Catatan Hitam Kekerasan Seksual: Dimana Peran Kampusku?

Pelecehan seksual adalah salah satu tindak kejahatan yang pada hari ini menjadi suatu hal yang sering terjadi di masyarakat. Tua ataupun muda, laki-laki maupun perempuan, berpakaian tertutup ataupun terbuka, semuanya berpotensi menjadi korban tindak pelecehan seksual. Catatan Tahunan Komnas Perempuan per 2018 menyajikan bahwa persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 41% (3.982 kasus), diikuti kekerasan seksual 31% (2.979 kasus), kekerasan psikis 15% (1.404 kasus), dan kekerasan ekonomi 13% (1.244 kasus). Berdasarkan data tersebut, tindak pelecehan seksual yang merupakan bagian dari kekerasan seksual memiliki persentase yang tergolong tinggi, yaitu pada angka 31%. Sementara ditahun berikutnya pun semakin meningkat, yaitu dengan persentase 64%. Berdasarkan data tersebut, bukan tidak mungkin jika ada sebutan “memprihatinkan” dari masyarakat terkait dengan penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual.

Pelanggaran pelecehan seksual kini dapat terjadi dimanapun, dan melalui apapun, di tempat umum, di tempat tertutup, secara verbal maupun non-verbal. Payung hukum dari pelecehan seksual sendiri tertera pada Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal  281 sampai Pasal 303). Namun, pada kenyataannya masih banyak kasus kejahatan dan pelecehan seksual yang tidak tertangani. Pelecehan seksual dapat terjadi tanpa mengenal waktu dan tempat, tidak menutup kemungkinan akan terjadi di lingkungan kampus. Terdapat beberapa dari mahasiswa/mahasiswi yang mengalami pelecehan saat sedang berada di kampus. Seperti yang diliput dalam suarajogja.id pada tanggal 8 Mei 2020 tentang mahasiswi UGM, UII dan UIN yang pernah melaporkan tindakan pelecehan seksual. Menurut pengakuan dari para korban tindakan ini pernah dilakukan sesama mahasiswa, staff kampus, hingga dosen. Berdasarkan berita ini tidak menutup kemungkinan bahwa di lingkungan kampus UNY sendiri terjadi kasus-kasus pelecehan seksual dari mahasiswa ataupun staff dosen yang belum terangkat atau terliput.

Selain itu, kasus ini dapat dilihat dari temuan tentang pengaduan beberapa mahasiswa/mahasiswi yang pernah merasakan tindakan-tindakan sara baik secara verbal, secara fisik maupun melalui pesan (ajakan untuk melakukan kegiatan sara). Tindakan pelecehan seksual di lingkungan kampus terjadi karena masih kurangnya pengetahuan tentang hal yang pelaku perbuat merupakan sebuah tindak kejahatan. Tindakan pelecehan yang seringkali terjadi dan disepelekan yaitu, seperti bersiul, ungkapan-ungkapan yang mengandung sex, hal-hal yang berupa ajakan untuk berbuat sex dan hal lainnya yang bersifat verbal, mencolek atau menyentuh bagian intim tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual. Hal ini tentunya menjadi citra buruk bagi salah satu Perguruan Tinggi Negeri Terbaik di Indonesia, yang semestinya memiliki kebijakan untuk mengatur sehingga dapat menutup celah terjadinya kasus-kasus serupa. Namun, pada kenyataannya belum ada ketegasan yang diupayakan secara serius untuk menanggulangi dan mengantisipasi hal-hal seperti ini. Terlebih lagi, akhir-akhir ini terdapat Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau KBG yang difasilitasi teknologi sama saja seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata yang merugikan dan membawa pengalaman traumatis terhadap korbannya. KBGO dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang relasi gender, minimnya edukasi seks, dan kelainan atau gangguan tertentu pada pelaku.

Hal itulah yang mendasari diadakannya diskusi kolaborasi kegiatan Padepokan Diskusi Mahasiswa dengan Dialog Publik pada hari Selasa, 3 Agustus 2021 oleh Departemen Sosial dan Politik BEM FMIPA UNY dan Departemen Sosial dan Politik BEM FIP UNY dengan tema “Catatan Hitam Kekerasan Seksual: Dimana Peran Kampusku” dibersamai oleh dua narasumber yang ahli dalam bidangnya yaitu Yunita Azizah dari Ruang Aman UNY dan Kharisma Wardhatul dari LBH Yogyakarta.

Bersasarkan statuta UNY pasal 30 tebntang misi UNY poin (f) menciptakan proses lingkungan pembelajaran yang mampu memberdayakan mahasiswa. Harusnya melakukan asas kesetaraan untuk semua civitas akademika di UNY. Adakah asas keadilan gender atau kesetaraan pada kode etik? Apa benar ada jaminan, adakah Lembaga dari kampus yang menangani kekerasan seksual?

Peraturan menristekdikti no 2 tahun 2019 tentang organisasi dan tata kerja UNY pasal 105, 106 dan 107. Tentang UPT layanan Bimbingan dan konseling (UPTLBK) menjelaskan tugasnya tidak mencantumkan pendampingan atau penanganan kasus kekerasan seksual. Temuan penelitian skripsi, UPT LBK bukan Lembaga aduan kasus, tapi pendampingan psikologis secara umum, UPT LBK tidak mengetahui peraturan rector tentang penanganan kekerasan seksual UNY.

Keanehan dalam peraturan UNY mengenai kekerasan seksual adalah peraturan muncul tiba-tiba tanpa ada sosialisasi, ruang aman belum bisa menyelidiki, tidak ada naskah akademik, banyak hal yang tidak dijelaskan (definisi kampus, jenis KBGO, mekanisme penanganan, sanksi atau pelanggaran, ketimpangan kode etik) Jadi, apa peran kampus sejauh ini soal keserasan seksual? Baru menerbitkan regulasi mengenai penanganan KS, masih ada gap implementasi antara pembuat kebijakan dengan Lembaga, kampus belum mempunyai kebijakan terhadap penyintas.

Dimana sebenarnya peran kampus dalam upaya penghapusan kekerasan seksual? Kecenderungan penyelesaian KS di kampus adalah menyangsingkan validitas pengalaman korban, menampung tanpa ada tindakan, proses yang lama, tidak menggunakan pendekatan berprespektif korban, menekan korban/pendamping, penyelesaian secara damai. Analisa actor dan perannya, secara eksekutif legislative dan yudikatif mendorong pengesahan RUU PKS dan penegakan hukum yang adil tidak bias gender, alokasi APBN/APBD untuk penanganan dan pemulihan korban, regulasi tingkat kementria.

Lalu, sebenarnya tanggung jawab perguruan tinggi itu seperti apa? Membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga dapat menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Sebenarnya sudah menciptakan ruang aman yang seluas luasnya, tetapi kini menjadi dua hal yang terpisah karena menjadi hubungan personal dan tidak berhubungan dengan kampus. Bagaimana penanganan yang tepat? Prinsip penanganan dengan safetyness, respect, convidentiality, non discrimination. Jangan berumpu pada pelaku, tapi focus pada pemulihan korban.

Hak korban dalam RUU PKS adalah hak penanganan, perlindungan dan pemulihan, lalu Hak korban dalam UU PSK dirumuskan oleh Lembaga perlindungnan saksi dan korban sedangkan Hak tersangka dalam KUHP dan ICCPR. Dimana peran kampus? Komitmen dan political will dalam upaya pencegahan dan penghapusan KS, pembentukan regulasi dan layanan terpadu, memafaatkan kebebasan akademik dan tri dharma perguruan tinggi sebagai legitimasi sikap institusi.

 

Dengan demikian, Perguruan Tinggi memiliki tanggung jawab menciptakan ruang aman untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup kampus menjadi salah satu usaha dalam mewujudkan tanggung jawab tersebut. Kampus, termasuk Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sejauh ini, diketahui bahwa kampus baru saja menerbitkan peraturan mengenai kekerasan seksual. Namun, belum bisa dipastikan apakah kampus memiliki lembaga untuk menaungi kasus tersebut. Faktanya, belum diketahui ada tidaknya sosialisasi dari pihak kampus dan belum ada keberpihakan dari kampus kepada penyintas kekerasan seksual. Penanganan kekerasan seksual yang tepat adalah tidak bertumpu pada pelaku, melainkan pada pemulihan korban. Sanksi pelaku tetap harus dilakukan untuk memberikan efek jera dan mencegah keberulangan dan tidak dengan memberatkan proses pemulihan korban.