Hari Kebangkitan Nasional : Sudahkah Negeriku Benar-Benar Bangkit ?

Hari Kebangkitan Nasional : Sudahkah Negeriku Benar-Benar Bangkit ?

Seratus dua belas tahun yang lalu, tanggal 20 Mei pemuda nusantara menggalang kekuatan untuk menyatukan tekad bangkit dari keadaan sebagai negeri yang terjajah. Setelah itu, setiap tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Sederet peristiwa perjuangan tak terhitung yang kemudian dapat menghantarkan tercapainya tujuan untuk merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Lalu, bagaimana dengan kondisi saat ini? apakah pesan dari ‘Hari Kebangkitan Nasional’ sudah benar-benar terwujud disegala aspek kehidupan bangsa Indonesia? bagaimana para pelajar, mahasiswa, dan generasi muda dalam memaknai ‘Hari Kebangkitan Nasional’ ini?.

Ada banyak aspek kehidupan yang dimaksud, tentu aspek demokrasi dan perlindungan HAM tidak luput dari indikator penilaian. Apakah keadaan demokrasi dan perlindungan HAM di  Indonesia sudah mencapai kesejahteraannya ? atau justru keduanya yang membutuhkan kebangkitan yang sebenar-benarnya ?

The Economist telah merilis video dokumenter yang berjudul  “How Bad is the Crisis in Democracy?” yang mengulas upaya pembajakan dan pelemahan demokrasi di dunia berlangsung secara sistemik. Kemudian munculah sebuah pertanyaan “apakah demokrasi kita dalam bahaya?’’. Dari 167 negara, hanya 30 negara yang benar-benar menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Dikeluarkannya banyak aturan terkait pembatasan berekspresi, bahkan ragam peraturan membuat politisi seakan menjadi kebal hukum. Kekecewaan itu memicu gelombang demonstrasi yang tengah berlangsung di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk menuntut pembatalan RUU Pertahanan, RKUHP, UU KPK, RUU PKS, RUU Omnibus Law, dan UU lainnya. Unjuk rasa ini menyebar di sejumlah kota, terutama kota-kota besar seperti Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya. Pemicunya adalah cedera janji pemerintah. Kegairahan pemerintah mengesahkan ragam rancangan undang-undang yang dianggap semakin memberi ruang untuk tindakan korupsi dan membuat politisi seakan kebal hukum. Lebih buruk, Indonesia dilanda problem pelumpuhan deliberasi yang diidap oleh ketertutupan proses legislasi. Dari rentetan gerakan yang tengah berlangsung, menandakan bahwa liberal democracy perlahan mulai runtuh dan terjerembab ke dalam fenomena illiberal democracy atau yang biasa disebut dengan ‘demokrasi kosong’. Situasi dimana sistem pemerintahan tetap melaksanakan pemilu, namun mengekang dan represif terhadap kebebasan sipil, sehingga warga tidak mengetahui aktivitas pemegang kekuasaan yang sesungguhnya.

Seperti yang telah diungkapkan oleh The Economist, dua hal utama yang membuat merosotnya kualitas demokrasi di berbagai negara adalah kekecewaan masyarakat berkaitan dengan implementasi demokrasi di negara mereka. Kedua, terabaikannya hak asasi manusia dalam sebuah negara berpengaruh terhadap kualitas demokrasi.

Dua dekade Reformasi, tapi belum juga kita melihat perubahan yang berarti bagi perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Bagaimana tidak, banyak konflik-konflik HAM di masa lalu yang belum tuntas dan tak tau kelanjutannya, seperti kasus Munir, Marsinah,  lapindo, Petani Tulang Bawang, dan kasus penangkapan aktivis beberapa waktu terakhir, seperti kasus penangkapan Ananda Badudu dan Ravio Patra.

Villarian dalam artikelnya menyampaikan “Kini rakyat digiring dan didoktrin untuk menjadi pragmatis melalui berbagai instrumen—misalnya program 1 juta tenaga kerja via sekolah vokasi, dilepaskanya hakekat “pendidikan” dari sekolah dan diubahnya menjadi alat produksi atau alas bagi panggung oligarki. Di bawah karpet kapitalisme HAM telah menjadi tameng yang kian sakti. HAM bukan sekedar tentang hak hidup, termasuk juga hak kesejahteraan di atas sistem ekonomi politik berkeadilan tanpa mempertimbangkan kuasa modal di dalamnya. Bukan tidak mungkin dis-orientasi politik Indonesia hari ini akan menjadi bom waktu bagi pecahnya revolusi dikemudian hari, apabila Pemerintah tak secepetnya melakukan koreksi secara radikal dan mempertimbangkan analisis kaum minoritas-marjinal, buruh rentan, rakyat miskin kota, desa terpencil, korban penggusuran, nasib rakyat Papua dan problem HAM lainya”.

Banyak hal yang harus diperbaiki dalam momentum ‘Hari Kebangkitan Nasional’, jikalau dulu para pejuang bangkit untuk melawan penjajahan, maka sekarang generasi millenial harus bangkit dari mental yang memprihatinkan.

 

-S

 

Sumber :

  • Villarian – Dua Dekade Politik dan HAM di Era Reformasi (geotimes.co.id)
  • Yayan Hidayat – Populisme dan Kebangkitan “Demokrasi Kosong” (news.detik.com)

 

 

 

 

Ada Apa dengan Definisi Buruh?

Ada Apa dengan Definisi Buruh?

Buruh? Ku yakin, Kawan, kau tidaklah asing mendengarnya. Lalu, bagaimanakah kau mendefinisikannya? Akan ku coba untuk menerkanya, apakah mereka yang bertangan kasar? Ataukah mereka yang bekerja di lapangan dengan beban fisik yang keras disertai sengatan sinar mentari?

Jika demikian definisimu, sayang sekali, Kawan. Mengapa pandanganmu terhadap definisi buruh sangatlah rendah dan kasar? Baik, aku tahu itu hak dirimu untuk menyampaikan bagaimana pandanganmu. Tapi, biarkan aku sedikit mengobrak-abrik definisimu melalui ceritaku nanti. Tenanglah, tidak akan kacau. Mari kita ulas sedikit definisinya berdasarkan KBBI. Dilansir dari KBBI daring, dinyatakan bahwa buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah. Kini, apa perbedaannya dengan definisi karyawan yang juga merupakan seorang pekerja? Ya, aku sudah menebaknya, di pikiranmu karyawan adalah ia yang berdasi rapi, berangkat ke kantor pagi, dan kemudian bekerja di atas meja yang tertata rapi.

Baiklah, aku tidak mempermasalahkan definisimu. Tapi, bisakah sedikit kau menghargai dan tidak memandang rendah arti kata dari buruh? Terima kasih. Baik, Kawan, mari ku beritahu sedikit saja asal muasal datangnya doktrin yang kemudian membuat pandanganmu seperti ini.

Mengutip sejarah yang disampaikan oleh salah seorang staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah. Beliau menyampaikannya melalui sebuah tulisan pada laman Antaranews.com terbitan 23 Januari 2014. Lalu, apa yang dituliskannya? Baik, akan aku teruskan kepadamu. Duduklah dengan tenang, bacalah dengan cermat. Beliau mengatakan, bahwasanya definisi dari buruh itu sendiri sudah mengalami perjalanan sejarah yang sangat panjang dan disertai pengaruh sosial, politik, ekonomi, hingga budaya. Menarik bukan? Ketika itu, masa kepemimpinan presiden Soekarno. Kamu benar sekali, Indonesia masihlah negara baru merdeka dan bebas dari injakan kaki penjajah. Kala itu, kata buruh tidaklah asing terdengar, perlu kamu ketahui, kata ini bahkan digunakan juga untuk menyebut para pekerja kantoran bahkan pemerintahan. Ya, karena memang definisinya satu, bekerja untuk mendapatkan upah. Bahkan, pada kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (Juni 1947-Januari 1948), S.K. Trimurti diangkat sebagai Menteri Perburuhan. Sungguh kata buruh kala itu memiliki citra positif.

Namun, sejak pergantian kepemimpinan, dari presiden Soekarno ke presiden Soeharto, kata buruh pun mulai ditinggalkan. Perubahan terhadap nama kementerian yang sangat mencolok terlihat. Dari yang sebelumnya Menteri Perburuhan, kala itu namanya kemudian diubah menjadi Menteri Tenaga Kerja. Tidak ada alasan yang terlontar langsung terkait dengan pergantian ini.

Eits, belum berhenti sampai di situ, Kawan. Perubahan istilah pun juga terjadi dalam dinamika perserikatan buruh Indonesia kala itu. Semula bernama Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) resmi mengganti kata buruh dengan pekerja atau menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Hal ini terjadi pada Kongres II Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada tahun 1985.

Berdasarkan tulisan yang dipublikasikan pada laman daring Bussines-law.binus.ac.id (2015)  Sidharta yang merupakan seorang akademisi Universitas Bina Nusantara Jakarta, mengungkapkan bahwa dalam filsafat bahasa pilihan kata tidak bebas nilai. Selain itu yang perlu kau ketahui, Kawan, menurutnya penguasa juga kerap kali sengaja memilih dan memaksa penggunaan kata-kata tertentu untuk meneguhkan kekuasaannya atau memojokkan lawan politiknya. Benar, Kawan, sekali lagi seorang penguasa pun menguasai diksi yang berkembang di wilayah kekuasaannya. Bahkan suatu pendapat yang banyak disampaikan, bahwa penggunaan diksi itu sendiri sengaja dilakukan untuk memecah konsolidasi kekuatan para buruh dalam menghadapi pengusaha dan tidak lupa, penguasa. Lalu, bagaimana definisimu sekarang, Kawan? Adakah yang ingin kau sampaikan kembali? Kiranya jangan lagi kau pandang rendah definisi buruh, Kawan. Ingatlah, dulu pekerja pemerintahan pun disebut buruh.

-Wiesha/Krspl-

 

Referensi:

Hamzah, Herdiansyah. 2014. Antara Buruh, Pekerja, dan Karyawan . Diakses dari https://kaltim.antaranews.com pada 26 April 2020.

Shidarta. 2015. Semiotika Terminologi Tenaga Kerja, Buruh, Pekerja, Pegawai, dan Karyawan. Diakses dari https://business-law.binus.ac.id pada 26 April 2020.

 

 

 

Azab Orang yang Berpura-pura Miskin

Siap diazab jika berpura-pura miskin? Sekiranya itu pertanyaan yang tersirat dari surat penyataan miskin yang dikeluarkan Dinas Sosial Kabupaten Gunungkidul.

Sejak Maret kemarin Dinas Sosial Gunungkidul melengkapi isi surat penyataan miskin dengan sumpah agama, sebagai berikut:

Sumpah Agama:

Demi Allah saya bersumpah, sesungguhnya bahwa keadaan ekonomi keluarga saya miskin. Apabila saya tidak memberikan pernyataan yang sebenarnya, saya akan mendapat kutukan dari Allah SWT.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dan sesungguhnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Sumpah agama di atas mengingatkan kita pada film azab yang sering diputar di salah satu stasiun TV dan marak jadi bahan lelucon warganet. Kejadian buruk yang akan diterima jika kita memberi sumpah palsu atau berlaku tidak seperti seharusnya.

Hal di atas mulai banyak dibicara kan setelah salah satu warga Dusun Ngadipiro Kidul 003/ 005, Rejosari, Semin Kabupaten Gunungkidul bernama Narmi (59) akan mengajukan Kartu Indonesia Sehat (KIS) saat akan berobat di Puskemas II Semin karena penyakit asam lambung. Beliau berniat mengurus Kartu Indonesia Sehat karena KISnya yang diblokir dari pusat. Saat sampai di Kantor Kepala Desa Rejosari, beliau diminta mengisi surat pernyataan di atas. Prosedur baru ini membuat sungkan Narmi untuk mengisinya, namun karena kebutuhan belaiau tetap melanjutkannya.

Ketika dikonfirmasi Paliyo (Kades Rejosari) menyampaikan bahwa formulir surat di atas turun langsung dari Dinas Sosial sebagai pemangku kebijakan. Sebagai pelaksana sejujurnya beliau juga kurang setuju dengan narasi yang diberikan.

Pertanyaannya, Kenapa surat penyataan bernada tidak etis di atas bisa keluar?

Nah, Alokasi APBD yang terbatas melatarbelakangi keluarnya Perbub nomor 98 yang berisi tentang strategi penanggulangan kemiskinan daerah Kabupaten Gunungkidul tahun 2017-2022, khususnya dalam pengeluaran Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Dengan keluarnya Perbub tersebut, maka Dinsos mengambil sikap dengan menyertakan sumpah agama pada Surat Pernyataan Miskin.

Menurut Siwi Iriyanti (Kepala Dinas Sosial Kabupaten Gunungkidul), “Perbub keluar 2017 akhir, diterima tahun 2018 dan baru diterapkan 1 Maret 2019 sebagai langkah kami menyikapi Perbub (nomor 98 tahun 2017). Salah satunya dengan melengkapi isi surat pernyataan (Miskin) dan melakukan screening,”

“Untuk isi (sumpah Agama) di surat pernyataan buat ada semacam saringan (pemohon SKTM) dan itu sudah disepakati teman-teman desa, sebelumnya juga sudah disosialisasikan,” imbuh Siwi.

Harapannya warga yang mendapatkan SKTM adalah yang benar-benar membutuhkan. Selain itu untuk mengerem APBD untuk KIS bagi warga yang KIS nya sudah diblokir oleh pusat.

“Bukan artian apa-apa, karena kita sudah 158 ribu (orang pemegang) KIS yang menggunakan APBD, jadi untuk menekan APBD (untuk KIS). Selain itu, adanya Perbub itu (nomor 98) untuk melatih kejujuran, tanggungjawab dan moril warga,” ucapnya.

Narasi SKTM di atas bagai dua mata pisau, disatu sisi membuat orang yang hendak berpura-pura miskin berpikir dua kali. Dan di satu sisi terlalu menyakitkan bagia yang benar-benar membutuhkan, minta bantuan kok malah disumpahin.

“Karena masih banyak warga yang mampu minta SKTM. Terlebih, kalau di desa dia (kepala desa) sering mengaku perkewuh (sungkan) kalau ada (warga tergolong mampu) yang minta, sehingga kita kasih filter dengan itu (pencantuman sumpah agama pada surat pernyataan miskin),” sambung Siwi.

Diimbuhkan pula, narasi pada suart pernyataan di atas akan segera dibahas dalam tim dan direvisi agar lebih etis.

Menurut teman-teman gimana cara efektif untuk menscrining penerima SKTM?

Sumber :
Kedaulatan Rakyat Sabtu Legi, 15 Juni 2019 halaman 4,
“Ajukan Surat Keterangan Miskin, Warga Harus Nyatakan Siap “Dikutuk””
https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4587481/bunyi-sumpah-siap-dikutuk-tuhan-jika-bohong-saat-urus-sktm-di-gunungkidul