Dalam kurun waktu tertentu, perbincangan yang berkutat pada persoalan pendidikan menjadi hal yang hangat dan tak jarang memuncak pada titik panasnya di setiap telinga. Bahkan peredaran pembicaraan dari mulut ke mulut menyentuh setiap kalangan mulai dari  yang elit sampai akar rumput masyarakat. Salahsatu momentum yang melatarbelakangi, tak jauh-jauh dari berakhirnya atau mulainya semester baru. Menjadi hal yang lazim dan layaknya hajatan bagi orang tua dan anak yang ingin melanjutkan sekolah maupun mendaftar di sekolah baru. Jutaan orang tua berbondong-bondong dan berkompetisi dalam mendaftarkan anaknya masuk ke setiap sekolah favorit yang diinginkan demi satu tiket label terpandang pendidikannya di masyarakat.

Sebelum kebijakan zonasi ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tepatnya dimulai tahun 2018 hingga pada akhirnya tahun 2019 ini tetap mempertahankan kebijakan tersebut dengan perubahan elemen-elemen yang menjadi penyaring penyeleksiannya seperti kuota dan radius jarak yang semakin pendek. Implikasi dari kebijakan yang dipertahankan dua tahun berturut-turut mungkin saja menjadi faktor yang memperlemah kompetisi dalam berebut sekolah. Tapi bukankah memang sudah seharusnya budaya kompetisi demikian dikurangi bahkan dalam beberapa hal harus dihilangkan, yang justru akan menimbulkan persaingan tidak sehat alih-alih memeratakan pendidikan?

Seperti yang diceritakan salahsatu kawan saya yang turut memanaskan perbincangan persoalan pendidikan di dalam lingkup keluarganya. Sebut saja Joko -bisa jadi nama sebenarnya-. Hari ini masih dalam masa liburan panjang kegiatan perkuliahan. Aku dan Joko sering menghabiskan waktu di kampus  di masa liburan ini karena banyaknya tuntutan kegiatan dan program kerja di organisasi yang kami ikuti. Sebut saja BEM F (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas) -bisa jadi organisasi sebenarnya-. Dengan menggebu-gebu dia menghampiriku yang tengah asyik duduk bersandar di kantin fakultas dan membuka lembaran-lembaran buku.

“Gas, gas. Ada yang mau aku obrolin.” Dengan nada serius ditopang gerak bibir dan sorot matanya yang tidak kalah serius.

“Iya Jok, ada apa?” Aku mengalihkan atensiku dari buku ke wajah Joko yang terlihat serius. Batinku bergumam, pikirku terjadi hal buruk yang menimpa kawanku ini atau ia sedang dalam masalah.

“Gas, aku mau ngobrolin soal ideologi pendidikan yang selama ini sering dibicarakan Joni dan kawan-kawannya itu. Aku belum lama ini beberapa kali nimbrung diskusi mereka. Dan yang akan kuceritakan soal pembicaraanku di rumah dengan Bapak dan Ibuku.”

“Hehh, kamu serius Jok? Setan mana yang merasukimu?”

‘’Serius, Gas.’’

Wajar saja aku kaget dan terheran, selama ini Joko kesehariannya aku kenal sebagai mahasiswa yang apatis bahkan sangat anti membicarakan persoalan idealisme mahasiswa terlebih pelbagai isu maupun persoalan pendidikan, sosial, apalagi politik. Usut tak punya usut tiba-tiba saja ingin mengobrol denganku seputar ideologi pendidikan. Joko biasa menampilkan dirinya sebagai mahasiswa yang tidak senang serius-serius amat dengan khasnya yang cengengesan dibumbui candaan-candaan andalan.

Aku pun boleh dikata juga belum lama mengenal dan bergabung dengan beberapa kawan di kampus dari fakultas lain yang kerap membicarakan isu-isu pendidikan, sosial, dan politik. Tak jauh berbeda dengan kumpulan yang ada di fakultasku. Mereka senang mengadakan diskusi seputar idealisme mahasiswa meliputi usaha-usaha yang semestinya dilakukan, menggelar lapak buku, dan tak jarang meramaikan perdebatan politik di dunia maya dengan tulisan-tulisan tajam mereka. Bukankah jika kita bergaul dengan penjual parfum akan ketularan wanginya dan jika bergaul dengan tukang besi akan mendapati bau besinya?

Fakultas tempat di mana Aku dan Joko menempuh perkuliahan sering mendapat labelisasi sebagai fakultas apatis, istilah lebih umumnya ‘bodo amat’. Apatis terhadap pelbagai persoalan umum yang berkembang di negeri ini maupun ranah kampus. Stereotip lainnya pun juga turut menyertai, fakultas ini dipandang kampusnya para mahasiswa yang tahunya hanya kuliah nugas kuliah nugas dan penelitian mangkrak tanpa implementasi. Hanya segelintir mahasiswa di fakultas ini yang mampu menunjukkan citra dirinya sebagai ‘mahasiswa sejati’ dalam pemahaman umum mahasiswa aktivis. Mahasiswa yang memiliki sensisibilitas yang tinggi, merefleksikan realita, mampu berpikir kritis, mengorganisir pergerakan, serta mampu menggali ide-ide untuk menyelesaiakan permasalahan yang ada. Apa yang biasanya mereka diskusikan pun banyak yang jadi hal tabu bahkan juga mendapat olok-olok karna saking tabunya.

“Gas, menurutmu ideologi pendidikan kita ini bukankah memang liberal betul ya? Sistem yang dijalankan masih sangat kapitalistik.”

“Iya Jok, memang betul. Berangkat dari situ banyak melahirkan permasalahan-permasalahan pendidikan mutakhir ini. Kog kamu sekarang jadi tahu istilah-istilah seperti itu dan ingin membicarakannya pula.”

“Aku kemarin malah mendapat kritik pedas dari Bapakku karena membicarakan itu, Gas. Di rumah aku tertohok oleh kata-kata Bapakku.”

“Lah, memangnya apa yang kamu bicarakan dengan bapakmu, Jok?”

“Begini Gas, tadi kan aku bilang bahwa akhir-akhir ini aku sering ikut diskusi anak-anak yang biasanya nongkrong di gazebo timur lab itu. Dan aku ikut nimbrung pas mereka lagi ngomongin idealisme mahasiswa dan perannya terhadap pendidikan di Indonesia. Memang dulu aku sangat anti dengan mereka, tapi entah aku pikir sebelum aku banyak menghujat banyak mereka aku perlu tahu langsung sebenarnya apa sih yang mereka sering diskusikan, sebagaimana yang sering dibilang bahwa mereka harus berperan dalam perbaikan sistem pendidikan di negeri ini. Entah kenapa aku sekarang sepakat dengan mereka dan pikiranku banyak dipengaruhi karena diskusi bersama mereka. Aku jadi paham banyak hal soal ideologi-ideologi.”

“Lah terus, hubungannya sama pembicaraan dengan Bapakmu apa Jok?”

“Panjang cerita aku menemukan konsep bagaimana aku seharusnya menjadi mahasiswa Gas. Aku akhir-akhir ini juga banyak baca-baca buku tentang pergerakan mahasiswa dan teori-teori serta ideologi  pendidikan.”

“Lalu?”

“Kemarin lusa, Ibuku nyeletuk soal sistem zonasi itu, Bapakku juga. Adikku kan juga baru nyari SMA nih. Katanya sistem zonasi ini ga seru, ga greget, ga menantang, dibilang ngawur pula. Lha nilai ujian nasional adikku itu bagusnya naudzubillah dan pengennya adikku masuk SMA Y. Tapi karena kendala radius jarak ke sekolah pilihan tersebut diurungkan. Setelah itu aku menceramahi Ibuku soal sistem pendidikan dan ideologi pendidikan. Yang aku bicarakan di rumah aku bawa dari hasil diskusiku bersama mereka.

‘’’Bu, biarpun penerapan zonasi ini mulai digalakkan, biarpun sistem penerimaan diubah dengan cara seperti apapun, gak berguna signifikan kalo ideologi pendidikan kita masih seperti ini, ideologi pendidikan kita masih sangat liberalistik dan sistem pendidikan kita masih sangat kapitalistik.’’’

Wajar saja Joko sedang dalam fase menggebu-gebunya membicarakan ideologi dan sistem pendidikan. Tapi, buruknya yang berbicara dengannya tak jarang kena semprot ide-idenya yang tidak semua orang mampu paham ataupun menerimanya. Dan jadi lucu ketika ia salah menempatkan pembicaraan.

‘’’Kamu itu ngomong apa to, Le? kog Ibu gak paham. Inti dari intinya itu, ya sistem ini masih sangat buruk dan pemerintah tetap harus bertanggung jawab atas semua ini, semua sudah jadi aturan, kengawuran ini. Gak seru, gak menantang. Lah banyak lulusan adikmu itu yang nilainya bagus dan punya niatan melanjutkan sekolah di pilihan ‘favorit’ tapi gagal karena aturan ini. Seharusnya adikmu bisa bersaing untuk masuk SMA Y itu. Dan dampak persaingan itu kan juga bagus to, semakin memacu siswa untuk mendapat nilai bagus.’’’

‘’’Lah, inilah salahsatu akibat membudayanya paradigma liberalistik, Bu. Pikiran Ibu masih sempit, kalau sudah seperti ini yang harus diubah dari akarnya langsung, ideologinya langsung.’’’ Omongan Joko ini menghujam keras Ibunya.

Ayah Joko langsung menimpali.

‘’’Kamu tu bicara apa to, Le?. Bapak itu paham fase-fase mahasiswa yang sedang seperti kamu ini sedang menggebu-gebunya bicara seperti itu. Yang diomongin ngalor-ngidul sistem, teori-teori, dan ideologi. Toh bapak ini kan juga ketua RT sudah sering ngadepin mahasiswa KKN yang suka bicara seperti itu tapi bingung ketika dihadapkan dengan realitas di masyarakat. Inti dari intinya itu, punya ide-ide bagus dan mendalam, tapi pengejewantahannya nol besar. Healah, Le. Mahasiswa yang suka KKN itu juga kadang besar kepala terhadap pemuda di sini, merasa ilmunya tinggi bisa bicara soal teori, sistem, dan ideologi seperti itu. Satu lagi, Le. Kalau bicara jangan lupa juga kita harus perhatikan siapa yang menjadi lawan bicara kita.’’’

“Begitu, Gas. Setelah aku pikir-pikir tapi memang kebanyakan mahasiswa yang sok idealis juga seperti yang dibilang Bapakku sih dan aku pun ga sadar tertular. Dan mahasiswa kalau ngomong juga seharusnya tahu siapa yang akan diajak ngomong. Aku bicara seperti itu ke Ibuku dan mana tahu Ibuku soal demikian toh lulusan SMP. ’’

“Iyasih, Jok. Aku sudah menyadarinya sedari lama. Karena itu berarti yang menjadi PR besar kita itu mencari cara bagaimana mengejewantahkan ide-ide muluk kita ke arah yang lebih konkret dimulai dari hal kecil. Agar banyak orang gak tambah sinis juga dengan apa yang kita bicarakan. Minimal ada aksi nyata walaupun dampaknya kecil tapi jika dilakukan terus menerus akan berdampak masif bukan?”

Sesaat setelah itu keduanya langsung hening. Tak ada pembicaraan lagi diantara kami.