SKETSA POLITIK DALAM BINGKAI MATEMATIK
oleh Mohamad Aziz Ali
Walaupun matematika merupakan ilmu pasti, sedangkan politik dan kekuasaan penuh dengan ketidakpastian, tetapi ada beberapa titik temu antara keduanya. Menarik bila kedua entitas keilmuan ini disandingkan, terlebih dunia politik kian menjadi sorotan dalam dinamika kehidupan bernegara belakangan ini. Namun ada yang mesti diperhatikan ketika berbicara soal politik, yaitu stereotype politik yang negatif. Kondisi ini menyebabkan dunia politik cenderung dihindari,, menjelma menjadi alergi bagi sebagian orang. Erat kaitannya dengan kepemimpinan, namun sering kali dinodai kambing hitam nafsu meraih kekuasaan.
Idealnya stereotype politik yang negatif tidak menjadi tren yang terus berkembang, karena tentu akan berdampak kurang sehat bagi demokrasi bangsa ini, karena politik sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan. Selama ini, banyak terjadi kekeliruan pemahaman tentang arti kepemimpinan, apalagi ketika sudah dikaitkan dengan kata sakral “politik”. Banyak orang mengartikannya sebagai kedudukan atau posisi yang tinggi saja. Sehingga, posisi pemimpin diincar demi mendapatkan kedudukan tinggi dalam suatu kelompok atau lembaga. Kalau sudah begini, akan menjadi tren negatif ketika nanti yang terjadi adalah orang-orang yang ingin memimpin dikuasai oleh hasrat berkuasa bukan niat pengabdian.
Kembali pada titik temu yang disinggung diawal tulisan, politik yang kian negatif ingin dikaitkan dengan matematika. Lantas mengapa matematika? Bukankah cenderung akan menambah keruh stereotype politik dan tentunya menambah angker stereotype matematika yang memang dikenal sebagai ilmu sulit? Disini poin menariknya. Mengapa tidak kita coba ber-intermezo perihal sketsa dunia politik dalam bingkai matematik? Bukankah matematik memuat kaidah-kaidah unik yang mampu menghadirkan nuansa objektivitas dan kreativitas guna membuat stereotype dunia politik menjadi lebih baik? Mari kita analisis dan sintesis keduanya; men-sketsa kan politik dalam bingkai matematik!
Pertama kita samakan persepsi, apa yang baik dari hal bernama politik. Kita bisa menerima bahwa politik itu suatu perjuangan, politik itu suatu ibadah, politik itu suatu kebajikan yang perlu dicapai bersama-sama. Penafsiran politik itu baik atau buruk sangat tergantung pada aktor (pelaku) politik itu sendiri. Akan mengarah ke hal yang positif jika pelakunya memiliki kesadaran akan sebuah prinsip moral dan mengarah ke hal negatif jika mengabaikan prinsip tersebut. Pada dasarnya politisilah yang memiliki peran penting dalam mengendalikan praktek politik itu sendiri. Dari sini kita soroti analisis kita pada sekup yang lebih sentral, yaitu politisi.
Politisi yang mampu menjadikan politik sebagai mesin mencapai kemaslahatan bersama merupakan politisi yang ideal. Bentuk ideal yang penuh nuansa positif kita bingkai dalam matematik dengan merujuk bahasan koordinat kartesian dua dimensi. Sistem koordinat kartesian dalam dua dimensi umumnya didefinisikan dengan dua sumbu yang saling bertegak lurus antar satu dengan yang lain, sumbu horizontal diberi label x, dan sumbu vertikal diberi label y. Bidang xy tersebut terbagi menjadi empat bagian yang disebut kuadran. Nilai dari setiap kuadran berbeda mengikuti nilai satuan yang telah disepakati aturannya pada bidang kartesian, seperti gambar dibawah ini.
* |
Gambar 1. Koordinat kartesian dua dimensi (xy)
Dalam kaitannya dengan kriteria ideal politisi, dapat kita analogikan sumbu-x pada koordinat kartesian merupakan hablumminannas (hubungan sesama manusia) dan sumbu-y sebagai hablumminallah (hubungan baik kepada Allah S.W.T). Dari ketentuan sistem koordinat kartesian, jelaslah kuadran satu merupakan tempat kriteria politisi ideal dimana hablumminannas dan hablumminallahnya bernilai positif. Jangan sampai seorang politisi berada pada kondisi pribadi seperti kuadran 2 atau 3, bahkan 4 yang hablumminannas dan hablumminallahnya bernilai negatif semua. Semakin besar posisi dalam kuadran satu maka kriteria politisi semakin ideal. Itulah yang harus dicapai seorang politisi.
Selanjutnya, ibarat pengertian posisi pada arti sesungguhnya, ia hanya sebuah kata benda, sedangkan politisi sebagai subjek sudah semestinya tidak hanya berhenti pada cakupan kata benda saja, tetapi harus menorehkan karya dalam kerja. Oleh karenanya, masih dalam bahasan koordinat kartesian, posisi yang direpresentasikan dalam titik koordinat, tidak hanya cukup dengan posisi di kuadran satu saja, yang hablumminannas dan hablumminallahnya bernilai positif. Pengembangan harus dilakukan dengan prinsip keseimbangan. Oleh karena itu, titik koordinat sebagai posisi harus berkembang menjadi garis, yang bermakna sebagai kerja dan karya. Tentunya kerja dan karya yang seimbang antara hablumminannas dan hablumminallah sehingga idealnya seorang politisi memilki garis kerja linier yakni selalu seimbang antara hablumminannas dan hablumminallahnya. Di posisi manapun ia berada dalam kuadran satu, nilai hablumminannas dan hablumminallahnya sama. Hal inilah yang nantinya memberikan kelurusan niat, amal dan hasil, sesuai dengan representasi garis linier dalam koordinat kartesian.
Berkembang pada bahasan yang lebih kompleks, kita mafhum bahwa dunia politik tidak sesederhana garis lurus atau linier. Bolehlah kita rujuk dinamika dan kompleksitas dunia politik yang menghadang politikus sebagai jalan yang berkelok seperti lintasan atau grafik parabolic fungsi kuadrat. Dunia politik yang saling sikut membuat apa yang terlihat (eksplisit) seolah olah menggambarkan niat atau hatinya. Begitupun dengan pencitraan yang menjerumuskan bisa dominan di mata publik dibandingkan niat egois yang tertutupi kemunafikan itu (implisit).
Fenomena tersebut dapat direpresentasikan pada aturan-aturan dalam grafik fungsi kuadrat. Dalam lintasan parabola dari fungsi kuadrat yakni:
* | * |
Gambar 2. Ketentuan kurva fungsi kuadrat
Dimana terdapat ketentuan:
a : koefisien x pangkat 2
parabola terbuka keatas jika a > 0…..mempunyai titik balik minimum
parabola terbuka kebawah jika a < 0…..mempunyai titik balik maximum
b : koefisien x pangkat 1
menunjukkan letak puncak di sebelah kanan sb-y jika a dan b berlainan tanda
menunjukkan letak puncak di sebelah kiri sb-y jika a dan b sama tanda
menunjukkan letak puncak di sb-y jika b = nol
c : konstanta bebas
menunjuk pada tipot (titik potong) kurva dengan sb-y diatas sb-x jika c > 0
menunjuk pada tipot (titik potong) kurva dengan sb-y dibawah sb-x jika c < 0
menunjuk kurva melalui pusat O(0,0) jika c = 0
nilai diskriminan
D > 0 : kurva memotong sb-x didua titik yang berbeda
D = 0 : kurva memotong sb-x didua titik yang sama (menyinggung)
D < 0 : kurva tidak memotong / menyinggung sb-x (keadaan definit)
Tentunya bila mengaitkan dengan kriteria ideal politisi dalam analogi koordinat kartesian sebelumnya, ketentuan yang dicetak tebal merupakan criteria ideal lebih lanjut dari analogi seorang politisi ideal dalam bingkai matematik, dengan analogi sebagai berikut:
koefisien a : amal ikhlas à dengan nilai amal ikhlas (a) lebih dari nol,
maka perjalanan hidup akan dominan berada
pada hablumminallah yang besar (karena titik terendah hablumminallah hanya terjadi sangat sebentar di titik balik minimum.
koefisien b : bohong à analogi nilai negatif (b)menunjukkan bohong
yang sedikit, sebagai pra syarat amal ikhlas+
koefisien c : cerdas à analogi nilai positif (c) berarti urusan.
hablumminannas disikapi dengan cerdas
baik dari sisi IQ maupun EQ.
nilai D (diskriminan) : dosa à analogi nilai negatif (b)menunjukkan bohong
yang sedikit.
Semakin lengkaplah sketsa ideal seorang politikus yang dapat membawa kemaslahatan bagi rakyatnya, dalam bingkai matematik yang sedang kita bahas bersama ini. Bagian terakhir dari sketsa ini ialah konsep jamaah atau gerakan bersama-sama yang akan menjadikan usaha mencapai kemaslahatan menjadi kuat. Oleh karena itu, bingkai matematik dalam intermezzo kali ini dikembangkan lagi pada bahasan integral. Hakikat integral yang merupakan integrasi atau penyatuan titik-titik koordinat serta garis menjadi suatu luasan atau volume menjadi relevan dengan prinsip jamaah dalam berpolitik. Setelah posisi telah diduduki (titik koordinat), dinamika kerja dan karya telah dihadapi (garis linier dan kurva fungsi kuadrat), selanjutnya persatuan dalam jamaah perlu dieratkan dalam menjalankan politik madani.
Pada akhirnya, kita dapat memandang matematik dalam dunia politik tidak selalu dihadapkan pada angka-angka statistik semata, lewat persen-persen hasil survey, peluang dan elektabilitas, namun juga dapat diwujudkan dalam analogi kreatif dan objektif khas matematik. Dengan terwujudnya bangun dari sebuah sketsa politisi yang ideal dari mulai filososfi posisi (titik koordinat), dinamika kerja dan karya penuh keseimbangan dan nuansa positif (garis linier dan kurva fungsi kuadrat), hingga konsep jamaah yang utuh (luasan atau volum hasil integral garis/kurva), diharapkan matematik menjadi salah satu bingkai yang mampu merubah stereotype politik khususnya politikus yang kini buruk menjadi lebih menarik dengan nuansa idealnya. Kalau hal ini telah tercapai, kita, orang-orang dengan kredibilitas tinggi, harapan pemimpin rakyat, tidak segan lagi terjun ke dunia politik, tentunya dengan niat murni untuk menjadi pengabdi sejati bukan penikmat kekuasaan berkorosi. Siap?
Biodata Penulis
Khoirunnas anfa ahum linnas….
Nama : Mohamad Aziz Ali
NIM : 10302241014
Perguruan Tinggi : Universitas Negeri Yogyakarta
Program Studi : Pendidikan Fisika
Tempat, tanggal lahir : Cirebon, 05 Oktober 1991
Alamat : Jalan Cendrawasih II, No.48, Kota Cirebon
No.Handphone : 08986850721
E-mail : azis_ikhtiar@yahoo.com