MIPA Bersuara#1: Pandemi Membelenggu, Kesehatan Mental Terganggu

RILIS KAJIAN: MIPA BERSUARA

Pandemi Membelenggu, Kesehatan Mental Terganggu

Latar Belakang

Pandemi COVID-19 mengakibatkan perubahan pola kehidupan. Kebijakan yang diterapkan untuk memutus penyebaran virus membuat masyarakat beraktivitas tidak seperti biasanya, seperti mengurangi kontak fisik, tetap tinggal di rumah, atau mengurangi bertemu orang lain. Perubahan aktivitas tersebut memicu beberapa masalah pada ranah psikis atau mental yang menyerang masyarakat.

Permasalahan yang muncul kemudian adalah isu kesehatan mental belum dianggap penting bagi masyarakat. Ranah mental atau psikologis yang tidak terlihat banyak disepelekan dan dirasa tidak memiliki urgensi untuk diperhatikan.

Narasi yang ada di masyarakat bahwa permasalahan mental atau orang yang pergi ke psikolog diartikan sempit dengan ‘gangguan jiwa’ juga mengakibatkan permasalahan baru. Narasi tersebut mengakibatkan individu malu untuk bicara mengenai kondisinya, takut menyampaikan apa yang mereka rasakan terhadap teman bahkan keluarga, serta enggan pergi ke psikolog. Akibat dari situasi tersebut adalah timbulnya kecenderungan individu untuk mendiagnosis diri sendiri (Self Diagnose).

Berbagai sumber mengenai kesehatan mental memang banyak tersedia di internet, seperti website HalloDok, Sehatq, dll. Video berisikan gejala-gejala permasalahan mental juga banyak terdapat di YouTube, Tiktok, Instagram, dan media nonmainstream lain yang terkadang sumbernya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Padahal, tujuan adanya berbagai sumber informasi tersebut bukan untuk dijadikan acuan mendiagnosis diri sendiri namun untuk pengetahuan dan membangun kepedulian serta perhatian pada isu kesehatan mental. Sayangnya, berdasarkan survei yang dilakukan Millennial Mindset: The Worried Well pada tahun 2014 sebanyak 37% responden gen Y terkadang melakukan self diagnose yang berkaitan dengan kesehatan mental yang sebenarnya tidak mereka miliki. Bahaya atas diagnosis yang salah dapat sangat berbahaya, seperti: konsumsi obat yang salah, tidak tertangani dengan benar, bahkan gangguan kesehatan yang lebih parah (Sartika, 2019).

Selain permasalahan Self Diagnose, isu permasalahan mental yang akhir-akhir ini sering menjadi pembahasan dan hangat dibicarakan adalah permasalahan Quarter Life Crisis. Quarter Life Crisis (yang selanjutnya akan disingkat menjadi QLC) adalah perasaan khawatir yang timbul karena ketidakpastian akan masa depan (Jamil, 2020). Dikutip dari The Guardian, QLC memengaruhi sebanyak 86% generasi milenial di seluruh dunia (Ramadhan, 2020). Survei yang dilakukan GenSINDO kepada responden berusia 18-25 tahun dengan 95% mahasiswa dan sisanya pekerja terdapat lima hal yang paling dicemaskan saat memasuki fase dewasa awal. Lima hal tersebut diantaranya karier, pendidikan, jodoh, persaingan global dan kesehatan (Nurdifa, 2020).

 

Kesehatan Mental

Semenjak ditemukannya virus mematikan yang menulari hampir seluruh belahan dunia di tahun ini, masyarakat dunia berbondong-bondong mulai menjadi “pakar kesehatan” bagi dirinya pribadi. Banyak dari masyarakat mulai berbenah diri dengan salah satunya mengkhawatirkan dan menjaga kondisi kesehatannya. Belum lagi selama pandemi berlangsung status quo yang terjadi adalah dengan melakukan berbagai cara untuk antisipasi demi melindungi diri dari penyakit virus menular yang satu ini.

Salah satu contohnya adalah dengan mengeluarkan kebijakan terkait pencegahan penularan virus dengan cara karantina mandiri di rumah atau melakukan pembatasan fisik berskala besar selama pandemi. Meskipun demikian, hal ini tidak lantas meringankan satu masalah namun juga menimbulkan masalah baru di masyarakat. Apabila masyarakat melakukan segala aktivitas di rumah saja hingga waktu yang tidak ditentukan dengan segala ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi pandemi.

Maka terbentuklah pola pikir bahwa kesehatan hanya dilihat melalui satu indikator saja yaitu kesehatan jasmani/fisik sedangkan penggambaran kondisi kesehatan seseorang tidak hanya melihat satu aspek saja. Melainkan terdapat aspek lain yang sama-sama perlu diperhatikan yaitu melalui keterlibatan diri dalam menjaga kestabilan kesehatan mental.

Keduanya memiliki keterlibatan satu sama lain, bilamana seseorang terganggu fisiknya maka dapat dimungkinkan terganggu mental atau psikisnya, begitupun hal sebaliknya. Sehat dan sakit merupakan kondisi biopsikososial yang menyatu dalam kehidupan manusia. Menurut WHO, kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya.

Faktanya akibat program “dirumahkan” banyak masyarakat mulai merasakan penat. Di tingkat kelompok yang lebih tua, kebijakan ini juga berdampak pada penurunan kognitif/demensia, menjadikan mereka lebih mudah cemas, marah, stres, dan gelisah. Kejadian ini juga tidak hanya menimpa masyarakat yang dirumahkan saja namun bagi masyarakat yang terpaksa beraktivitas di luar rumah juga mengalami ketidakstabilan kondisi mental.

Dilansir dari Tirto.id, dikatakan bahwa masyarakat selama menghadapi pandemi mengalami gejala semu penyakit COVID-19 akibat reaksi terhadap paparan berita atau kejadian yang berhubungan dengan infeksi SARS-CoV-2 yang mana hal ini berujung pada fenomena diagnosis diri (Self-diagnose). Hal ini bukan hanya menjangkiti kesehatan fisik saja melainkan menyerang sistem imunitas mental seseorang.

Reaksi gejala semu ini timbul akibat rasa cemas dan lazim disebut gangguan psikosomatik. Gangguan psikosomatik merupakan kondisi ketika tekanan psikologis memengaruhi fungsi fisiologis (somatik) secara negatif hingga menimbulkan gejala sakit. Hal ini bisa terjadi lantaran adanya disfungsi atau kerusakan organ fisik akibat aktivitas yang tidak semestinya dari sistem saraf tak sadar dan respons biokimia tubuh.

Dikutip dari Republika.co.id berdasarkan penelitian Berman, Marc G, dkk berjudul “The Meaning of Cabin Fever” dalam The Journal of Social Psychology ditemukan efek physical distancing dan di rumah aja membuat masyarakat terganggu terhadap dirinya sendiri. Potensi tanda dan gejala yang bisa timbul sebagai efek psikologis #DiRumahAja adalah sebagai berikut: gelisah berlebihan, berkurangnya motivasi, mudah menyerah dan tersinggung, sangat sulit untuk fokus, pola tidur terganggu, sulit bangun tidur, kondisi fisik lemah lesu, menjadi tidak sabaran, dan jika berlangsung cukup lama bisa berakibat kondisi kesedihan dan sampai depresi.

Dalam dunia kesehatan, kita mengenal kumpulan gejala di atas sebagai Cabin Fever, yang artinya sebuah gambaran emosi atau kesedihan yang muncul akibat terisolasi di dalam rumah atau lokasi tertentu, sehingga berakibat pada kondisi psikis seseorang. Sebab itu diperlukan langkah-langkah antisipasi yang tetap mengutamakan physical distancing tapi aman juga secara kesehatan fisik terlebih kejiwaan.

Belum lagi, selama pandemi ini banyak dari anak milenial yang mulai terserang gejala kekhawatiran terkait kondisi diri di masa yang akan datang yang mana hal ini dapat menganggu kestabilan mental seseorang. Salah satu latar belakang terjadinya kecemasan berlebihan pada seseorang diakibatkan oleh suasana dan kondisi yang memaksakan pembatasan dalam beraktivitas selama jangka waktu yang tidak ditentukan seperti pada pandemi saat ini.

QUARTER LIFE CRISIS (QLC)

Quarter Life Crisis (QLC) atau krisis usia seperempat abad memang sedang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini. QLC ini kerap disebut sebagai kegalauan di masa remaja. Menurut Fischer (2008),  Quarter life  crisis  adalah perasaan  khawatir  yang  hadir  atas ketidakpastian  kehidupan  mendatang seputar  relasi,  karier,  dan  kehidupan sosial  yang  terjadi  sekitar  usia  20-an. Oleh sebab itu, pembahasan ini tidak terlepas atau sangat melekat pada kehidupan mahasiswa. Krisis ini tentunya muncul karena terdapat pemicu. Tuntutan-tuntutan yang kerap dialami mahasiswa adalah salah satu pemicunya. Umumnya penyebab  krisis  yang  utama  adalah karena  adanya  tuntutan  dari  orang  tua terhadap  langkah  apa  yang  akan  diambil di  masa  mendatang  (Arnett,  2004). Selain itu, tidak jarang mahasiswa yang mengalami stres  karena  masalah  akademik  (Kartika,  Deria,  &  Ruhansih,  2018).

Beberapa kebiasaan remaja yang dapat memicu munculnya QLC yaitu, yang pertama, terlalu sering bermain media sosial sehingga berpengaruh terhadap pola pikir seseorang yang senang membandingkan diri dengan orang lain. Kedua, terlalu lama bermain game yang dapat menjadikan banyak waktu terbuang atau tidak produktif. Lain halnya dengan mereka yang pro gamer atau menghasilkan uang dari bermain game. Ketiga, sering mengeluh tanpa bertindak untuk menyelesaikan masalah, sehingga permasalahan yang dihadapi tidak kunjung selesai dan bahkan akan terus bertumpuk dengan masalah baru yang mengakibatkan remaja stres. Terakhir, terlalu menutup diri sehingga pergaulannya sempit dan tidak memiliki peluang atau koneksi untuk menjalani kehidupan di masa depan.

Seseorang yang mengalami QLC dapat dikenali dengan mudah karena tanda-tandanya sangat jelas. Tanda-tanda seseorang mengalami QLC yaitu,

  • Pertama, mulai mempertanyakan hidup. Hal ini kerap disepelekan oleh beberapa orang karena dianggap wajar, namun inilah tanda-tanda awal mengalami QLC.
  • Kedua, ketika seseorang sering merasa tidak ada kemajuan atau hanya ‘jalan di tempat’ dan kurangnya motivasi atau tidak bersemangat melakukan aktivitas apapun juga merupakan tanda-tanda QLC.
  • Ketiga, kebingungan untuk keluar dari zona nyaman. Contohnya ketika pekerjaan yang dilakukan sekarang memang sudah sangat nyaman, tetapi tidak berkembang. Lalu muncul pemikiran bahwa akan sulit untuk memulai segalanya dari awal, sehingga kondisi ini cenderung membuat takut untuk keluar dari zona nyaman.
  • Keempat, perasaan tidak puas atau merasa tidak bahagia dengan pencapaian yang didapat. Setelah memilih untuk menetap di suatu pekerjaan, sesuatu yang dilakukan tentunya sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya sehingga pencapaiannya pun terasa kurang atau bisa dikatakan ‘biasa saja’. Hal ini tak jarang membuat seseorang merasa tidak bahagia dengan pencapaian yang sudah didapat.
  • Kelima, merasa ‘terombang-ambing’ dalam berbagai hal, seperti percintaan dan finansial. Ketika seseorang meragukan diri sendiri seperti mempertanyakan pilihan pasangannya sudah tepat atau belum, ternyata merupakan tanda-tanda seseorang mengalami QLC.

Dari beberapa tanda-tanda QLC tersebut dapat membuktikan bahwa QLC merupakan kegalauan yang dialami seseorang ketika berusia 20-an.

SELF-DIAGNOSE (DIAGNOSIS DIRI)

Mendiagnosis diri sendiri adalah hal yang sulit karena seseorang tidak bisa melihat diri sendiri secara obyektif. Kemunculan internet beberapa dekade terakhir memudahkan banyak orang untuk memeroleh informasi sebanyak mungkin. Teknologi ini memudahkan penggunanya dalam mengakses berbagai hal termasuk informasi kesehatan. Ketika seseorang merasa ada sesuatu yang tidak normal pada dirinya, seperti masalah fisik atau emosional, langkah paling mudah untuk mencari tahu tentang kondisinya adalah mengetikkan “kata kunci” di Google. Dari informasi-informasi yang didapat, banyak orang lalu mendiagnosis diri sendiri atau self diagnose.

Para ahli percaya bahwa melakukan self diagnose tidaklah dibenarkan. Informasi-informasi yang di dapat dari internet bisa dijadikan acuan untuk menemui dokter tetapi tidak untuk mendiagnosis diri sendiri. Kenyataannya, masih ada banyak orang yang tergoda untuk tidak menemui dokter karena menganggap informasi yang mereka terima dari internet sudah cukup, sementara kesehatan mental mereka sedang tidak baik-baik saja.

Dilansir dari Psychology Today, seseorang yang melakukan self diagnose pada dasarnya mengasumsikan bahwa ia mengetahui seluk-beluk diagnosis itu. Bukan tidak mungkin seseorang mengalami kesalahan diagnosis karena kurangnya informasi yang diketahui. Hal ini berbeda dengan dokter dan tenaga ahli yang melakukan diagnosis melalui serangkaian tes dan pengujian secara ilmiah. Kesalahan diagnosis bisa berakibat fatal.

Menurut laporan dari Mental Help, seseorang yang mengalami kesalahan diagnosis mungkin akan menganggap bahwa kondisinya tidak seserius yang mereka bayangkan. Misalnya seseorang mengalami gejala kecemasan, sehingga ia menganggap dirinya sebagai penderita anxiety disorder. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah menderita aritmia jantung. Dua hal yang penanganannya berbeda apabila tidak disikapi dengan serius maka akan mengarahkan seseorang pada kesalahan dalam memperlakukan diri.

Mendiagnosis diri sendiri adalah hal yang sulit karena seseorang tidak bisa melihat diri sendiri secara obyektif. Apalagi jika seseorang tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang kesehatan. Diagnosis sebaiknya dilakukan oleh tenaga profesional seperti dokter. Di lain pihak, orang lain yang dekat dengan kita akan terkena dampak negatif pula. Apalagi jika kesimpulan yang muncul dari perilaku self diagnose itu sampai ke gangguan mental.

Bahkan kemungkinan seseorang yang melakukan self diagnose bisa jadi menggunakan diagnosisnya yang tidak jelas tersebut sebagai pembenaran atas hal-hal buruk yang dia lakukan. Tentu ini sangat merugikan hubungannya dengan orang lain. Mungkin di satu sisi ada baiknya ketika ingin mencari tahu informasi dasar apa saja yang dialami oleh tubuh. Namun bagaimanapun juga informasi yang bertebaran di internet sekalipun ditulis oleh profesional harus diakui sudah disimplifikasi.

Salah satu alasan seseorang melakukan self diagnose dikarenakan tidak punya waktu untuk konsultasi dengan profesional sehingga harus ‘tersesat’ dengan informasi yang dibaca di internet. Kasus ini menimbulkan fenomena yang bernama Efek Barnum, di mana secara psikologis seseorang ketika diberikan deskripsi yang sangat akurat tentang dirinya, otomatis alam bawah sadarnya membuatnya kepercayaan bahwa deskripsi itu benar-benar berlaku padanya padahal sebenarnya deskripsi itu sangat umum bisa berlaku ke banyak orang. Contoh dari fenomena ini adalah yang terjadi pada ramalan astrologi, pembacaan aura sampai pada tes-tes kepribadian. Melakukan riset sendiri di internet terhadap masalah yang kita alami akan sangat mungkin melahirkan fenomena ini.

 

KESIMPULAN

Pandemi Covid-19 menyebabkan perubahan pola kehidupan seperti berkurangnya kontak fisik dan tinggal di rumah dalam waktu lama. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam masyarakat khususnya pada kesehatan mental atau psikis. Masyarakat dapat terjangkit berbagai permasalahan mental yang cukup serius dimulai dari self diagnose, gangguan psikosomatik, cabin fever,  hingga dihadapkan pada Quarter Life Crisis (QLC). Di masa pandemi di mana masyarakat dapat dengan mudah mencari konten mengenai isu-isu kesehatan baik melalui website dan media sosial, hal ini ternyata dapat memengaruhi pola pikir masyarakat dalam membuat self diagnose. Bahaya dari hal ini adalah dapat membuat masyarakat menyepelekan masalah kesehatan yang sebenarnya serius sehingga menimbulkan efek barnum di mana akan memengaruhi pola pikir yang dapat merugikan baik pada diri sendiri maupun orang di sekitarnya.

Adanya cabin fever di mana penderita mengalami perasaan emosi negatif berlebih hingga mengisolasi diri karena terdampak dari kebijakan physical distancing. Ternyata hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan cukup serius dengan munculnya gangguan psikosomatik di mana masyarakat dapat terjangkit sakit fisik dari tekanan psikologis yang didapat. Adapun dampak lainnya adalah QLC yang menyerang masyarakat, terutama mahasiswa di usia 20-an. Hal ini berpengaruh pada relasi, karier, dan kehidupan sosialnya. Mahasiswa akan dihadapkan pada perasaan terombang-ambing dari memilih tetap berada di zona nyaman selama pandemi atau harus menerima kenyataan untuk harus berjuang melawan batasannya. Bahaya dari gangguan kesehatan mental ini dapat menimbulkan masalah yang lebih besar bahkan lebih berat kedepannya. Maka dari itu, kenali gejala atau tanda yang muncul kemudian cari solusi untuk mengatasinya.

SOLUSI

Quarter Life Crisis dapat ditangani dengan cara perbanyak motivasi diri, mendekatkan diri kepada sang pencipta, selalu optimis dengan apa yang akan dilakukannya, serta manajemen waktu dan diri yang optimal. Sementara itu, self diagnose dapat dicegah dengan cara rutin periksa ke dokter untuk memastikan kondisi kesehatan diri.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ayu, D. (2019, Juli 12). Self Diagnosis, Kebiasaan Mendiagnosis Diri Sendiri yang Bisa Berbahaya. Retrieved Agustus 29, 2020, from halloSEHAT: https://hellosehat.com/

Arnett, J. J. (2004).  Emerging adulthood: The winding  road  from  the  late  teens through the twenties.  New  York: Oxford University Press.

Fischer,  K.  (2008). Ramen noodles,  rent  and resumes:  An  after-college guide  to life. California: SuperCollege LLC.

Jamil, N. K. (2020, Mei 7). Cara Milenial Mengatasi Quarter Life Crisis Kala Pandemi. Retrieved Agustus 29, 2020, from ibTimes.id: https://ibtimes.id/

Jennyfer. (2019). Tanda Anda Sedang dalam Quarter Life Crisis dan Cara Bijak Mengatasinya. Retrieved Agustus 30, 2020, from https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/quarter-life-crisis-adalah/#gref.

Kartika, R. D., Deria, D. & Ruhansih, D. S. (2018).  Hubungan  antara  strategi penanggulangan stres  (coping stress) dengan keyakinan diri mampu (Self-Eficacy)  pada  mahasiswa  yang sedang  menyusun  tugas  akhir  di jurusan  radiodiagnostik  dan radiotherapy  politeknik  “X” Bandung.  Fokus,  1(1).  1-10.  doi: 10.22460/q.v1i1p11-18.498.

Kompasiana.com. (2019, November 11). Stigma, Glorifikasi, dan Self-Diagnosis. Retrieved September 3, 2020, from https://www.kompasiana.com/edgarjeremy/5dc98c18097f361ea13b4912/kesehatan-mental-dalam-ruang-publik-stigma-glorifikasi-self-diagnosis?page=all#sectionall.

Nancy, Y. (2019, Oktober 18). Kesehatan Mental dan Self Diagnosa yang Tak Akan Selesaikan Masalah. Retrieved September 4, 2020, from https://tirto.id/kesehatan-mental-self-diagnosa-yang-tak-akan-selesaikan-masalah-ejXZ.

Nurdifa, A. R. (2020, Mei 2). Survei: 5 Hal Paling Dicemaskan saat Quarter Life Crisis. Retrieved Agustus 29, 2020, from GENSINDO: https://gensindo.sindonews.com/

Putri, A.W. (2020, Maret 31). Ancaman Gangguan Mental di Tengah Wabah COVID-19. Retrieved September 4, 2020, from https://tirto.id/ancaman-gangguan-mental-di-tengah-wabah-covid-19-eJvi.

Ramadhan, W. (2020, Februari 1). Quarter Life Crisis dan Balada Kegalauan Anak Milenial. Retrieved Agustus 29, 2020, from kreativv.id: https://kreativv.com/

Sartika, R. E. (2019, Juli 11). Awas, Kebiasaan “Self Diagnosis” dari Internet Bisa Berbahaya. Retrieved Agustus 29, 2020, from kompas.com: https://sains.kompas.com/

Suarsyaf, P. (2020, Mei 12). Cabin Fever, Ancaman Kesehatan Jiwa Pandemi Covid-19. Retrieved September 4, 2020, from https://republika.co.id/berita/qa68hb282/cabin-fever-ancaman-kesehatan-jiwa-selama-pandemi-covid1.

Unair.ac.id. (2019). Paradigma Kesehatan Mental. Retrieved September 4, 2020, from http://news.unair.ac.id/2019/10/10/paradigma-kesehatan-mental/#:~:text=Menurut%20WHO%2C%20kesehatan%20mental%20merupakan,serta%20berperan%20serta%20di%20komunitasnya.