JANGAN LAGI AKU, TAPI KITA
Oleh : Mohamad Aziz Ali
(Sekjend BEM FMIPA UNY periode 2012-2013)
Aku menulis dengan sebuah keyakinan bahwa kita bersama bisa saling dukung demi kemajuan republik dan bangsa kita. Aku yakin karena sejarah sudah membuktikan bahwa republik ini berdiri, tumbuh dan berkembang seperti sekarang karena ditopang oleh anak-anak muda yang tecerdaskan, tangguh dan energik. Sungguh, pemuda penggerak kemajuan bangsa menjadi barisan yang memiliki ketinggian visi yang besar hingga memilki energi potensial yang besar sejalan dengan konsep energi dalam fisika.
Hari ini kondisi kita jauh lebih maju daripada saat kita menyatakan merdeka. Saat republik berdiri, masyarakat buta huruf mencapai angka 95%. Bayangkan betapa beratnya beban para pemuda pemimpin republik muda di waktu itu. Mereka harus menggerakan kemajuan dari titik nol. Puluhan juta rakyatnya sanggup mengangkat bambu runcing melawan senapan canggih, berjuang dalam revolusi kemerdekaan, namun tidak sanggup menuliskan namanya sendiri. Hari ini melalui kerja kolektif seluruh bangsa, kita berhasil memutarbalikan hingga tinggal sekitar 8% yang buta huruf. Tidak banyak bangsa besar di dunia yang dalam waktu 66 tahun bisa berubah sedrastis ini. Ingat bangsa besar dengan segala keragaman yang dapat menghambat kemajuan. Namun saat ini kita saksikan bahwa keragaman yang kita miliki ini yang menjadikan kita maju dalam harmoni persatuan yang indah. Lepas dari beberapa konflik yang memang tidak dapat terelakkan, kita telah mafhum bahwa konflik perbedaan muncul sebagai media belajar kita untuk menambah nutrisi toleransi kita.
Kontemplasi diatas hanya setetes bahan bakar optimisme menuju Indonesia jauh lebih baik di tahun-tahun ke depan.Bahan bakar optimis yang telah banyak dikumpulkan oleh bangsa ini mesti di eksekusi dalam kehidupan berbangsa. Layaknya kendaraan yang butuh bahan bakar dalam melaju, tentu dibutuhkan suatu sistem kompak yang harus saling bekerja sama menghasilkan output energi. Oleh karena itu, dalam mengoptimalkan bahan bakar optimis yang telah terkumpul dalam goresan sejarah bangsa, masyarakat Indonesia harus menegaskan jejak usaha berkarya bagi bangsa dengan menggunakan label “kita”, bukan lagi “aku”. Segala individualisme yang berlandaskan egoisme sudah seharusnya ditanggalkan. Segala kolektivitas usaha dan karya harus dibingkai dalam rumah optimisme seluruh manusia Indonesia, yaitu setiap dari “kita”.
Kita melihat fase yang kita miliki sekarang ini tidak lagi memliki kemewahan untuk bergelut di sisi yang egois dan individualis. Karena fase yang kita lakukan sekarang ini adalah bagaimana membuat yang bobrok menjadi kokoh. Selama usia-usia ke depan, kita mempunyai modal yang cukup kuat untuk mewujudkan kebangkitan bangsa yang kokoh, yakni sebuah optimisme. Optimisme senantiasa terawat ketika setiap kerja dan karya adalah “kita” bukan “aku”, karena pekerjaan ini adalah sesuatu yang panjang.