Yogyakarta – Bidang Sosial dan Politik BEM FMIPA UNY sukses menyelenggarakan diskusi Pandhawa #4 dengan tema “Stabilitas Kurikulum Pendidikan: Dampak ‘Ganti Menteri, Ganti Kurikulum’ terhadap Guru dan Siswa” pada Senin, 25 Agustus 2025. Acara yang dihadiri oleh 52 peserta ini menghadirkan Bapak Santo Mugi Prayitno, M.Pd., sebagai narasumber untuk membedah isu strategis tersebut.

Dalam pemaparannya, Bapak Santo menegaskan bahwa kurikulum merupakan kompas utama dalam dunia pendidikan yang berfungsi menentukan arah dan kompetensi siswa. Beliau meluruskan anggapan bahwa setiap pergantian menteri selalu mengganti kurikulum. Faktanya, saat ini Indonesia menjalankan dua kurikulum secara paralel, yaitu Kurikulum 2013 (K-13) dan Kurikulum Merdeka.

“Sekolah memiliki kewenangan penuh untuk memilih dan mengembangkan kurikulum yang paling tepat sesuai kebutuhannya, atau yang kita sebut sebagai Inovasi Daerah (Inoda),” jelasnya. Namun, beliau menekankan bahwa kesuksesan sebuah kurikulum tidak lepas dari sinergi antara sekolah, guru, orang tua, dan kurikulum itu sendiri. Kurikulum Merdeka yang berbasis karakter dan fleksibel pun perlu terus dievaluasi secara kolektif oleh semua pemangku kepentingan.

Sebagai calon guru, mahasiswa FMIPA UNY diingatkan untuk tidak hanya fokus pada penguasaan ilmu pengetahuan tetapi juga mulai mengasah kompetensi soft skill. “Mulailah mengolah emosi dan menerapkan sopan santun dalam setiap interaksi, termasuk saat nanti berhadapan dengan wali murid,” pesannya.

Sesi Interaktif: Pertanyaan Kritis dari Peserta

Diskusi semakin hidup ketika memasuki sesi tanya jawab. Fina Istifada, seorang peserta yang sedang menjalani praktik mengajar, membagikan pengalamannya menghadapi siswa yang kurang semangat dan lebih menyukai pembelajaran berbasis game. Ia juga mempertanyakan kebenaran isu bahwa siswa tidak boleh tidak naik kelas.

Menanggapi hal ini, Bapak Santo menjelaskan bahwa kebijakan tidak naik kelas memang diperbolehkan sebagai opsi terakhir. “Namun, prosesnya harus transparan. Sekolah wajib mencari akar masalah melalui home visit dan berkoordinasi dengan orang tua serta pihak terkait seperti KPAI. Semua langkah ini harus terdokumentasi dengan baik sebagai bentuk pertanggungjawaban profesional guru,” tegasnya.

Pertanyaan lain datang dari Dewa Ngakan Gede Mahadewa yang menyoroti kebingungan di kalangan orang tua akibat perbedaan antara K-13 dan Kurikulum Merdeka. Ia menanyakan langkah konkret dari Dinas Pendidikan dan LPTK dalam menyikapi hal ini.

Narasumber memaparkan bahwa di Kota Yogyakarta, setiap sekolah wajib mempresentasikan kurikulumnya kepada Dinas di awal tahun. “Dinas melakukan evaluasi berkala setiap tiga bulan untuk memastikan perkembangan siswa, termasuk dalam hal literasi dan karakter. Untuk mengatasi tantangan seperti perbedaan kemampuan guru dalam teknologi, kami menggunakan pendekatan yang berbeda dan menyederhanakan konsep. Strategi utamanya adalah melibatkan semua guru dan fokus pada proses pembelajaran yang mendalam, bukan sekadar hasil,” jelas Bapak Santo.

Acara yang diselenggarakan di Ruang Sidang 3 FMIPA UNY ini ditutup dengan kesimpulan bahwa komunikasi dan kolaborasi yang erat antar semua pihak adalah kunci untuk menstabilkan dinamika kurikulum dan memastikan tujuan pendidikan nasional tercapai.