yang memiliki pandangan kritis justru akan sangat membatasi kekebasan berekspresi tersebut.
Pencegah adanya tindakan tersebut tentunya tidak mudah untuk dilakukan mengingat tindakan represif ini sering menimpa aktivis-aktivis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Dalam hal ini bisa digunakan bahasa yang sopan dan tidak terlalu vokal ketika menyampaikan kritikan atau menggunakan bahasa yang tersirat. Selain itu, hindari penyebaran berita yang belum tentu kebenarannya atau belum terbukti kebenarannya ke publik. Tentunya hal tersebut membuat informasi simpang siur di internet.