Kondisi pendidikan di Indonesia ternyata masih jauh dari idealitas yang selama ini diharapkan. Pelaksanaan sistem pendidikan nasional sejauh ini masih banyak ditemukan masalah di mana-mana.
Mulai dari akses pendidikan yang kurang merata, infrastruktur yang kurang memadai bahkan berkualitas rendah, serta kurikulum yang selalu berubah.
Tak perlu jauh berkaca. Flashback, pelaksanaan Ujian Nasional 2013 yang akhirnya terpaksa mengalami penundaan untuk beberapa wilayah di Indonesia dapat menjadi salah satu cermin tentang realitas sistem pendidikan di negeri ini. Selain itu, ketersediaan infrastruktur pendidikan yang belum mantap pun menjadi satu alasan tersendiri untuk menyebut pendidikan di Indonesia masih carut marut. Hal itu ternyata menimbulkan pengaruh yang sangat kompleks terhadap semakin sulitnya pendidikan dikatakan berhasil dalam mencetak generasi bangsa unggul. (www.merdeka.com)
Sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia. Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Tempat pertama dan kedua ditempati Finlandia dan Korea Selatan, sementara Inggris menempati posisi keenam. Peringkat itu memadukan hasil tes internasional dan data, seperti tingkat kelulusan antara tahun 2006 dan 2010. Sir Michael Barber, penasihat pendidikan utama Pearson, mengatakan, peringkat disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru dan memiliki “budaya” pendidikan. (sumber: BBC Indonesia)
Ya, budaya pendidikan. Proses Kegiatan Belajar Mengajar (red: KBM) di Indonesia sejauh ini belum dapat dikatakan berbudaya mendidik. Meski tak semuanya, secara umum guru hanya mengajar, memberi tugas, menilai, dan selesai. Esensi pendidikan yang dicari justru tak kunjung didapatkan oleh siswa. Terlebih lagi sistem pendidikan yang carut marut justru membebani siswa dengan banyak pikiran. Bukankah tujuan pendidikan itu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Cerdas moral dan cerdas akal, bagaimana tujuan itu akan tercapai bila siswa justru dipaksa memikirkan hal-hal yang sebenarnya ia tak suka bahkan memiliki keterbatasan di dalamnya?
Sistem pendidikan di Negara ini dapat kita analogikan dengan karikatur di atas. Semua siswa diberi beban yang sama, dipaksa menyelesaikan persoalan yang sama, padahal jelas kita semua tahu bahwa kemampuan masing-masing individu itu berbeda. Ya, adil bukan berarti sama rata. Setiap manusia sudah dibekali kelebihan dan kekurangan masing-masing oleh Sang Pencipta. Akan tetapi apa yang terjadi kini seolah-olah melawan kodrat. Bahkan siswa dibebani banyak mata pelajaran yang belum tentu nantinya akan menunjang profesi mereka. Sungguh ironi, berbeda sekali dengan sistem yang diterapkan oleh Negara-negara yang sektor pendidikannya maju, katakanlah Finlandia.
Dari segi mata pelajaran di Finlandia memiliki 6 mata pelajaran inti yang semuanya terbungkus dengan kata orientation. kenapa ada kata orientation? karena kurikulum di Finlandia memiliki konsep gagasan bahwa 6 mata pelajaran ini bukan mengharuskan siswa belajar isi dari seluruh pelajaran ini namun mengajak anak didik untuk mulai memperoleh kemampuan menjelajah dan memahami fenomena-fenomena alam yang ada disekitar mereka. maka jika anda melihat ada tiga kata yang dipakai disini yaitu examine, understand, & experience. jadi siswa melatih kemudian memahami dan mencoba. jadi pada hakikatnya siswa di Finlandia tidak belajar isi dari buku-buku tetapi berinteraksi dengan ilmu-ilmu tersebut. tentunya dengan fasilitas yang lengkap di setiap sekolah, baik desa maupun kota. (Masykur Mahmud, 2012)
Sedangkan Indonesia? 17 mata pelajaran dibebankan sekaligus kepada siswa. Dapat dibilang hampir semuanya masih text book orienting. Alhasil lebih jauh kepenatan yang dirasakan ketimbang ilmu yang didapatkan. Disamping itu, adanya 3 kali UN yang harus dijalani sungguh menghantui pikiran para siswa. Di Finlandia, sepanjang bersekolah hanya dilakukan 1 kali tes penilaian yang bisa dianalogikan dengan UN di Indonesia, yakni hanya ketika siswa berumur 16 tahun. Di sisi lain, factor yang turut menjadi pemicu rendahnya daya saing Indonesia di bidang pendidikan adalah rendahnya profesionalitas guru. Seluruh guru di Finlandia sudah menyandang gelar Master. Bahkan keselektifan yang patut dicontoh adalah Finlandia menerapkan peraturan hanya mahasiswa dengan kemampuan top ten di kampus masing-masing yang dapat diterima menjadi guru di Finlandia. Berbeda halnya dengan Indonesia, yang bahkan beberapa guru masih dalam proses mengejar kelulusan setara S1. Ngeri bukan?
Kembali ke persoalan utama. Sistem pendidikan di Indonesia dirasa perlu diperbarui. Juga kurikulum 2013 yang masih kontroversial, mungkin perlu ditinjau kembali. Siswa mengenyam pendidikan untuk memperoleh ilmu, bukan untuk dijejali ilmu. Membangun bangsa yang berkualitas dimulai dari menguatkan terlebih dulu pondasinya, yaitu pemuda. Pemuda (red: siswa) hendaknya diberi kebebasan mengasah keahlian sesuai bakat mereka. Biarkan mereka fokus pada hal yang dituju.
Sementara itu, perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia tidak bisa dilakukan semata oleh pemerintah saja, perlu dukungan dari seluruh lapisan masyarakat dalam melakukan perubahan untuk meningkatkan dan memeratakan kualitas pendidikan. Juga perlu upaya konkrit untuk mengatasinya. Mulai dari diri kita. Kita yang nantinya akan menggantikan mereka. Kita yang kelak akan duduk di kursi pemerintahan, menyusun strategi dan kurikulum yang Indonesia butuhkan. Kita yang katanya calon pendidik, bersungguh-sungguhlah menjadi sang agen perubahan.
Sekecil apapun bentuknya, Indonesia butuh kontribusi kita. Semangat berbagi, selamat mengabdi!
oleh : Nibras Isty Putri
Pendidikan Fisika Subsidi 2012