PRESS RELEASE PANDHAWA

PRESS RELEASE#5: Menyapa Sisi Cela Jagat Maya

Perkembangan zaman dan teknologi telah memengaruhi segala sendi kehidupan. Hal ini tak terlepas dengan adanya konsep globalisasi sebagai sebuah visi untuk menghubungkan antar manusia tanpa batas. Hal inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya dunia baru bersifat maya (cyber space) yang disebut dengan jagat internet.

Pada abad 21 menjadikan dunia maya tak kalah penting dari dunia nyata, hampir seluruh manusia pada abad ini memiliki akun di berbagai plaftrom mainstream media sosial. Kehadiran manusia di dunia maya seakan menjadi begitu penting, narasi bahwa seseorang yang tidak memiliki akun untuk berinteraksi di dunia maya berarti ketinggalan zaman dan tidak gaul menguatkan betapa penting eksistensi seseorang di dunia maya dewasa ini.

Padatnya penduduk dunia maya nyatanya menimbulkan banyak permasalahan serius yang akan berbuntut panjang. Bahkan sekalipun dalam masa pandemi ini, secara tak langsung memaksa orang untuk tetap berada di rumah dan lebih sering menggunakan internet, baik untuk belajar, bekerja, maupun belanja. Sayangnya, tetap di rumah tidak membuat orang aman dari dampak kejahatan siber di dunia maya.

Hal itulah yang mendasari diadakannya diskusi pada hari Jumat, 23 Oktober 2020 oleh Departemen Kajian, Riset, dan Politik BEM FMIPA UNY dengan dua narasumber yang ahli dibidangnya yaitu dengan Bapak Firman Kurniawan Sujono, M. Si selaku pemerhati budaya dan komunikasi digital serta dengan Bapak Indriyatno Banyumurti selaku koordinator program ICT Watch Indonesia.

Sebelum adanya dunia digital, masyarakat lebih individual dan parsial (punya kehendak sendiri). Masyarakat zaman sekarang menjadi manusia yang network society. Kondisi manusia sekarang sudah over connected dengan perangkat digital. Hal ini menyebabkan kehidupan manusia identik dari berbagai belahan bumi. Eksistensi manusia sekarang terasa lebih nyata di jejaring sosial daripada di dunia nyata.

Implikasi adanya teknologi yaitu hilangnya ruang private manusia, dalam artian semua menjadi ruang publik. Kegiatan sehari-hari terdistribusi oleh google dan aplikasi lain yang digunakan. Ketika diakumulasi dari data yang diserahkan ke pengembang aplikasi, manusia akan dipetakan sehingga produk-produk yang akan dibeli muncul di media sosial. Hal ini dapat terjadi karena adanya sistem algoritma yang dapat membaca manusia sehingga menyedikan tawaran-tawaran sesuai keinginan manusia yang menyebabkan sulit untuk menghidar.

Dalam sebuah narasi anti-damai dihasilkan komoditas yang dapat di perdagangkan. Media digital mempekerjakan psikolog yang canggih sehingga dapat menjadikan manusia kecanduan yang menyebabkan manusia susah mengalihkan muka dari media sosial. Dalam media sosial ini disisipi iklan yang menguntungkan pembuat konten. Hal ini menjadikan media sosial memiliki sisi celah yang dapat dimanfaatkan. Sisi celah jagad digital sendiri terdapat 3 bagian diantaranya:

  1. Aspek stuktural yang terbawa teknologi itu sendiri

Dalam hal ini jagad digital tidak memiliki perangkat untuk menapis adanya hoaks, ujaran kebencian, dan hal buruk lainnya.

  1. Aspek ketunggalan dimensi ekonomi

Dalam aspek ini dunia jagad maya menjadi tidak wajar adanya, contoh yaitu terjadinya prank. Hal ini menggambarkan kompetisi dari pemilik akun yang tidak mau kalah. ketika banyak akun lain yang tertarik dalam suatu akun, akun tersebut akan mendapatkan pendapatan melalui iklan. Hal inilah yang menjadi akun-akun jagad maya berkompetisi secara tidak sesuai atau tidak patut.

  1. Aspek struktural dalam masyarakat

Etika untuk distribusi sering diabaikan. Akibatnya ada pesaingan konten yang tidak wajar dan gagap dalam memahami ruang digital. Contohnya aktivitas suami istri yang diunggah dalam media sosial. Hal ini menggambar kegagalan ruang analog dan digital. Pemahaman ini tentunya masih rendah dalam dunia digital.

Namun dunia digital sendiri, selain untuk kepentingan pribadi dan ekonomi bisa untuk kepentingan sosial. Media sosial dapat digunakan untuk mencapai tujuan atau dapat dijadikan modus baru yang dapat meminimalisir korban.

Menimbang kondisi saat ini, sebanyak 64% penduduk di Indonesia merupakan pengguna internet di mana sepertiga hidup kita ada di internet. Indonesia belum memiliki kurikulum terkait literasi digital dalam pendidikan formal. Peserta didik yang kini melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) belum dibekali dengan literasi digital yang baik, seperti bagaimana melindungi data digital pribadi dan bagaimana menangkal hoaks. Kurikulum ini sudah seharusnya diberikan kepada peserta didik. Kondisi saat ini, pada level personal, penyebaran hoaks sama berbahayanya dengan pandemi korona itu sendiri karena dapat menyebarkan kepanikan publik.

Hoaks sebagai gangguan informasi terbagi menjadi tiga, misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Misinformasi memiliki konten yang salah dan menyesatkan tetapi tidak memiliki niat merugikan. Disinformasi memiliki konten yang salah dan dimanipulasi dengan niat merugikan. Malinformasi walaupun menyampaikan informasi yang benar, informasi ini hanya disampaikan sepenggal dengan tujuan menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain.

Alasan pengguna sosial media perlu melindungi privasi yaitu untuk menghindarkan diri dari kejahatan digital. Hal ini juga didukung oleh tidak adanya undang-undang perlindungan data pribadi di Indonesia sehingga tidak ada payung hukum yang jelas untuk kasus-kasus semacam ini. Salah satu modus pelanggaran privasi atau pencurian data dapat melalui pengisian angket kuesioner online di mana kebanyakan orang tanpa sadar telah menyebarkan data dirinya sendiri karena ketidaktahuan.

Tips bilamana menemukan informasi yang salah dan melanggar aturan distribusi konten, maka hal yang perlu dilakukan yaitu menggunakan fitur report dari media sosial yang digunakan. Cara lain yaitu dengan melaporkan konten tersebut ke situs resmi Kominfo dan pelaporan harus sesuai kategori, karena laporan yang terkesan asal tidak akan ditanggapi.

PRESS RELEASE#4 Pandemi Kian Membelenggu, Kesehatan Mental Kian Terganggu

Pandemi COVID-19 menimbulkan banyaknya permasalahan yang terjadi dalam berbagai bidang, diantaranya dibidang ekonomi, bidang sosial dan bidang kesehatan mental atau psikis. Masyarakat dapat terjangkit berbagai permasalahan mental yang cukup serius dimulai dari self diagnose, gangguan psikosomatik, cabin fever,  hingga dihadapkan pada Quarter Life Crisis (QLC). Di masa pandemi di mana masyarakat dapat dengan mudah mencari konten mengenai isu-isu kesehatan baik melalui website dan media sosial, ternyata dapat memengaruhi pola pikir masyarakat dalam membuat self diagnose. Bahaya dari hal ini adalah dapat membuat masyarakat menyepelekan dan menyalahartikan informasi seputar masalah kesehatan yang sebenarnya serius sehingga menimbulkan efek Barnum. Efek ini akan memengaruhi pola pikir yang merugikan baik pada diri sendiri maupun orang di sekitarnya.

Hal itu lah yang mendasari diadakannya diskusi pada hari Jumat, 18 September 2020 oleh Departemen Kajian, Riset, dan Politik BEM FMIPA UNY dengan Ibu Rahmatika Kurnia Romadhoni,. S.Psi, M.Psi,. Psikolog (Dosen Psikologi FIP UNY) sebagai pemateri pada diskusi tersebut.

Dengan banyaknya permasalahan yang muncul selama masa pandemi ini mengakibatkan syaraf simpatetik aktif secara terus-menerus sehingga respon tubuh ikut tegang dan merasa selalu bersiap siaga. Ini bisa menyebabkan kita mudah down baik fisik maupun mental karena selalu tidak tenang dan timbul gejala seperti susah tidur, mimpi buruk, makan banyak, dll. Alhasil, orang-orang mendiagnosa dirinya sendiri hanya berdasarkan hasil temuan di internet yang terkadang tidak terjaga kredibelitasnya. Padahal seseorang yang dikatakan dapat melakukan diagnosis mental, membutuhkan kurang lebih 6-7 tahun masa studi.

Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi dan mengelola diri agar mampu menghadapi kondisi saat ini yaitu dengan Being A Guru, yang merupakan identifikasi diri sendiri dengan mengenal lebih dalam karakteristik dan sikap pada diri baik itu secara fisik maupun mental. Adapun cara Being A Guru adalah :

 

  1. mengetahui bagaimana tubuh ketika bereaksi
  2. mengetahui kapan dan kenapa diri ini merasakan seperti itu
  3. mengetahui mekanisme tubuh seperti apa
  4. mengetahui tujuan tubuh bermekanisme

Apabila dirasa membutuhkan bantuan tanpa harus menunggu “sakit” maka bisa dengan curhat kepada orang yang bisa mendengarkan. Curhat itu seperti menuangkan beban dari wadahnya atau merilis segala penat kita sehingga selepas bercerita kita mendapatkan sensasi kelegaan. Apabila tidak nyaman bercerita bisa juga melakukan beberapa aktivitas, seperti

  1. Mengelola pernafasan atau mengubah posisi tubuh untuk lebih nyaman dan rileks
  2. Olahraga
  3. Melakukan hobi, dan sebagainya.

Apabila stres atau kecemasan belum berkurang, dapat datang ke konselor dan psikolog untuk meminta bantuan atau jika dirasa masih membutuhkan bantuan medis dapat juga berkunjung ke psikiater.

 

”Healing takes time, and asking for help is a courageous step.” Mariska Hargitay

PRESS RELEASE#3: Represi Warisan Negeri: Ada Apa di Balik Meja Hijau?

Hukum bagaikan panglima dalam sebuah pergerakan. Disimbolkan dengan sesosok Lady Justice yang membawa sebilah pedang bukan belati. Kain penutup sekaligus neraca sebagai asas perjuangan panglima mencari keadilan tanpa pandang bulu. Namun, apa kabar dengan perjuangan sang panglima dinegeri komedi ini?

Hingga saat ini waktu terus berjalan dan hampir memasuki 75 tahun, bangsa ini  belum menemukan titik terang untuk mencapai arti dari keadilan. Mulai dari zaman perjuangan kemerdekaan hingga revolusi saat ini, isu penegakkan keadilan masih menjadi momok dan pekerjaan rumah bagi negeri ini.

Namun lambat laun, bangsa ini mulai berbenah dan menata diri demi menyambut datangnya “Sang Dewi Keadilan”. Hukum adalah salah bukti keberadaan sang dewi. Namun kehadirannya ini, menimbulkan sebuah konsekuensi bagi negeri ini yaitu semua tindakan negara diatur oleh hukum, sehingga semua hal yang dilakukan negara diuji juga untuk oknum negara.

Sejauh ini penegakan hukum tepatnya terkait hukum pidana masih belum berjalan baik. Lantas, bagaimana proses terbentuknya keadilan versi hukum? Secara hukum pidana semua sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pasal 181 mengenai pasal hukum pidana. Syarat dan proses yang berlaku sebagai berikut,

1) Adanya alat bukti untuk seseorang menjadi tersangka;

2) Sebelum ditetapkan tersangka diperiksa sebagai saksi terlebih dahulu;

3) Dalam menunjang proses penyidikan, Polisi yang menyidik wajib mengirimkan surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan kinerjanya diawasi oleh jaksa untuk ditindaklanjuti.

Terlihat bahwa bangsa ini sudah menjalankan syariat hukum yang terstruktur dan jelas. Lantas, sebenarnya apa sih kendalanya? Seperti istilah tajam ke bawah, tumpul ke atas di mana mata hukum yang berlaku di negeri ini masih dengan mudahnya dipermainkan oleh penegaknya sendiri. Masih banyak kecacatan penegakan hukum yang terus menindas dan melindas hak rakyat kecil. Hal ini dibuktikan dengan fakta banyaknya kasus penyelesaian perkara pindana sepihak dan tentunya menghambat akses bantuan hukum. Sehingga hal ini sudah mengecewakan nilai demokrasi yangmana seharusnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun ketika di lapangan makna oleh dan untuknya berganti menjadi kepada oligarki (kelompok tertentu).

Kalau begitu, mengapa tidak diseragamkan saja segala penegakan keadilan termasuk putusan hakim? Hal ini tidaklah semudah membalikkan tangan dikarenakan berkaitan dengan macam-macam filsafat hukum, yaitu:

  1. Paham positifisme yaitu paham yang menegakan hukum berlandaskan UU.
  2. Paham progresif yaitu penegakan hukum berlandaskan keadilan.

Sehingga ketika terjadi pemutusan dalam peradilan tentunya hakim bebas menentukan dasar paham mana yang digunakan. Asalkan tetap dengan menggunakan “hati nurani” dalam segala putusannya.

Oleh karena itu, seharusnya hukum sebagai keadilan sehingga tercipta keabadian sedangkan jika sebatas aturan maka hukum itu dapat dibunuh sewaktu-waktu oleh aturan pula. Hal ini yang melandaskan terciptanya asas-asas hukum diantaranya, 1) Kepastian Hukum; 2) Keadilan; dan 3) Kebermanfaatan hukum. Sedangkan unsur penegak hukum atau yang di balik meja hijau yaitu:

  1. Polisi,
  2. Jaksa (menuntut),
  3. Hakim (memutuskan keadilan yang tepat), dan
  4. Nasehat hukum (pendamping).

Hakim dapat memutus dengan hati nurani dan menggali nilai-nilai di masyarakat. Maka sejatinya yang dibalik meja hijau itu adalah hakim yang mengambil keputusan dengan pandangannya. Sehingga, apa yang dapat kita lakukan “demi panglima”?

  1. Konsolidasi,
  2. Memaksimalkan media, dan
  3. Mengedukasi serta mempropaganda diruang lingkup kita agar perjuangan bukan hanya untuk kaum terpelajar.
PRESS RELEASE#2: Relevansi Kampus Merdeka di Masa Sekarang dan Hubungannya dengan Konsep Ki Hadjar Dewantara

Sudah 61 tahun berlalu semenjak penetapan perjuangan Ki Hadjar Dewantara menjadi Bapak pendidikan Indonesia atau yang dikenal dengan peringatan hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei. Tak dapat dipungkiri bahwa setengah abad lebih, beliau telah menginspirasi dan menuntut ratusan hingga ribuan pergerakan pendidikan di Indonesia agar menjadi lebih baik. Akan tetapi, bagaimanakah langkah perjuangan bangsa ini dalam meneruskan semangat juang Ki Hadjar Dewantara dalam menegakkan kebenaran melalui pendidikan?

Dewasa ini, kita disungguhkan sebuah gagasan menarik sekaligus gebrakan dari salah satu anak bangsa yang cukup berpengaruh yaitu Pak Nadiem Makariem selaku Menteri Pendidikan pada Kabinet Maju era kepresidenan Jokowi-Ma’ruf Amin. Beliau mengeluarkan sebuah kebijakan yang nantinya akan merubah stigma masyarakat pada pendidikan nasional terutama pada perguruan tinggi. Kebijakan itu berupa paket yang dikemas cantik bagai parcel di hari Raya  yang dikenal dengan sebutan “KEBIJAKAN KAMPUS MERDEKA”. Sebelum itu, mari bedah isi si manis satu ini.

Kebijakan kampus merdeka ini merupakan kelanjutan dari konsep Merdeka Belajar dan menjadi langkah awal kemudahan pergerakan bagi perguruan tinggi dalam rangka link-match antara dunia pendidikan dengan dunia nyata (kerja). Oleh karena itu, terdapat 4 hal yang diubah yaitu, kemerdekaan dalam pembukaan program studi baru (Otonomi bagi Perguruan Tinggi), kemudahan sistem akreditasi perguruan tinggi (Program Reakreditasi Otomatis), kemudahan perubahan status menjadi perguruan tinggi negeri badan hokum (PTN-BH), dan adanya hak belajar di luar program studi atau perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS).

Lantas, apakah kebijakan baru ini sejalan dengan prinsip dan konsep yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara atau justru sebaliknya? Berdasarkan hasil diskusi bersama dengan Pak Supardi (Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan FIS, UNY) ternyata terdapat keterkaitan antara kebijakan Kampus Merdeka ini dengan konsep Tri Kon Ki Hadjar Dewantara. Konsep Tri Kon ini dilatarbelakangi adanya budaya pada masyarakat dengan membingkai 3 gagasan yang menjadi satu konsep yaitu,

Pertama adalah Kontinuitet, artinya manusia itu bersifat kontinuitif yang tidak bisa terlepas dari masa lalu baik akar budaya, sejarah, hingga genetik.

Kedua adalah Konvergensi, artinya dalam menjalani kehidupan tentunya tidak terlepas dari dunia sekitarnya karena ini merupakan hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan keberadaan lingkungan sekitarnya.

Ketiga adalah Konsentrisitet, artinya meskipun berada di dalam lingkungan atau dalam sebuah interaksi namun harus berprinsip sebagai titik fokus/acuan dalam mewujudkan pendidikan mandiri tanpa bergantung/terkekang dengan pihak manapun.

Menurut Pak Supardi adapun kebijakan yang paling bersinggungan dengan konsep tersebut ada pada poin keempat yang menyatakan adanya hak belajar diluar bidang studi dan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS). Hal ini menjadi benang merah antara kebijakan dengan konsep Ki Hadjar yangmana keduanya mengusung pemberian kesempatan yang luas kepada mahasiswa dalam multiple intelligence untuk mewujudkan pendidikan yang memerdekakan. Salah satu tujuan pendidikan yang memerdekakan adalah mewujudkan penyempurnaan hidup manusia, lahir dan batin sesuai dengan kodrat alam.

Namun demikian kesamaan tersebut belum sampai pada dasar pendidikan itu sendiri, karena perubahan masih sebatas teknis seperti yang tertera pada poin pertama hingga ketiga. Apabila kebijakan ini dilaksanakan tetap memerlukan goodwill yang strategis seperti dilaksanakan secara bertahap dengan tetap memperhatikan perlindungan kepada lembaga pendidikan yang ada di Indonesia termasuk pada subtansi pendidikan itu sendiri yangmana kata Ki Hajar pendidikan itu membentuk karakter dan mental baru intelek.

PRESS RELEASE#1: Stigma Masyarakat terhadap Perempuan Kekinian

Mungkin yang terlintas di benak masyarakat tentang perempuan secara umum selalu berkaitan dengan hal-hal di dapur, sumur dan kasur atau yang lebih dikenal dengan istilah “ macak, masak, dan manak”. Namun sebelum menjelajahi secara dalam stigma atau pandangan terhadap perempuan. Apa sih yang dipikirkan ketika memaknai atau mendengar kata perempuan?.

Secara epistemologi perempuan berasal dari kata per-empu-an ”ahli/mampu”, jadi perempuan merupakan seorang yang mampu melakukan sesuatu. Namun kata “wanita” berasal dari bahasa Jawa yaitu ”wani ditata” atau orang yang bisa diatur. Selain itu, perempuan/wanita memiliki ciri khas dibandingkan makhluk lain ciptaan Tuhan yaitu adanya sifat ke-ibu-an guna memelihara bagi alam semesta dan seisinya.

Lantas, lebih baik menyebutkan kata “perempuan” atau “wanita”? Sebenarnya tidak ada salahnya menyebutkan “perempuan” atau “wanita”.  Namun, dalam bahasa Sanskerta makna wanita berarti ”yang dinafsui” atau cenderung berkonotasi negatif (pejoratif) dan lebih diposisikan sebagai objek. Oleh karena itu, sesuai dengan makna filosofinya maka kata perempuan lebih tepat digunakan karena mengandung konotasi yang positif (amelioratif).

Mirisnya, pandangan terhadap perempuan Indonesia masih sebatas bentuk objektifikasi sekaligus menjadikan posisi perempuan sebagai ‘salah satu korban’ dari patriarki itu sendiri. Hal inilah yang menimbulkan adanya pelabelan akibat konstruksi yang ada di masyarakat, yang tentunya juga diciptakan oleh masyarakat.

Pelabelan ini merupakan bentuk pengekangan pada kemerdekaan individu (perempuan) yang berimbas pada konstruksi gender dalam wacana kesetaraan gender yang cenderung merugikan dan menghambat dalam kehidupan sosial. Menyedihkannya pandangan dan pelabelan ini hanya didasarkan pada sesuatu yang alamiah sehingga menganggap bahwa hal itu merupakan takdir dan tidak bisa diubah. Oleh karena itu, tak heran apabila banyak sekali permasalahan yang menempatkan perempuan sebagai korban.

Maka dari itu, diera saat ini perempuan dituntut untuk mampu menghadapi permasalahan tersebut dalam upaya mengurangi hingga menyelesaikan masalah tersebut. Salah satu caranya adalah dengan pemberdayaan, yaitu:

  1. Mandiri secara finansial
  2. Turun langsung dalam upaya membantu perempuan yang termaginalkan melalui LSM bidang hukum maupun bidang-bidang lainnya.
  3. Meningkatkan soft skill yang nantinya soft skill kita bermanfaat untuk dirikita sendiri maupun keuarga dan masyarakat.

Yang tak kalah penting adalah selalu berpikiran positif untuk hidup yang positif. Sebab perempuan tidak cuma berpotensi sebagai korban, namun juga pelaku. Pelaku merendahkan sesama perempuan.

Perempuan harus mampu memahami kedudukannya, baik secara agama maupun secara sosial. Tuntunlah menuju perpustakaan alam semesta yang penuh ayat-ayat keagungan-Nya. Tempatkanlah mereka sejajar dengan makhluk lainnya agar saling mengingatkan, saling memberi wasiat tentang kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang.